Sorot

Melawan Impunitas, Catatan Kritis 20 Tahun Undang-Undang Pengadilan HAM

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Dalam diskusi daring yang dilaksanakan oleh Kontras dengan tema melawan impunitas, catatan kritis 20 tahun Undang-Undang Pengadilan HAM, Senin (23/11), Tioria Pretty menyatakan bahwa saat ini ada 15 kasus yang sedang dan telah diperiksa. Pelanggaran HAM berat yang sudah selesai diselidiki namun tidak ada tindak lanjutnya adalah : Peristiwa 65-66, penembakan misterius, peristiwa Talangsari, Trisakti Semanggi 1 dan 2, penghilangan orang secara paksa, Kerusuhan Mei 98, Peristiwa Simpang KKA Aceh, Peristiwa Jambo Keupok Aceh, pembunuhan dukun santet, Rumah Gedong Aceh, Paniai, dan Wasior dan Wamena. Sementara itu baru tiga pelaggaran HAM berat yang sudah diadili : peristiwa Tanjung Priok, Timor-Timur, dan Abepura.

Tioria menjelaskan sumber permasalahan penanganan HAM yang berlarut-larut adalah minimnya political will dan celah normatif yang memungkinkan penundaan proses yang tidak perlu secara terus-menerus dan pelanggaran HAM berat berdasarkan UU Pengadilan HAM yaitu : kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Ia kemudian menjelaskan asas-asas yang harus dipertahankan yaitu :Pengecualian asas non-retroaktif, dan tidak ada kadaluwarsa.

Terkait tentang permasalahan penyelidikan adalah ketiadaan wewenang penyelidik (Komnas HAM) melakukan upaya paksa, adanya inkonsistensi definisi dan tujuan penyelidikan, serta ambiguitas frasa “bukti permulaan yang cukup”, tidak ada batas waktu bagi penyidik untuk menentukan hasil penyelidikan Komnas HAM sudah bisa dilanjutkan ke tahap penyidikan atau harus dikembalikan untuk dilengkapi, serta tidak adanya mekanisme penyelesaian perbedaan pendapat antara penyelidik dengan penyidik.

Usaha-usaha peluang perbaikan juga bisa dilakukan. Menurut Tioria dengan pemberian wewenang penyidikan kepada Komnas HAM, pemberian wewenang penyidikan dan penuntutan kepada Komnas HAM, mekanisme asistensi oleh Kejaksaan Agung pada tahap penyelidikan, mekanisme penyelesaian perbedaan pendapat penyelidik dengan penyidik, misalnya melalui sidang pra-peradilan pada pengadilan HAM.

Ia memberikan kesimpulan bahwa Undang-Undang Pengadilan HAM yang sudah berlaku selama 20 tahun belum efektif memberikan akses terhadap keadilan bagi bangsa Indonesia. Selain political will yang minim, tidak efektifnya UU Pengadilan HAM juga disebabkan oleh berbagai kelemahan pengaturan yang memungkinkan adanya penundaan yang berlarut-larut. Salah satu upaya konkrit yang bisa dilakukan untuk mengakhiri impunitas kasus-kasus pelanggaran HAM berat adalah revisi terhadap Undang-Undang Pengadilan HAM.

 

Marzuki Darusman tentang 20 tahun Undang-Undang Pengadilan HAM

Marzuki Darusman sebagai salah seorang narasumber mengawali bahwa track record lembaga Kontras cukup panjang maka hal ini layak untuk mendapat perhatian serius. Menurutnya, selain political will dari pemerintah yang tak kalah penting adalah kapasitas politik (kapabilitas politik), sumber daya dan lain-lain. Kapasitas itu berupa perspektif, tujuan, atau penyembuhan luka-luka masa lalu yang tidak tuntas. Untuk mematahkan political will pemerintah, hukum internasional mewajibkan negara melakukan penuntutan. Negara juga punya kewajiban untuk mencegah, sebagaimana Pasal 28 i, menyantuni korban, political will ini kunci dan selalu ada alasan pemerintah dan sah. Alasan yang sah yakni ada kondisi umum penolakan terhadap transisi demokrasi, praktik hukum internasional apakah ada risiko kudeta? Apabila ada maka risiko pecahnya konflik baru. Kemudian ancaman terhadap masyarakat sipil, ancaman pembunuhan terhadap pelaku politik, apakah pemantauan pelanggaran HAM berat punya implikasi terhadap ekonomi bangsa?

Marzuki menambahkan perlu pernyataan dari negara alasan apa lagi pemerintah memiliki keraguan yakni : eksesif, terus menerus, kecenderungan pemerintah untuk tetap berkuasa, pemerintah menyembunyikan dalam jajarannya ikut pelanggaran HAM berat, serta pemerintah berhasrat untuk melanggengkan kekuasaan. 

Menurut Marzuki, dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ini diperlukan juga pasal untuk memastikan yurisdiksi dari pengadilan itu. Dan dalam yurisdiksi ini dalam ketentuan hukum internasional ada dua yaitu yurisdiksi interpretasi dan yurisdiksi kasus. Ini penting karena diperlukan wewenang pengadilan untuk melakukan interpretasi terhadap UU Pengadilan HAM itu sendiri. Ia menambahkan perlunya penerapan asas res judicata yaitu suatu perkara yang diadili pada tingkatan peradilan yang berlainan pada akhirnya harus diputuskan oleh Pengadilan HAM. Kemudian menyertakan hak panggil secara paksa yang diberikan kepada Komnas HAM agar ditetapkan secara hukum.

Pembicara lain, M. Choirul Anam menyatakan kerangka berpikir pelanggaran HAM berat harusnya berbeda dari kejahatan pidana biasa. Pada pelanggaran HAM berat tidak bisa hanya mengacu pada dua alat bukti seperti pidana biasa. Yang menghambat bukan teknis hukum tetapi political will. Diperlukan sinergi yang kuat dan tim bersama antara Kejaksaan Agung dan Komnas HAM dalam penanganan Kasus HAM. Jangan sampai pada penanganan Kasus HAM yang berlarut-larut hingga korban dan pelakunya meninggal dan mengakibatkan kasus selesai dan tidak dapat dijadikan dasar penerapan hukum kasus-kasus lain ke depan,

Sementara pembicara terakhir, Taufik Basari mengemukakan memang belum ada pengaturan terkait pemulihan hak-hak korban dan ini perlu direvisi. Komnas HAM dan Kejaksaan Agung harus duduk bersama untuk menyingkirkan ego masing-masing dan perkuat tim untuk penanganan segala kasus HAM.  Komnas HAM bisa juga mendapatkan andil peran sebagai penyidik. UU No 26 Tahun 2000 layak untuk dilakukan revisi dengan disesuaikan konteks-konteks maupun implementasi yang ada. (Hastowo Broto Laksito/Astuti)