Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Dokter Zulvia Oktanida Syarif, Sp. KJ, atau dikenal sebagai dr. Vivi Syarif Sp.KJ,, dalam siaran YouTube RSUD Tarakan mengatakan kesehatan mental mencakup kondisi kesehatan mental setiap orang. Kalau di tempat kerja berarti spesifik di tempat kerja. Dikatakan tidak hanya sehat mental tetapi mampu menghadapi kekurangan dan kelebihan serta tekanan serta mampu produktif dan berkontribusi untuk masyarakat.



Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Konsep State Ibuisme diterapkan pada perempuan Indonesia hampir tidak ada perspektif gender di masa orde baru. Saat itu politisi perempuan tidak memiliki perspektif gender yang kuat. Amalinda Savirani dari Polgov yang menjadi host di YouTube Pares Indonesia kepada kawan diskusinya, Ken Setiawan menanyakan mengapa perempuan keberadaannya penting dalam politik. Pengalaman bahwa perempuan harus masuk dalam politik kesetaraan gender dan partisipasi politik bagian dari HAM merupakan hak dasar dari perempuan menjadi bagian yang terlibat dalam politik, maka SDGis perkembangan ke depan.

Menurut Amalinda kalau ada kesetaraan gender maka ada dampak positifnya tak hanya terkait pengurangan kemiskinan saja tetapi juga tingkat pendidikan yang lebih bagus serta produktivitas ekonomi lebih tinggi. Jadi jika memperbincangkan kesetaraan gender partispasi perempuan dalam politik itu bukan saja sesuatu yang penting bagi perempuan tetapi ada dampak baik untuk semua masyarakat

Nah pertanyaannya kalau politik berarti ada kompetisi? Masa perempuan hanya dijatah 30% saja? Regulasi yang mungkin menguntungkan untuk perempuan yakni kuota 30%. dengan secara tidak langsung akan ada pertisipasi perempuan yang sama dengan laki-laki. Sebenarnya respon yang memang seharusnya perempuan ikut berpolitik yang lebih serius dari laki-laki. Sedangkan kuota itu untuk membikin suatu tempat agar perempuan bisa berkompetisi dengan laki-laki. Jadi dengan adanya kuota itu bisa berkompetisi dan meritokrasi yakni sistem politik yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memimpin.

Adanya regulasi kuota menurut Amalinda tidak bermasalah sebab poin meritokrasi lebih didorong. Indonesia sendiri mulai melakukan affirmative action dalam kandidasi dan hasilnya tahun 2019 lebih 20% anggota DPR RI perempuan.

Lalu pertanyaannya adalah produktifkah sejak tahun 1999 kursi yang diduduki dari 7% sekarang 20%? 

Ken Setiawan menjawab salah satu contoh adanya affirmative action membantu representasi perempuan tetapi belum sampai di angka 20% dan belum menghasilkan kebijakan-kebijakan yang betul-betul berperspektif perempuan.

Undang-Undang yang dianggap milestone atau sebagai tonggak sejarah adalah Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang berhasil diloloskan namun begitu ada RUU yang masih stagnan yakni RUU PPRT yang rata-rata di sini melindungi perempuan. Kemudian pertanyaannya adalah ini soal perempuan atau yang lainnya?

Ken Setiawan dalam siaran YouTube mengatakam jika UU TPKS luar biasa dan sangat penting untuk pemenuhan dan perlindungan terhadap hak perempuan. UU ini disahkan tidak lepas dari konteks dan kepentingan politik khususnya untuk melawan politik Islam konservatif.

Sedangkan Amalinda Savirani menyebut bahwa alokasi 30% kandidasi perempuan hasilnya lebih bagus dibanding Malaysia misalnya, untuk berpartisipasi eksis dalam politik. Ini pernah diakui sebagai pencapaian tetapi perlu dorongan lebih kuat dan perlu banyak cara lagi. Indonesia memiliki tokoh perempuan seperti Megawati, Aisyiyah Aminy yang bisa memberi contoh dan bisa memberikan langkah lebih mudah.

