Sorot

Tinjauan Perspektif Hukum, Sosial, Kultural, Agama, Gender dan HAM dalam Mengawal RUU P-KS (2)

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Di Indonesia feminisme dimaknai secara keliru, secara awam dijadikan alat politik bagi upaya perlindungan terhadap perempuan dan anak, termasuk saat ini dalam upaya perjuangan melindungi korban-korban Kekerasan Seksual.

Feminisme sendiri adalah suatu kesadaran utk menyuarakan suara perempuan yang tersembunyi dalam tembok privat, publik, termasuk kejahatan perang. Terminologi ini dari textbook ilmu pengetahuan, bukan terminologi praktikal awam untuk keperluan sehari-hari. Kemudian muncul kesadaran bahwa ilmu pengetahuan itu sexist, lalu diadakan reformasi dalam berbagai bidang ilmu. Demikian dikatakan oleh Prof. Sulistyowati Irianto, guru besar Universitas Indonesia sebagai penanggap dalam Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (21/7).  

Sulistyowati juga menegaskan bahwa Feminisme bukan gerakan perempuan barat tetapi perempuan global. Perempuan dari seluruh dunia berkumpul di PBB membuat instrumen bersama untuk melindungi perempuan dari kejahatan dan kekerasan, melahirkan berbagai instrumen hukum. Pertemuan di PBB menghasilkan berbagai konvensi seperti CEDAW dan banyak general reccomendation, deklarasi penghapusan kekerasan, dan lain-lain. Dan yang paling kencang suaranya adalah perempuan-perempuan dari negara berkembang seperti  Asia, Afrika, dan  Amerika Latin. Perempuan India mengusung tentang bride-burning , perempuan Afrika tentang genital mutilation. Perempuan Indonesia Suwarni Salyo menyumbang Pasal 14 di konvensi tersebut.

Sulityowati juga menyinggung tentang Feminist Legal Theory, yakni salah satu aliran dalam teori-teori ilmu hukum. Teori ini mengkritisi hukum yang berdampak merugikan terhadap perempuan, contohnya KUHP soal perkosaan- dianggap sebagai kejahatan kesusilaan tetapi bukan kejahatan kemanusiaan. Mengapa hukumnya seperti itu ? Karena perempuan dikonstruksi sebatas tubuhnya saja, bukan sebagai manusia yang punya otak, jiwa, potensi-potensi yang sama dengan laki-laki. Para perumus hukum tidak memperhitungkan pengalaman dan realitas perempuan korban. Mereka belum pernah mengalami jadi korban seperti apa rasanya mengalami trauma sepanjang hidup, dimusuhi masyarakat, dll. Karena permasalahannya terletak dalam bidang hukum,  maka menyelesaikannya juga dengan hukum.

“Tidak Ada Feminisme, Tidak Ada Gerakan Perempuan Indonesia Sejak Abad 18 Sampai Hari Ini”

Kita mengenal akhir abad 18 perjuangan Ibu Kartini tentang hak pendidikan, hak politik, hak perempuan dalam keluarga (kawin paksa, kawin anak), serta hak kesehatan. Lalu pada awal abad 19- 1915 Swara Mahardika melakukan Mosi kepada pemerintah Belanda minta persamaan di muka hukum – Pasal 27 UUD 45 . Tahun 1928 diselenggarakan Kongres Perempuan pertama mengambil tema kebangsaan,  pembebasan perempuan dari kemiskinan, kebodohan, kawin paksa, kawin anak, dan perdagangan anak perempuan.

Pada tahun 1930 – PPIII melakukan mosi dengan ikut dalam pemilihan Dewan Kota (Batavia), dan tahun 1938 sudah ada perempuan di situ. Kemudian Pemilu tahun 1955 perempuan sudah boleh ikut. Seputar tahun kemerdekaan perempuan ikut dalam perjuangan di garis depan 1945-1948: Bradende Kampoeng. Tahun 1965 terjadi politisasi Gerakan perempuan dengan di-Gerwani-kan, perempuan ditangkap dan  dituduh. Tahun 1998 pada saat Reformasi dengan membidani reformasi bersama gerakan masyarakat sipil. Terakhir adalah Sidang Rakyat 4 hari yang diselenggarakan YLBHI dan ormas-ormas terkait pengalaman tentang Kekerasan Seksual. Itu sebabnya RUU ini dirumuskan sangat rinci karena betul-betul berdasarkan evidence based data, pengalaman dari para korban, pendamping, dan keluarga  (Astuti)