Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Di momen Hari Disabilitas Internasional (HDI), awal Desember 2021, publik disentakkan dengan peristiwa Menteri Sosial, Tri Rismaharini memaksa seorang disabilitas rungu wicara/Tuli untuk berbicara. Ada pertanyaan, mengapa Tuli tidak boleh memakai bahasa isyarat? Menurut Fajri Nursyamsi dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) dalam konferensi persnya, Tuli ini ada berbagai macam ragam : ada yang memang Tuli sejak lahir, ada yang Hard of Hearing (HOH) seperti Angkie Yudistia, maka berilah kenyamanan sesuai dengan apa yang ada pada Tuli tersebut dalam berkomunikasi. Ada Tuli yang nyaman dengan bahasa isyarat Indonesia, ada yang nyaman dengan SIBI, ada yang nyaman dengan tulisan, dan gambar, serta dengan gestur. 

Pertanyaan yang sama diajukan oleh Udana, seorang Tuli, bagaimana disabilitas Netra dengan tongkat putihnya dan braille? Banyak orang berpikir bahwa bahasa verbal lebih penting dari bahasa isyarat. Dan ada yang perlu ditegaskan bahwa Tuli itu ada bermacam ragamnya. Ini yang kemudian kita sebut dengan ‘Audism’. Mengutip dari Tom Humpries, 1975, yang menerangkan bahwa audism adalah bentuk pemikiran seseorang yang menganggap bahwa orang yang dapat mendengar lebih superior dibanding orang Tuli.

Surya Sahetapy, aktivis Tuli memberikan contoh-contoh sikap audism yakni : Tuli tidak mampu mencapai orang dengar dalam berintelektual, berbahasa, memiliki karier, berkemampuan finansial, berkomunikasi dan lainnya, Tuli tidka bisa menjadi guru, pilot, pengacara, dokter dan lainnya, Tuli tidak bisa menyetir mobil, Tuli tidak bisa berkuliah, Tuli tidak bisa berbicara maka tidak memiliki masa depan, Tuli tidka bisa berbaur, bahasa isyarat membuat orang malas berbicara, semua orang Tuli harus dilatih berbicara supaya pintar dan sukses.

Orang-orang yang memiliki sikap diskrminatif seperti di atas disebut Audist. Dalam unggahan di akun instagram miliknya, Surya menyatakan alasan kenapa orang audism bisa seperti itu? Sebab sistem pendidikan dan sosial memisahkan Tuli-HoH dan non disabilitas dalam kehidupan. Kebanyakan orang non Tuli baru memahami Tuli-HoH pada usia dewasa, apalagi untuk belajar bahasa isyarat. Ia juga menyampaikan penyebab dari kondisi audism pada seseorang adalah ketiadaan guru Tuli-HoH yang mengajarkan bahasa isyarat di sekolah umum,  serta tidak ada pertukaran pelajar di antara sekolah Tuli-HoH dan umum/reguler.

Surya juga mengimbau kepada orang-orang untuk menghindari sikap Linguicism, yakni pandangan yang menganggap pengguna bahasa Indonesia secara lisan lebih pintar daripada orang yang menggunakan bahasa isyarat. Ia menyatakan bagi Tuli-HoH, bahasa isyarat adalah bahasa Ibu, dan bahasa Indonesia adalah bahasa kedua. “Bukan berarti saya tidak berkompeten sebagai warga negara Indonesia, tetapi mari rombak sistem sosial dan pendidikan yang kejam di Indonesia, sebelum 2045,” ujarnya dalam unggahan. (astuti)

 



Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Ada dua pendapat yang hadir bersamaan terbitnya Permendikbudristek 30 tahun 2021. Mereka yang pro menilai bahwa kehadiran peraturan tersebut sebagai bentuk kehadiran negara untuk perlindungan dan bentuk tanggung jawab dalam kasus kekerasan di kampus. Namun bagi yang kontra permen ini dianggap memiliki kelemahan yakni tidak adanya cantolan hukum dan terkait dengan landasan norma agama yang seharusnya menjadi prinsip pencegahan kekerasan seksual, dan hal itu tidak tercantum dalam permendikbud ini. Hal lain bagi mereka yang kontra adalah terkesan melegalkan hubungan seksual di luar institusi pernikahan. Benarkah demikian?


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Dokter Riris Andono Ahmad, MPH, PhD, Pengurus Pusat Kagama menyatakan bahwa Indonesia menorehkan prestasi karena sasaran vaksinasi sudah menembus lebih dari 100 juta dan sudah mendekati 50% dari jumlah penduduk. Negara Singapura sudah mencapai angka 80% tapi kondisinya saat ini cukup gawat sebab ada lonjakan cukup signifikan.


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Kepailitan dan Pemutusan Hubungan Kerja ( PHK )  buruh PT. Tossa Shakti  dari tahun 2018 sampai dengan saat ini masih menyisakan permasalahan yang berkepanjangan bagi eks buruh PT. Tossa Shakti, 3 tahun penantian pesangon bagi 900 buruh belum juga terselesaikan.  


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Pendampingan terhadap anak dan perempuan  korban kekerasan penting dilakukan, sebab penyelamatan bagi mereka sangat berarti untuk kelangsungan hidupnya. Meski payung hukum dan berbagai kebijakan telah banyak ada, namun harus diwujudkan dengan realisasi perlindungan. Termasuk bagaimana memanfaatkan kebijakan sehingga tidak terulang lagi peristiwa kekerasan. Pendampingan juga untuk meminimalisir trauma, serta memutuskan rantai, korban tidak menjadi pelaku. Demikian dikatakan Haryati Panca Putri, Direktur Pelaksana Yayasan YAPHI dalam diskusi pendampingan korban kekerasan pada anak dan perempuan bersama Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK), akhir Oktober 2021.   

