Publikasi

YPLAG Gelar Pemutaran dan Diskusi Film Unexpected PEACE

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Pada Sabtu, 13 September 2025, bertempat di Gedung Sekretariat Bersama, Surakarta,  berlangsung pemutaran dan diskusi film Unexpected PEACE yang diinisiasi oleh Yayasan Perdamaian Lintas Agama dan Golongan (YPLAG), MCC dan beberapa lainnya. Dari beberapa benua,  Amerika, Eropa dan Afrika, pada tahun ini yang mendapat kepercayaan untuk penayangan pertama adalah di Asia dan kota pertama adalah Surakarta.

Film Unexpected PEACE, sebuah film dokumenter baru yang diproduksi Dove Tale Productions, dengan sutradara Michael Hostetler serta penulis Jonathan Bornman dan Michael Hostetler, serta editor oleh Eyas Salam. Film ini bercerita tentang komunitas-komunitas yang membangun perdamaian.  Adegan dimulai  saat  Jonathan Bornman sedang berkumpul dengan ibunya bersama saudaranya yang lain, memperbincangkan  tentang bagaimana nenek moyang mereka mengajarkan cara menjaga perdamaian. Interaksi mereka lebih lanjut ke alam terbuka, dengan kegemaran ibunda Jonathan melihat burung-burung yang bebas terbang, semakin mengukuhkan bersepakat tentang konsep perdamaian.

Film berdurasi 95 menit ini kemudian berlanjut mengisahkan cerita pertama tentang pengampunan radikal yang diberikan oleh keluarga korban setelah penembakan sekolah Amish di Komunitas Amish, Nickel Mines (Pennsylvania) pada 2 Oktober 2006. Anggota komunitas Amish menghibur keluarga laki-laki yang menembak lima anak perempuan; beberapa anggota bahkan menghadiri pemakamannya. Demikian film dokumenter ini menceritakan, seraya memutar ulang dari gambar-gambar pemberitaan-pemberitaan. Penembakan di sekolah Amish, komunitas Amish terjadi pada 2 Oktober 2006, ketika seorang laki-laki bersenjata menyandera dan akhirnya membunuh lima anak perempuan dengan rentang usia 7–13 tahun dan kemudian laki-laki itu bunuh diri di Sekolah West Nickel Mines, sebuah gedung sekolah Amish yang terdiri dari satu ruang kelas di Nickel Mines, sebuah desa di Bart Township, Kabupaten Lancaster, Pennsylvania, Amerika Serikat.

Durasi film Unexpected PEACE di kisah pertama ini banyak menampilkan wawancara Jonathan pada bekas istri Charlie Roberts, laki-laki bersenjata tersebut. Ia bercerita, bagaimana saat kejadian, di hari yang sama, para anggota komunitas Amish menghibur keluarganya. Perempuan itu bercerita, oleh sang ayah, dia diminta untuk bersembunyi dahulu di dapur. Ia melihat, beberapa anggota memeluk orangtuanya, dan mereka menghadiri pemakaman suaminya. Film kemudian diputar secara sorot balik, di antaranya menyebut banyak sekali wartawan yang meliput peristiwa tersebut dan kemudian memilih pemberitaan dengan etika damai, dan mendukung apa yang dilakukan komunitas Amish. Disebutkan ada 300 wartawan yang datang ke lokasi kejadian.

Mantan istri Roberts menceritakan kronologi  peristiwa tragedi yang terjadi di tahun 2006, bahwa pada pagi hari saat kejadian tersebut, suaminya berangkat mengantarkan anak-anak mereka di pemberhentian bus sekolah seperti kebiasaan sehari-hari. Wawancara dilakukan pula di komplek makam, dan perempuan tersebut memperlihatkan makam anak bayinya yang meninggal, berpuluh tahun sebelum terjadinya peristiwa tragis tersebut dan setelah kematian bayi perempuan tersebut si suami mengalami sakit hati  dan kehilangan. Beberapa kalimat kunci sebagai kutipan,  menjadi penyejuk dan semakin menasbihkan bagaimana komunitas Amish ini menjalani laku perdamaian seperti apa yang telah mereka lakukan seperti :  "Perjalanan spiritual sekaligus konseling", “kasihilah musuh-musuhmu, dan berbuatlah baik kepada orang yang membencimu. Berkatilah orang yang mengutukmu, dan doakanlah orang yang jahat terhadapmu.”, serta kalimat “Saya tidak akan jadi budak dari kebencian.”

Cerita kedua berkisah tentang komunitas Muslim Muridiyah yang tinggal di  Senegal, Afrika Barat. Dikutip dari sebuah web,  Jonathan Bornman pertama kali bertemu Muslim Muridiyah di Senegal, tempat ia dan istrinya, Carol, bekerja dan mengabdi selama 10 tahun, diutus oleh sebuah kemitraan antara Friends of the Wolof (FOW), African Inter-Mennonite Mission, dan Mennonite Board of Missions (lembaga pendahulu Mennonite Mission Network). Meskipun beberapa Muridiyah bergabung dengan kelompok studi Alkitab dan persekutuan gereja yang baru dibentuk di mana Bornman terlibat, ia tidak menyadari komitmen tarekat Sufi ini terhadap antikekerasan.“Baay Faal (subkelompok Muridiyah) mengenakan pakaian tambal sulam yang berwarna-warni. Mereka secara agresif berdakwah, mengemis, menari, dan menabuh genderang di jalanan. Mereka memiliki reputasi negatif di komunitas misionaris, yang gagal memahami mereka atau tempat mereka di komunitas Muridiyah yang lebih luas,” Jonathan Bornman.