Kultur Patriarki

Terkait kultur patriarki dan rendahnya partisipasi perempuan di lembaga politik, Ken Setiawan mengatakan perlu diakui bahwa perempuan ikut berorganisasi sejak zaman Belanda. Tetapi peran perempuan yang ditegaskan seperti apa? Ia seorang Ibu, Istri, juga seorang menteri misalnya. Pokoknya perempuan boleh berpolitik asal mengurus segalanya di ranah domestik, yang lebih dari segi sejarah.

Lantas apa dampak ideologi gender yang diterapkan negara terutama Orba ? yang disebut oleh peneliti Yulia Suryakusuma adalah Ibuisme. Partisipasi politik perempuan ada, namun terjadi depolitisasi, jadi susah sekali untuk perempuan berpolitik dan norma gender seperti ini susah, dengan ideologi tetap dan norma juga tetap.
Bisa dilihat di dalam buku-buku pelajaran di sekolah mengajarkan: Bapak pergi ke kantor. Ibu pergi ke pasar.

Ideologi Patriarki bisa diartikan pengutamaan laki-laki dan pengkhususan perempuan hanya di ranah domestik.

Selanjutnya tantangan bagi perempuan, kalau dia mau berpolitik mungkin dia bisa masuk organisasi masih di organsiasi tingkat desa. Dia harus minta izin dulu kepada suami. Biasanya diizinkan jika rumah sudah beres, anak sudah diberi makan. Kenyataan ada ketimpangan antara kondisi nyata dan ideologi gender. Terkait logika ekonomi. pasar,gaji-gqji perempuan lebih rendah dibanding laki-laki. Disinilah nalar pada politik dan ekonomi nyambung. Dan gender gap ini tidak hanya ditemukan di Indonesia tetapi juga menjadi PR banyak orang di seluruh dunia.


Perspektif Gender

Kebijakannya terkait perspektif gender kini bagiamana? Kalau melihat debat capres yang pertama, isu perempuan kurang menonjol. Tapi ada juga isu perempuan sebagai bagian kelompok rentan/minoritas. Sebenarnya bisa dipahami juga karena seperti bahwa perempuan berbeda. Tetapi jika isu perempuan terus-menerus dijadikan bagian dari kebijakan dari minoritas, maka biasa dijadikan minoritas bagian dari kebijakan laki laki dan masih ada institusinya lalu yang jadi sasaran program lagi-lagi perempuan.

Isu perempuan adalah proses yang terus berlangsung. Kembali ke RUU PPRT, hal ini tentu tidak hanya menyangkut isu perempuan tetapi ada kontestasi yang lebih tinggi . Politisi perempuan di dewan adalah kelas menengah. Sebagai perempuan ia dibantu perempuan yang lain yang relatif dari kelas bawah. Kalau RUU PPRT ini, sebelumnya menuntut standar upah seperti pekerja itu sangat bagus pekerjaannya, hanya kemudian ada kalkulasi ekonomi di kalangan kelas menengah dan dampak signifikansi bagian cash flow rutin : Kemungkinan juga jadi persoalan kalau ada proteksi pada perempuan kelas bawah yang jadi PRT . Jadi kebijakan ini dampak ekonominya ke kelas menengah dapat dirasakan. Menarik bahwa isu perempuan tidak bisa lepas dari isu kelas, sehingga kemudian mengkomplekkan situasi analisis yang tidak hanya gender. Tetapi gender yang beririsan dengan kelas sosial lain yang menyebabkan dan membedakan dengan UU TPKS. UU TPKS berhasil didukung alat politik dan publik yang luar biasa. Jadi ini berbeda dengan RUU PPRT.

Saat ini Indonesia kembali ke isu kepemimpinan perempuan contoh Megawati, Risma, Sri Mulyani Indrawati, Retno Marsudi dan 9% bupati dan wali kota di Indonesia adalah perempuan di Indonesia

Harus diakui meski itu relatif kecil karena dibanding 400 lebih kota/kabupaten.Jika dilihat perspektif berkelanjutan, maka 9% adalah awal yang lumayan. Tapi perlu terus didorong sehingga banyak perempuan jadi pimpinan publik. Lagi-lagi karena demokrasi. (Ast)


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Monster, Film dari Hirokazu Kore-eda mengajak para penonton untuk menilai suatu kejadian dari tiga perspektif berbeda. Menonton Monster bukan berarti langsung paham apa yang dimaui oleh sutradara dan penulis skenarionya. Sebab banyak plot twist yang kemudian mengarahkan kepada penonton bahwa sejatinya film ini memiliki sudut pandang dari tiga orang.