Menceritakan tentang pengalamannya dalam mendampingi korban, Dunung Sukocowati penanggung jawab advokasi Yayasan YAPHI mengatakan hal pertama yang harus dilakukan adalah asesmen kebutuhan, yakni sesuai kebutuhan korban apakah akan membuat laporan, atau mengakses layanan kesehatan. Pada setiap kasus kebutuhannya berbeda-beda, intinya semua dikembalikan kepada korban. Pada suatu kasus, jika korban yang ditolong tidak harus ke rumah sakit  atau korban butuh penanganan, yang pertama ia lakukan adalah menangani trauma psikisnya.

Korban kekerasan terkadang mendapatkan intimidasi dari keluarga pelaku berarti korban butuh rumah aman atau butuh pemulangan atau reintegrasi sosial. Yang dilakukan pendamping untuk memenuhi kebutuhan korban, pendamping  berpikir bahwa korban harus dibawa ke rumah sakit. Asumsinya jika ia tidak dibawa, dia akan mati. Yang terjadi ternyata korban tidak nyaman dirawat di sebuah rumah sakit di Solo dan korban lebih nyaman bersama keluarganya di Jatim. “Kami membawa korban ke rumah sakit yang deket dengan keluarga di wilayahnya. Kebutuhan satu kasus berbeda dengan yang lainnya. Itu yang harus dipahami oleh pada pendamping,”terang Dunung.

Dunung menangani kasus yang terjadi di sebuah kota. Peristiwa KDRT terjadi di 2017. Korban mengalami luka bakar 80%. Awal 2017 keluarga korban datang ke kantor YAPHI untuk meminta pendampingan. Dunung dan tim  kemudian melakukan  investigasi ke rumah korban.  Waktu itu kondisi korban bisa dikatakan  tidak seperti manusia sebab sudah membusuk. Saat itu yang dilakukan Dunung dan tim di kantor adalah berkoordinasi dengan lembaga pemberi layanan agar korban bisa mendapat layanan medis, luka bakar  bisa disembuhkan. Termasuk berkoordinasi dengan para dokter dari PMI untuk melayani korban.

Pada saat korban hendak dibawa ke rumah sakit, ia meronta-ronta, menolak dibawa. Ternyata karena korban pernah mendapat trauma waktu perawatan di rumah sakit sebelumnya. Akhirnya ada dokter yang menyarankan stop dulu segala upaya membawa korban berobat ke rumah sakit. Sehingga menjadi catatan Dunung sebagai pendamping bahwa yang utama penguatan psikisnya. Seminggu sekali PMI mendatangkan psikolog untuk pemilihan korban. Setelah korban pulih kemudian baru kasus dilaporkan. Karena lokus sangat jauh luar pulau, pendamping akhirnya  melaporkannya terkait  penelantaraan. “Kasus itu bisa dilaporkan jika 6 bulan korban tidak diberi nafkah,” terang Dunung.

Menurut Dunung, pemetaan ini penting dan ini yang membedakan ketika lembaga pemberi layanan belum mengintegrasikan layanan dan tidak paham tupoksi sehingga berisiko menjadikan korban jadi korban lagi. Kepastian dalam pemulihan bagi korban dan proses hukum yang berkepanjangan dan lama, biasanya menjadi latar belakang korban mencabut laporannya. Untuk kasus di atas, dilakukanan pelaporan untuk kepastian hukum, dengan pengaduan ke Kapolri serta  membangun jaringan. Untuk kasus-kasus berikutnya, di Sukoharjo, pada September 2021 YAPHI membangun jaringan.  

Narasumber lainnya, Maria Rini Indriarti, dokter psikiatri di RSJD dr. Arif Zainudin memberikan pemahaman dengan tiga kata kunci saat pertama kami menemukan korban kekerasan pada anak dan perempuan yakni 3 L  : look, listen, link (hubungkan). Terkait pencegahan kekerasan, menurutnya beberapa kearifan lokal bisa digunakan misalnya cara mensugesti orang-orang dahulu untuk menghindari perilaku kekerasan yang dilakukan oleh para orangtua misalnya, “Aja galak galak dengan anak nanti anak akan lebih galak dari kita.”Anak adalah seorang peniru yang hebat. Seyogyanya sebagai orangtua bisa jadi tuntunan bagi mereka. “Dulu kita dapat pola asuh dari orangtua. Dari diri kita membangun mindset dan pola pikir bagaiamana kita saling asih asuh,” terang Maria Rini. Sekali lagi ia menegaskan dengan upayakan pencegahan primer dan tersier sebagai forum perpanjangan tangan untuk usaha mencegah kekerasan di lingkungan kita.

Menjawab pertanyaan peserta, bahwa restitusi sulit dilakukan sebab Aparat Penegak Hukum (APH) tidak memiliki perpsektif, Dunung Sukocowati menyatakan bahwa hal yang bisa dilakukan untuk memperjuangkan hak korban, justru akan melaporkan kasus perdatanya. Biasanya itu berada di gugatan rekonvensi. Kasus KDRT, lalu bercerai di gugatan rekonvensi. Kasus yang didampingi YAPHI, korban adalah 400 jt. Untuk gugatan rekonvensi akhirnya diputus hakim 80,5 juta. “Kita juga mendampingi di Sragen juga goal. Pelaporan penelantaran dengan gugatan rekonvensi hasilnya berpihak kepada korban.”pungkas Dunung. (Astuti