Dua dekade kemudian, Muridiyah, komunitas sufi yang ada di Harlem, New York, menjadi cerita kedua dari tiga komunitas yang disorot dalam film "Unexpected Peace", Jonathan Bornman memproduksi film dokumenter ini bersama produser pendamping D. Michael Hostetler, sutradara pertama Nazareth Village, dan sinematografer Ehab Assal. Proses produksinya memakan waktu lebih dari empat tahun.

Jonathan Bornman memanfaatkan pergeseran pandangannya dalam memandang komunitas Muridiyah sebagai "liyan" yang tak terjangkau, hingga mengakui nilai-nilai pasifis kelompok tersebut serupa dengan nilai-nilai komunitas Mennonite-nya sendiri untuk mengembangkan tema film ini yakni membangun perdamaian di antara kelompok-kelompok yang berbeda membutuhkan pengakuan akan kesamaan. Syaich Amadeu Bamba menjadi tokoh sentral komunitas Muridiyah.

Film ketiga adalah tentang Solo. Narasi utama film dokumenter ini berlatar di Solo (Surakarta), Indonesia, tempat di mana konflik Muslim-Kristen meletus pada pergantian milenium, yang mengakibatkan ribuan kematian. Peristiwa tragedi Mei 1998 menelan korban sebanyak 500 orang, terjadi banyak kasus perkosaan dan korban yang meninggal duinia. Lantas terjadi pula konflik di Ambon, diceritakan jika Hizbullah, salah satu laskar di Surakarta mengirim ‘tentara’ mereka untuk pergi berperang ke Ambon. Pada tahun 2002, di tengah kekacauan ini, Paulus Hartono, seorang pendeta Kristen, dan Yanni Rusmanto, seorang pemimpin milisi Islam (Hizbullah), bertemu dan mulai berupaya mencapai perdamaian. Kedatangan Paulus untuk pertama kalinya ke rumah Yanni Rusmanto tidak serta merta mendapat sambutan yang baik. Jangankan sambutan baik, membuka pintu saja ia enggan, karena menurut Yanni saat itu, orang yang memeluk agama selain Islam adalah kafir. Namun Paulus tidak bosan untuk berusaha, sehingga kemudian tiba saat Yanni berkenan membukakan hati dan pintu rumahnya untuk Paulus yang ingin bersilaturahmi. Narasi tersebut muncul di saat sesi diskusi setelah pemutaran film, antara Paulus Hartono dan Yanni Rusmanto yang duduk di mimbar di depan ratusan penonton. “Kuncinya adalah, ketika ditanya saya menginginkan teh atau kopi,maka saya pilih kopi, dengan air yang panas sekali. Mengapa demikian? Sebab jika kopinya panas, maka minimal saya akan butuh waktu untuk mengobrol paling tidak ya satu jam,”ujar Paulus. Perjumpaan demi perjumpaan akhirnya terjadi, Paulus juga mengenal anak buah Yanni Rusmanto kemudian mereka melakukan pelatihan kebencanaan bersama.

Bencana Tsunami melanda kota Banda Aceh dan sekitarnya  di Indonesia pada tahun 2004. Lebih dari 225.000 orang meninggal, dan banyak dari mereka yang selamat namun kehilangan tempat tinggal dan berduka. Paulus Hartono dan Yanni Rusmanto mengumpulkan sumber daya mereka untuk menanggapi krisis tersebut. Melalui pengalaman ini, kedua komunitas mereka,  sebuah jemaat Kristen dan sebuah milisi Muslim,  bersatu sebagai tetangga yang damai, memutus siklus kekerasan di kota Surakarta dan menantang prasangka anti-Islam dan anti-Kristen yang mengakar yang dulu dikatakan Kota Surakarta sebagai “sumbu pendek.”  

Dr. Achmad Munjid, akademisi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) termasuk yang digali lewat wawancara oleh Jonathan. Selain itu, wawancara juga dilakukan kepada tokoh kerukunan beragama seperti Sumartono Hadinoto, Helmi, Hj.Nurjanah Hilal juga pendeta Retno Ratih Suryaning yang memberikan statemen bahwa ketika moderat dan radikal bertemu maka akan memberi hasil.

Adegan cerita ketiga tersebut dibuka dengan percakapan antara pendeta Paulus Hartono dengan sang ibu, Lo Mien, di  toko miliknya. Dikisahkan bagaimana dulu Paulus yang lahir di luar kota Surakarta, kemudian mereka pindah ke kota Surakarta. Setiap Hari Raya Idul Fitri tiba,  bakul-bakul atau pedagang pengecer, yang sering “kulakan” diberi hadiah oleh Lo Mien.

Beberapa adegan di film ini tergambar sangat humanis, seperti  saat Yanni bercengkerama bersama Bulik Ida, datang dari Jakarta.  Mereka berbelanja ke pasar dan melakukan aktivitas  memasak bersama membuat menu stoop macaroni. Bulik Ida adalah adik dari orangtua Yanni yang sudah menganggapnya seperti  anak sendiri. Dalam beberapa adegan, diperlihatkan rasa kasih sayang itu dengan beberapa dialog.

Dalam sesi diskusi, sambutan Ketua YPLAG yang diwakili oleh Pendeta Bambang Mulyanto memberi ucapan terima kasih kepada MCC Thailand, dan MCC Indonesia yang berkantor di Salatiga.(Ast)