Sorot

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Bansos untuk kelompok perempuan bukan isu yang jarang didengar karena kalau bansos saat pandemi sudah santer diinformasikan sejak April 2020, namun masih terkhusus kelompok umum. Atau mungkin ada namun tidak terinformasikan dengan baik. Dalam pemaparan sesi pertama Diskusi Publik bertema "Perempuan dan Bantuan COVID-19", Senin (21/6), Almas Sjafrina dari Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Mike Verawati dari Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) menginformasikan hasil penelitian kebijakan pemberian bansos kepada perempuan rentan yang berdasarkan pemantauan lapangan dan kajian regulasi di Kota Surabaya dan Kupang, serta survei online kepada 364 responden untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan bantuan sosial selama masa pandemi dan menggali sikap warga terhadap ide kebijakan Universal Basic Income. Pemantauan distribusi bansos dan kajian regulasi di Kota Surabaya dan Kupang dilaksanakan sejak Februari-Mei 2021.Kerja sama antara ICW dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Jawa Timur dan Bengkel APPeK Kupang menghasilkan empat dimensi pemberian bansos yang perlu dilihat secara seksama. Pertama, akses. kesempatan atau peluang perempuan rentan untuk memanfaatkan program penanganan COVID-19 masih sangat minim. Bantuan netral gender yang tidak berbasis asesmen kebutuhan mengurangi peluang perempuan untuk memperbaiki keadaan ekonominya. Sektor informal adalah sektor yang paling banyak digeluti perempuan, tetapi bantuan sosial yang diberikan pemerintah semata-mata hanya sembako atau uang.

Memang ada program lain yang ditargetkan untuk perempuan, namun kementerian ini tidak menjurus untuk urusan bantuan. Kedua, partisipasi. Pelibatan kelompok perempuan atau stakeholders kunci lain dalam penyusunan program agar tidak netral gender, menyebarkan dan mendapat informasi, dan pendistribusian. Pemerintah yang menjadi leading sector belum banyak melibatkan perempuan, khusunya perempuan rentan sehingga perspektifnya kurang. “Dari wawancara kepada perempuan rentan yang kami lakukan, mereka kesulitan untuk menyampaikan klaim atau mengajukan laporan mengenai pendistribusian bansos yang tidak mereka terima”, ujar Almas. Ketiga, kontrol. Kekuasaan atau peluang perempuan rentan untuk mengawasi dan menguasai. Kelompok perempuan potensial menjadi pihak yang aktif mengawasi bansos, tetapi belum didukung pengetahuan yang cukup mengenai informasi bansos dan jaminan rasa aman. Seperti di Surabaya, ada kader perempuan aktif yang apabila diberdayakan dengan baik akan menimbulkan perspektif yang baik dalam pendistribusian bansos.

Keempat yakni manfaat atau pemanfaatan program-program yang tersedia oleh kelompok perempuan rentan. Bansos berupa sembako seringkali dikeluhkan karena ragam jenis, nilai gizi, dan kualitasnya yang kurang. Pemanfaatannya yang hanya jangka pendek belum maksimal memenuhi kebutuhan perempuan dan keluarga di tengah COVID-19.Mike dalam pemaparannya menegaskan hasil temuan ICW. Koalisi Perempuan Indonesia dalam pemantauan distribusi bansos yang sudah dilakukan 6 bulan sekali melihat bahwa kondisi perempuan rentan di masa pandemi seperti gunung es. Tersedia alat pelindung diri, rumah sakit,pangan, namun di sisi lain terdapat beberapa permasalahan seperti gizi, stress management,keterbatasan teknologi, keberlanjutan ekonomi, kesehatan reproduksi, rumah aman, layanan kesehatan rutin, parenting dan pembangunan peran, serta layanan publik. Bantuan yang masih netral gender menentukan apakah seseorang/kelompok masyarakat dapat bertahan dalam kondisi darurat. Hasil survei online KPI yang dilaksanakan 15-31 Mei 2020 terdapat 6 kelompok kepentingan paling terdampak pandemi, yakni perempuan buruh/buruh migran, pekerja informal, ibu rumah tangga, disabilitas, lansia, dan anak perempuan/pelajar. “Selain bansos, program pemulihan ekonomi nasional juga belum dapat menolong secara optimal karena pekerja informal justru tidak tertolong dengan adanya program ini”, tambah Mike.