Monster berkisah tentang Saori yang diperankan oleh Sakura Ando, seorang ibu tunggal yang hidup berdua dengan putranya, Minato diperankan Soya Kurokawa. Suatu malam, Saori terheran ketika mendapati pertanyaan dari anaknya. Kala itu, keduanya tengah menyaksikan gedung tempat hiburan malam yang terbakar di balkon rumahnya. Minato kemudian bertanya,
"Bagaimana jika otak manusia digantikan dengan otak babi?” Pertanyaan yang nantinya akan menyambungkan benang merah dalam cerita. Simpan dulu misteri ini.

Pertanyaan tak wajar itu hanya dianggap angin lalu oleh Saori sampai ketika ia menyadari bahwa ada yang berbeda dari anak semata wayangnya itu; Minato yang tiba-tiba memotong rambut, botol minumnya terisi lumpur, hingga sepatunya yang hilang sebelah. Minato pun akhirnya mengaku bahwa dirinya dirundung oleh Hori diperankan Eita Nagayama, guru di sekolahnya.

Pada awalnya, penonton digiring untuk berprasangka bahwa Hori adalah sosok “monster” yang dimaksud dalam film ini. Lagian ada rumor negatif tentang diri Pak Guru Hori yang juga tersebar. Hal itupun semakin memperkuat dugaan bahwa Hori adalah sang antagonis. Namun, Kore-eda tak ingin membiarkan kita cepat-cepat menuduh sembarangan, sebab ada fakta lain yang terpendam dan akan terkuak seiring bergulirnya film.

Monster yang berjalan dengan konsep slow-burn layaknya film-film terdahulu Kore-eda secara perlahan mengungkap kejadian yang sebenarnya dari sudut pandang setiap tokoh utama. Meski bergulir dengan lamban, penonton dibuat penasaran seraya menerka apa yang sebenarnya terjadi. 

Ketika Hori sudah terpojokkan akibat banyaknya dugaan negatif atas dirinya, barulah giliran sudut pandang Hori yang berbicara tentang kejadian sebenarnya atas dugaan dari orang-orang dan Saori terhadap dirinya. 

Sementara sudut pandang Minato akhirnya mengungkap akar dari permasalahan yang bermuara pada prasangka buruk terhadap Hori, hingga pola pikirnya sebagai anak-anak yang terlihat polos, namun sebenarnya cukup kompleks. Minato bukan sekadar anak kecil yang suka bermain layaknya anak-anak pada umumnya. Lebih dari itu, ada berbagai hal rumit yang bergejolak dalam pikiran dan batinnya.

Di satu sisi, ada pula pihak yang enggan berusaha mengurai masalah. Ia justru mencoba menjaga agar nama baiknya tak ikut hancur. Hal ini direpresentasikan oleh Makiko Fushimi diperankan Yuko Tanaka sebagai kepala sekolah yang ingin menyelesaikan masalah tanpa berupaya menjadi penengah guna meluruskan kejadian yang sesungguhnya. Ia bahkan tak memberi Hori kesempatan untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya terjadi. Mungkin dipengaruhi oleh penggambaran bagaimana representasi dari generasi boomers atau baby boomers yang cenderung mapan dengan keadaan (ditempatkan sebagai inferior karena kronologi sejarah), dan tidak mau ribet,

Namun ada latar belakang trauma yang dialami Makiko terkait itu semua. Isu kesehatan mental menjadi representasi bagaimana seseorang terikat dengan traumanya sendiri. Pelik memang.

Masing-masing tokoh di film Monster membawa luka masa lalu. Seperti yang dialami kepala sekolah, namun juga Yori, si anak terperdaya atas perilaku kasar orangtunya. Ia yang sahabat Minato dan berusaha menyembunyikan persahabatan mereka di tengah masyarakat yang hanya mengenal tentang "normal' dan "heteronormatif" bahwa mereka yang memilik hubungan atensi atau bisa dikatakan afeksi mendalam hanya boleh dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Mereka, yang sama-sama memiliki luka, saling memberi perhatian yang lebih dan mengalami kecocokan di dunia mereka sendiri. Pemilihan "tempat tersembunyi mereka, sebuah gerbong bekas yang berada di bawah bukit, seperti bekas terkena bencana gempa.

