Sosok

Sepotong Kisah Mbah Mardi, Korban HAM 65

Penilaian: 5 / 5

Aktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan Bintang
 

Mbah Mardi panggilannya. Anak seorang Ulu-ulu atau petugas pengairan. Usia Mbah Mardi kini 84 tahun, dan tampak tangkas dalam berbicara meski untuk berjalan, ia kerap terlihat terhuyung-huyung.

Saya bertanya kepadanya, apa resep supaya tetap sehat hingga di usianya saat ini. Ia menjawab bahwa ia tidak pernah memendam marah atau jengkel hingga matahari tenggelam. “Kalau ada perasaan jengkel, marah, lampiaskan sehingga dirimu tidak mendongkol, karena hal-hal demikian bisa menjadi penyakit,” jawab Simbah. Siang itu, Kamis (17/9/2020) saya bersama tim YAPHI berkunjung ke rumah Mbah Mardi di Dukuh Nglarangan, Desa Teras Kecamatan Teras Kabupaten Boyolali yang jadi tempat berkumpul simbah-simbah korban pelanggaran berat HAM 65, mereka yang di-PKI kan oleh negara. Saat itu ada sekitar 25 korban melakukan pertemuan.

Mbah Mardi seorang calon lurah di tahun 1965 sebelum akhirnya ia ditahan, dituduh PKI. Di dalam tahanan dia menerima berbagai penyiksaan fisik. “Aku disiksa seluruh badanku tetapi tidak mempan. Kepalaku pernah dipukul dengan linggis, namun tidak bocor atau mengalami luka,” katanya datar. Ia menambahkan rumahnya masih beranyam gedhek (bambu) waktu itu.

Ia pernah dipenjara di LP Nusakambangan dan Pulau Buru. Saat di Nusakambangan, ia dan para tapol lainnya mengalami kesulitan pangan dan kelaparan. Untuk bisa makan saja ia dan kawan-kawannya harus mencuri singkong milik petani, dan kabar yang beredar di kalangan tapol lainnya, bahwa dirinya paling mahir dalam hal pencurian singkong.

Saat ditahan di Boyolali sebelum kemudian dipindah di Nusakambangan, anak sulung Mbah Mardi melihat dan sejak saat itu ia mengalami trauma. Waktu ditinggal di Pulau Buru, anak itu berusia lima tahun. Kejadian awal ditahan terjadi di tanggal 21 Oktober 1965 dan ia dicap tapol golongan B. Kemudian tahun 1970 ia dipindah ke Pulau Buru hingga tahun 1978. Selama 8,5 tahun ia habiskan waktu di Pulau Buru. Menurut pengakuannya, daya tampung Pulau Buru adalah 30 ribu, namun baru terisi 12 ribu orang dan itu terdiri dari 3 angkatan dengan program yang digulirkan pemerintahan Soeharto saat itu dengan transmigrasi secara paksa. Menurut ingatannya, ada 40 orang di Dukuh Larangan yang dibunuh dan 40 orang dibakar saat pembantaian tahun 1965.   

Terkait agama yang disandang Mbah Mardi, saat ia pulang dari Pulau Buru kemudian diminta menjadi pendakwah. Ia membangun gereja, yang awalnya bisa digunakan untuk peribadatan anak dan keturunnnya. Mbah Mardi mendirikan Gereja Kristen Jawa (GKJ) tersebut secara gotong-royong dan di dekat dengan bangunan gereja didirikan pula masjid. Bangunan gereja dan masjid bersebelaan. Menurut Mbah Mardi semua agama itu bagus hanya saja orang-orang atau oknumnya saja yang kadang masih merasakan malu jika hidup kere.

Ia menjual tanahnya, dan uang hasil penjualan itu ia berikan kepada anak-anaknya. Mbah Mardi yang saya temui dengan gaya bertutur kata-kata penuh motivasi, kepada saya menyatakan rasa kebanggaannya karena memiliki cucu yang lulus sarjana pertambangan.

Dan di pelataran rumahnya yang memiliki sebatang pohon kantil merah besar, ia tak luput berbicara, bahwa di masa pascapulang dari Pulau Buru ia memiliki kebiasaan  setelah bangun tidur pukul 5 pagi hingga sejam sesudahnya pergi ke “mbaben” atau peternakan babi miliknya. Kemudian pukul 6-7 pagi ia memanjat pohon kantil merah untuk mengambil bunganya dan dijual. Barulah pukul 7 ia pergi ke sawah.

Mbah Mardi kembali menegaskan kepada saya bahwa untuk menjaga sehat perlu menjaga kesehatan lahir dan batin, memakan makanan yang bergizi dan selalu berbahagia hidup bersama keluarga. Seraya berjabat tangan siang itu, Mbah Mardi mendoakan saya, “Gusti amberkahi”.

Dikutip dari buku “Pengakuan Algojo 1965, Investigasi TEMPO Perihal Pembantaian 1965” tak ada angka pasti tentang jumlah korban. Pada Desember 1965, Soekarno pernah membentuk komisi pencari fakta yang dipimpin Menteri Negara Oei Tjoe Tat untuk mencari tahu. Karena tak leluasa bekerja dan khawatir pada reaksi tentara, komisi itu menyimpulkan 78 ribu orang terbunuh_angka yang dipercaya terlalu kecil. Laporan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban menyebutkan korban tewas sekitar satu juta. Menurut mantan Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat, Sarwo Edhie Wibowo, setidaknya tiga juta orang terbunuh. Para aktivis kiri mempercayai dua juta. (Astuti)

 

Daftar pustaka :

-Kurniawan et al, Pengakuan Algojo 1965 Investigasi TEMPO Perihal Pembantaian 1965, Tempo Publishing, Cetakan Pertama, September 2013.