Di sesi kedua dibawakan oleh Yanti Damayanti dan Diah Pitaloka, menjelaskan bahwa sistem perlindungan sosial masih terus diupayakan dan diperbaiki oleh  pemerintah. Permasalahan dasar memang masih membayangi yakni keterbatasan sistem data terlebih data terpilah, keterbatasan anggaran, dan kurangnya koordinasi serta integrasi. Masalah ini tidak hanya dialami satu lembaga seperti Kementerian Sosial, tetapi banyak lembaga. Untuk masa krisis seperti ini bukan masalah baru untuk melihat bagaimana perempuan memperoleh perhatian khusus. Norma gender mendorong perempuan menanggung beban pekerjaan domestik yang semakin besar khususnya dengan adanya kebijakan bekerja dari rumah, pembelajaran jarak jauh, dsb. “Karena itu kebijakan pemerintah untuk menjadikan perempuan sebagai penerima bantuan sosial merupakan upaya agar perempuan memiliki kontrol atas sumber daya, meski mekanisme ini belum sepenuhnya dapat mempengaruhi dinamika dalam rumah tangga”, kata Yanti. Diah menambahkan, ada kebutuhan meningkat untuk bantuan sosial karena masa pandemi. Satu kebijakan yang diambil pemerintah adalah kebutuhan penambahan kuantitas dan kualitas bantuan sosial. Kementerian Sosial mempunyai PR membentuk kerangka bantuan sosial untuk mengetahui kebutuhan apa saja yang benar-benar dibutuhkan oleh penerima manfaat. Pemilahan data, manajemen data, dan siapa yang menginput data adalah data sosial yang dinamikanya mengikuti jumlah masyarakat miskin sehingga dibutuhan operasionalisasi data. (Astuti/ sumber : ICW)


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Restorative Justice. Istilah ini sedang marak menjadi bahan pembicaraan diberbagai media setelah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD membahasnya dengan memberikan contoh yang dinilai tidak tepat.


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Beberapa hal menjadi “Pekerjaan Rumah” (PR) tersendiri bagi Jaringan Visi Solo Inklusi dalam pengawalan pelaksanaan Perda nomor 9 Tahun 2020 sebab masih banyak dijumpai di lapangan beberapa pihak baik dari komunitas difabel dan pemangku kebijakan belum memahami perspektif disabilitas dan inklusivitas.  Dalam rapat koordinasi dan konsolidasi yang diselenggarakan secara luring  di Ruang Anawim Kantor Yayasan YAPHI pada Rabu (9/6), Galih Saputro, salah seorang perwakilan dari Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin) bahwa orang-orang awam masih belum paham soal disabilitas dan masih perlu banyak informasi yang harus disampaikan.

Demikian pula apa yang disampaikan oleh Pamikatsih ketika berbicara tentang inklusi maka arah gerakan inklusi saat ini adalah social inclusion (inklusi sosial) dan hal ini menyangkut perubahan peradaban dan sistem. Ia menambahkan ada empat pilar yang harus berjalan proporsional dan sesuai fungsi masing-masing. Tahap perkembangan berdasarkan sejarah adalah : 1) Segregasi 2) integrasi 3) inklusi 4) inklusi sosial. Saat ini ada dalam tahap inklusi dan dalam praktiknya inklusi masih banyak kegagalan. Ada empat pilar yang mempengaruhi: 1) Orang tua, 2)  masyarakat/umum,3) kaum profesional (NGO, universitas, dll), 4) Negara. Dalam praktiknya 10 tahun dinilai gagal karena empat pilar tersebut tidak disatukan sebab yang banyak berperan hanya negara dan profesional.

Pamikatsih menambahkan bahwa empat pilar harus berjalan proporsional dan sesuai fungsi masing-masing. Ia menganalogikan seperti roti bolu, semua harus saling melengkapi. Pun ketika pembahasan  draft perwali, turunan dari perda nomor 9 tahun 2020, maka harus sudah bisa mencakup semua. Ia juga sudah melakukan penelitian.  Penyandang disabilitas yang bersekolah di sekolah inklusi masih banyak yang tidak dianggap sehingga lebih memilih sekolah khusus yakni SLB yang harus di-setting sebagai pusat sumber untuk memberikan edukasi ke sekolah-sekolah inklusi.

Dikuatkan oleh Ismail, pegiat Tuli, bahwa jaringan perlu membuat panduan-panduan tentang inklusi dan lain sebagainya.  Agustina Wanisari menambahkan bahwa di kabupetan lain, ada penyusunan modul terkait ketenagakerjaan disabilitas yang bekerja di perusahaan, termasuk di dalamnya bagaimana cara berinteraksi terhadap penyandang disabilitas, dari berbagai ragam mislanya netra, Tuli, fisik bahkan disabilitas mental.

