Sosok

Tiga Sosok Pegiat Isu Disabilitas Hadir dalam Siaran Radio Katolikana

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Saat ini jumlah penduduk Indonesia adalah 271 juta-an. Menurut penelitian World Health Organization (WHO), 15% penduduk dunia adalah penyandang disabilitas atau kerap disebut juga difabel. Penyandang disabilitas di Indonesia kerap mendapatkan perlakuan diskriminasi. Untuk mendapatkan apa saja pengalaman yang didapat oleh pegiat disabilitas, Lukas Ispandriarno lewat siaran Radio Katolikana pada Kamis (5/8), menghadirkan tiga orang narasumber yang sudah malang melintang di isu disabilitas.

Berawal dari ajakan teman untuk mengisi lowongan kepengurusan sebuah organisasi disabilitas, yakni di sekretariatan, Maria Goreti Sri Kusdiyati, disabilitas daksa/fisik kemudian menekuni isu disabilitas. Setelah lowongan tersebut terisi kembali, ia tidak serta merta meninggalkannya. MG Sri Kusdiyati masih berkecimpung dalam organisasi ini, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Yogyakarta, dengan duduk di kepengurusan bidang pemberdayaan perempuan disabilitas.

Banyak kegiatan yang diikuti oleh MG Sri Kusdiyati, antara lain sebagai pemantau pemilu dan keikutsertaan dalam diskusi-diskusi terfokus bersama organisasi disabilitas lainnya bersama pemangku kebijakan. Ia juga dilibatkan dalam diskusi-diskusi yang diselenggarakan oleh DPRD terkait pembangunan fisik dan pembahasan perda disabilitas.

Sebagai aktivis di Saya Perempuan Anti Korupsi (SPAK), MG Sri Kusdiyati juga pernah bertemu dalam forum yang diadakan oleh Kemensos. Ia bahkan terlibat dalam pengajian inklusi yang diselenggarakan di Jl. Ahmad Dahlan. Menurutnya, di saat pandemi ini problem paling utama yang dihadapi penyandang disabilitas selain kesehatan adalah ekonomi.

Beberapa kegiatan yang berhubungan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang di dalam Paroki disebut sebagai Umat Berkebutuhan Khusus (UBK) adalah menyelamatkan iman dengan menyelenggarakan sakramen inisiasi pada tahun 2012, 2019 dan sedianya tahun 2021 namun tertunda karena pandemi COVID-19.

Demikian pula pengalaman hidup Sr. Santi Kadaryati, PMY yang mengajar di SLB/B Dena Upakara Wonosobo. SLB itu berdiri sejak 8 Maret 1938. Saat ini ada 119 anak Tuli perempuan yang bersekolah di sana, namun sejak April lalu mereka semua dipulangkan karena pandemi COVID-19.Menurut Sr. Santi, anak-anak Tuli yang diajarnya memiliki banyak sekali gagasan dan ide. Keberadaan mereka merupakan keberwujudan bahwa perbedaan dan kebhinekaan itu ada.  

Setelah Merasakan Pahit Getir Pendidikan, Joni Tembus S2 University of Leeds dan Lee Kuan Yew University

Orangtua Muhammad Joni Yulianto tentu berbangga hati sebab anak yang dahulu wira-wiri diajak berobat mata bahkan hingga nyaris dioperasi di Jakarta, kini tengah menjadi sosok penegak isu disabilitas. Setelah melewati masa-masa pendidikan di SLB Yaketunis yakni SD dan SMP, Joni lebih memilih SMA reguler kemudian berkuliah di jurusan PLB Universitas Negeri Yogyakarta. Mengapa berkuliah di jurusan PLB? Ya karena saat itu, PLB-lah satu-satunya jurusan yang diarahkan bagi mahasiswa disabilitas seperti dirinya.

Lewat beasiswa Ford Foundation dengan mengambil Disability Studies, Joni menjalani perkuliahan selama 1,5 tahun di University of Leeds UK. Menurutnya, lembaga pendidikan di sana tidak melihat kondisi tetapi memenuhi apa yang menjadi kebutuhan mahasiswanya supaya bisa belajar dengan efektif. Selama kuliah ia mempelajari bagaimana social model sebagai perlawanan (dekonstruksi). Saat pulang ke tanah air, ia seakan mengalami stress, sebab kondisi pendidikan bagi penyandang disabilitas di Indonesis tidak mengalami perubahan.

Di Inggris semua kebutuhannya sebagai mahasiswa diakomodir, namun ketika di Indonesia tidak difasilitasi. Di sana ia biasa melakukan scan sendiri buku-buku dan ke mana-mana membawa laptop. Saat ini Joni merasakan bahwa pendidikan dari SD hingga SMA yang akses teknologi sangat sulit didapat. Belum lagi ketika bicara tentang difabel berat yang seharusnya ia memiliki hak pendidikan, padahal selain itu si difabel juga memerlukan pendamping untuk dapat berkegiatan sehari-hari. Ia juga memprihatinkan banyak sekali disabilitas yang tidak dapat mengakses teknologi. (Astuti)