Lintas Berita

Diskusi Mengenal Standar Norma Pengaturan tentang Pemulihan Hak-Hak Korban

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

55 tahun bukanlah waktu yang pendek bagi para korban pelaggaran HAM berat 65.  Harapan demi harapan selalu menghidupi dan menjadi daya bagi korban untuk memperoleh keadilan. Persoalan ini  selalu menjadi PR bagi penguasa dan  belum terselesaikan. Padahal Indonesia telah resmi meratifikasi beberapa peraturan internasional bahkan pemerintah telah menyusun RAN-HAM yang seharusnya menjadi jembatan bagi pemerintah sebagai upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat 65 .

Setidaknya dari 15 kasus hanya 3 yang diproses melalui proses peradilan. Pelaku dibebaskan namun hak-hak korban belum terpenuhi. Hal lainnya adalah kegagalan pembentukan KKR menjadi gambaran tentang skema politik yang menghambat penyelesaian. Upaya yang saat ini dilakukan pemerintah masih jauh dari kata ideal untuk pemenuhan HAM bagi para korban.  Demikian dikatakan Haryati Panca Putri, Direktur Yayasan YAPHI, pada diskusi bersama forum koordinator korban pelanggaran HAM berat bertema “Mengenal Standar Norma dan Pengaturan tentang Pemulihan Hak-Hak Korban” secara daring dan luring di Ruang Anawim Yayasan YAPHI, Selasa (25/1).

Komnas HAM telah menyusun Standar Norma dan Pengaturan (SNP) tentang pemulihan hak -hak korban pelanggaran HAM Berat, harapannya hal ini dapat menjadi panduan bagi negara untuk menjalankan kewajiban konstitusionalnya dalam pemenuhan hak-hak korban. Sedangkan tujuan Yayasan YAPHI mengadakan diskusi adalah untuk mendapatkan pengetahuan dan pemahaman bersama tentang SNP tentang Pemulihan Hak -Hak Korban Pelanggaran HAM Berat dan melihat peluang dengan hadirnya dokumen tersebut yang disusun oleh Komnas HAM.

Diskusi menghadirkan Atikah Nuraini sebagai salah seorang penyusun Standart Norma dan Pengaturan tentang pemulihan hak -hak korban pelanggaran HAM Berat. Untuk apa perlu dibentuk SNP? Alasannya adalah banyak pihak yang memiliki konsep rumit tentang konsep hak asasi manusia yang kemudian rentan menimbulkan multitafsir. Hal itu pun terjadi pada pengambil kebijakan di tingkat daerah hingga pusat yang memiliki tafsir sendiri-sendiri sehingga kebijakan yang diputuskan tidak merujuk pada pedoman universal. Untuk itu Komnas HAM mencoba untuk menjembatani hal tersebut, agar tidak menimbulkan interpretasi. Hal yang sama terjadi juga pada para pihak yang melakukan advokasi. “Pedoman ini dimaksudkan supaya kita memiliki pedoman yang sama dan membangun persepsi yang sama,”terang Atikah.

Tujuan dan manfaat SNP, yaitu: 1. Memberikan pedoman kepada negara dan pemerintah untuk memastikan segala kebijakan, peraturan perundang-undangan dan tindakan yang diambil baik dalam kerangka legislasi administratif, teknis, dan penganggaran, sesuai dengan kewajiban negara untuk menghormati, memenuhi, dan melindungi HAM serta memulihkan hak-hak Korban pelanggaran HAM Berat. 2.Memberikan pedoman kepada setiap pihak, baik individu maupun kelompok, untuk memahami tentang hak-hak Korban pelanggaran HAM berat dan pemulihannya. 3. Memberikan pedoman kepada aktor non negara untuk menghormati hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat dan juga menghindari tindakan-tindakan yang dapat melanggar hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat.

Konteks Pelanggaran HAM yang berat adalah yang dimaksud adalah Pasca Reformasi 1998, Indonesia mengalami transisi politik yang mengakhiri pemerintahan Orde Baru. Pemerintahan-pemerintahan pasca orde baru menghadapi tuntutan keadilan atas berbagai warisan pelanggaran HAM yang berat (dari Aceh sampai Papua).