Menutup diskusi, Haryati Panca Putri menyatakan bahwa penting untuk membangun pemahaman bersama dengan memberikan perspektif disabilitas kepada masyarakat luas, termasuk bagaimana menjelaskan kawasan inklusif, “Ada kerangka besar yang harus dipahami lebih dulu agar nanti penyusunan perwali lebih enak. Sistem yang harus diubah. Saat ini yang menjadi target adalah mewujudkan inklusi sosial,” pungkasnya. (Yosi Krisharyawan/Astuti)

 


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Banyak sekali kesan baik datang dari berbagai penjuru terhadap Maria Rita Roewiastoeti, seorang perempuan pejuang hak atas tanah bagi masyarakat adat, para sahabat dan bahkan orang yang baru pertama kenalan. Kesan-kesan itu termaktub dalam sebuah buku yang sebagian bersumber dari Zoom pada 9 Januari 2021 dan penggalian kisah dari orang-orang yang berinteraksi dengan Maria yang diinisiasi oleh Yayasan YAPHI, hari di mana jenazah Maria diperabukan. Buku berjudul “Maria dalam Kacamata Sahabat” yang berbentuk soft-file dan masih dalam proses final editing tersebut rencananya akan dicetak terbatas dan dipersembahkan bagi keluarga Maria. Demikian salah satu dari statemen Haryati Panca Putri, Direktur Yayasan YAPHI yang memberikan sambutan dan pernyataan dalam  Zoom memperingati kiprah Maria R. Roewiastoeti dalam penguatan isu perempuan dan sumber daya alam yang dimoderatori oleh Myra Diarsi , Sabtu (20/2).


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Faisal Mustofa tampak intens memainkan alat musik yang baru pertama kali ini dipegangnya. Alat musik yang bernama Guitar Q-Chord tersebut tanpa sulit ia mainkan setelah mendapat pengarahan dari Pendeta Yopi Rahmat yang sejak dari awal menyambut dengan ramah.  Beberapa lagu berhasil ia iringi di antaranya Indonesia Pusaka dan Serumpun Padi di dalam Gereja Pantekosta, sebuah situs sejarah yang berada di Komplek Lodji Wetan. Selain Guitar Q-Chord, Faisal juga memainkan Akordion, alat musik mirip piano namun dimainkan dengan cara menggantungkan alat musik tersebut di badan pemain. Tangan kiri pemain memainkan tombol akord sedang tangan kanan melodi.


Penilaian: 5 / 5

Aktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan Bintang

Problem kemiskinan selalu berangkat dengan persoalan data. Sedangkan permasalahan data di Indonesia masih amburadul. Dari beberapa wilayah, angka kemiskinan yang dikeluarkan oleh Dinas Sosial  setempat kekeliruannya adalah 30%. Sedangkan yang miskin dan tidak semua terdata, tantangannya ada di 28%. Oleh karenanya kita perlu mengurai akar masalah. Demikian dikatakan oleh Zakaria dari Pengurus Harian Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (PH TKPKD),  saat diskusi via zoom meeting yang dihelat oleh Yayasan YAPHI, Senin (25/1).


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Seluruh tulisan ini adalah bersumber dari pertemuan virtual lewat zoom meeting yang diselenggarakan pada Senin, (8/3) bertajuk diskusi ulang tahun ke-25, Padepokan perempuan GAIA memaknai diri kini dan kelak.  Dibuka dengan paparan pendirinya, Nunuk Murniati, bahwa latar belakang padepokan perempuan ini memiliki visi dan misi serta berbagai kegiatan. Tahun 2014, GAIA memperbarui manajemen karena tongkat estafet perlu diwariskan kepada generasi penerus dan perlu penyegaran. Tahun 2016 dipilihlah nama Padepokan Perempuan GAIA dan menjadi perkumpulan untuk siapa saja, khususnya generasi muda. Dengan dua orang pengasuh yakni Nunuk Murniati dan Myra Diarsi, pengelolaan Padepokan Perempuan GAIA oleh tim manajemen (collective leadership) yang bernama tim penggerak. Mengapa dinamakan tim penggerak sebab menghindari kata pengurus karena cenderung patriarkis hirarkis.


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Dalam diskusi daring yang dilaksanakan oleh Kontras dengan tema melawan impunitas, catatan kritis 20 tahun Undang-Undang Pengadilan HAM, Senin (23/11), Tioria Pretty menyatakan bahwa saat ini ada 15 kasus yang sedang dan telah diperiksa. Pelanggaran HAM berat yang sudah selesai diselidiki namun tidak ada tindak lanjutnya adalah : Peristiwa 65-66, penembakan misterius, peristiwa Talangsari, Trisakti Semanggi 1 dan 2, penghilangan orang secara paksa, Kerusuhan Mei 98, Peristiwa Simpang KKA Aceh, Peristiwa Jambo Keupok Aceh, pembunuhan dukun santet, Rumah Gedong Aceh, Paniai, dan Wasior dan Wamena. Sementara itu baru tiga pelaggaran HAM berat yang sudah diadili : peristiwa Tanjung Priok, Timor-Timur, dan Abepura.