Mereka memiliki dunia sendiri dan mengabaikan semua hal yang menjadikan luka di luar sana. Pennggambaran lokasi yang sungguh pelat, muram, bisa dimaknai betapa dunia mereka bisa asik dan gembira tatkala berdua merasakan apa yang namanya kasih sayang.

Film Monster bukan film biasa tetapi film yang membuat kita banyak merenung dan kembali merefleksikan diri. Seperti kata-kata yang diucapkan oleh Minato dan Yori, "Di mana moster itu?" jangan-jangan monster itu ada di dalam diri kita, yang diam-diam ikut menyalahkan atau gegabah menuduh dan menstigma orang tanpa melihat latar belakangnya. Atau monster itu ada di dalam diri kita yang tidak mudah untuk melihat perbedaan di depan mata. (Ast)


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

"Implementasi UU TPKS akan terus melalui proses perjalanan panjang, terutama bagi teman perempuan penyandang disabilitas. Namun, kami melihat berbagai langkah progresif telah dilakukan, terutama oleh lembaga pemberi layanan dengan koordinasi di bawah Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.Mereka yang mengalami kekerasan seksual harus mendapatkan penanganan yang sesuai dengan kebutuhannya, dengan akomodasi yang layak dan penghormatan terhadap korban sebagai individu yang bermartabat,”demikian ungkap Direktur SAPDA Nurul Saadah Andriani di dalam sambutan diskusi yang dihelat oleh SAPDA bertajuk Perlindungan Penyandang Disabilitas dari Kekerasan Seksual: Refleksi Gerakan dan Implementasi UU TPKS, Jumat (15/3).

Berdasarkan pengalaman Forum Pengada Layanan, implementasi UU TPKS di daerah masih menyisakan banyak temuan. Misalnya, regulasi ini masih absen di dalam penanganan
perempuan penyandang disabilitas korban kekerasan seksual. Belum adanya aturan pelaksana hingga saat ini membuat UU TPKS masih dianggap rumit untuk diterapkan. Ketika
digunakan pun, UU TPKS sering kali hanya menjadi juncto bersama dengan regulasi lainnya.

Namun begitu, hal ini sudah menjadi kemajuan kecil yang sangat baik di dalam implementasi UU TPKS. Selain itu, sumber daya yang terlibat dalam menangani kasus masih membutuhkan peningkatan perspektif gender, korban, dan disabilitas. Situasi ini terutama berlaku bagi petugas di Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA). UU TPKS sendiri telah memandatkan peran dan wewenang strategis kepada UPTD PPA dalam hal penanganan kasus kekerasan seksual, mulai dari menerima aduan, menginformasikan dan memantau pemenuhan hak korban, menyediakan layanan terpadu, memfasilitasi pemenuhan kebutuhan lain, termasuk mengkoordinasikan kerjasama dengan lembaga lain.

Di sisi lain, pemenuhan akomodasi yang layak sebagaimana mandat Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 masih perlu untuk dikawal. Sebagian lembaga penegak hukum
seperti Kejaksaan RI dan Mahkamah Agung RI memang telah mengupayakan adanya aturan teknis terkait pemenuhan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas korban kekerasan. Meskipun demikian, penerapannya masih menghadapi berbagai hambatan seperti minimnya perspektif dan alokasi anggaran yang terbatas. Menjadi pekerjaan rumah bersama untuk memastikan agar aturan-aturan ini terus tersosialisasi dan bisa terimplementasi sampai ke tingkat pelaksana.

Belum sempurnanya perspektif dan pemenuhan akomodasi yang layak pada akhirnya membuat korban kekerasan seksual, termasuk penyandang disabilitas, rentan mengalami
viktimisasi ulang. Untuk itu, aturan pelaksana UU TPKS harus mengatur setiap lembaga penanganan kasus agar menyediakan pemeriksaan yang terpadu dan lebih ramah terhadap korban. (Ast)