Sejak berlakunya UU No. 26 Tahun 2000, Komnas HAM telah menyelesaikan penyelidikan terhadap 15 peristiwa pelanggaran HAM yang berat, hanya tiga perkara yang yang telah diajukan dan diputus oleh pengadilan, Timor-Timur dan Tanjung Priok dengan Pengadilan HAM ad hoc dan Peristiwa Abepura oleh Pengadilan HAM, 12 perkara lainnya masih tidak jelas; problem interpretasi legal-formal, konflik kelembagaan, tidak ada kemauan untuk menyelesaikan kasus masa lalu.

Undang-Undang KKR dibatalkan, dan sampai dengan hari ini belum ada undang-undang yang baru. Dan  Pengungkapan Kebenaran lewat KKR belum dilakukan; KKR Aceh. Sedangkan mekanisme Pemulihan bagi korban masih terbatas pada Layanan LPSK untuk Perlindungan Saksi dan Korban dan Layanan medis, psikologis, dan psikososial.

Lalu bagaimana kerangka dan pendekatannya? Menurut Atikah, ini adalah kewajiban negara, tetapi masalahnya terkadang hal ini tidak dihormati oleh pengambil kebijakan. Kemudian pendekatan berbasis hak, pendekatan keadilan transisi, pendekatan ini digunakan oleh negara-negara pasca otoritarian. Banyak negara yang mengalami peristiwa otoriter yang sama seperti Indonesia, sehingga pendorong adanya pendekatan transisi. Terakhir adalah pendekatanan interseksional yang mengakui bahwa pengalaman korban itu bermacam-macam. Korban memiliki pengalaman yang homogen, seperti contoh perbedaan laki-laki dan perempuan berbeda, meskipun menjadi korban pada peristiwa yang sama. Dan tentu hal ini mempengaruhi kebutuhan korban

Sampai kepada terminilogi pemulihan yang bermakna luas. Berbicara tentang pemulihan maka akan berbicara tentang banyak dimensi (fisik, psikologis, ekonomi, hukum, dsb). Pemulihan harus dilihat secara luas tidak terbatas hanya pada kompensasi dan rehabilitasi, sebab harapannya para korban dapat melihat mana pemulihan yang paling dibutuhkan.

Sedangkan definisi dan cakupan pelanggaran HAM yang berat, merujuk pada instrumen HAM internasional dan peraturan perundang-undangan Indonesia haruslah dimaknai dalam sejumlah dimensi yaitu: Pelanggaran HAM yang Berat dalam pengertian “gross violation of human rights” yang mencakup berbagai bentuk pelanggaran HAM dengan tingkat atau bobot keseriusan pelanggaran berat terhadap HAM yang melingkupi pelanggaran hak-hak sipil dan politik serta hak-hak ekonomi, sosial dan budaya; Pelanggaran HAM yang berat dalam kerangka definisi dalam ranah hukum pidana yakni Kejahatan Genosida dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan sebagaimana diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000.

Apa kriterianya Pelanggaran HAM yang berat? Perkara-perkara pelanggaran HAM yang berat sebelum diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000) dan setelah diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000, sifat kejahatan pelanggaran HAM yang berat yang masif, sebagian besar dilakukan oleh aparat negara, menggunakan sumber daya negara, serta didukung atau disponsori oleh negara, baik melalui tindakan pelanggaran secara langsung dan tidak langsung ataupun melalui berbagai  kebijakan yang diskriminatif.

Pola yang sistematik dan meluas, baik yang bersifat koersif ataupun yang bersifat ideologis, misalnya pemaksaan keyakinan, penggunaan hukum sebagai alat kekuasaan dan sebagainya. Bukan hanya mencakup berbagai tindakan kekerasan seperti pembunuhan, penghilangan nyawa, penculikan dan penghilangan paksa, dan penyiksaan, tetapi mencakupi berbagai bentuk tindakan lain di antaranya kerja paksa, perampasan sumber daya alam dan sumber penghidupan, perampasan harta benda, pengambilalihan tanah-tanah warga secara melawan hukum dan sebagainya.

Pelanggaran HAM yang berat yang bukan saja mencakup pelanggaran hak-hak sipil dan politik namun mencakup pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.

Siapa korban pelanggaran HAM yang berat ? Korban adalah orang-orang yang secara individu atau kolektif menderita kerugian, termasuk cedera fisik, mental, dan seksual, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau kerugian substansial dari hak-hak dasar mereka, melalui tindakan atau kelalaian yang merupakan pelanggaran berat hukum HAM internasional, atau pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional.

Istilah Korban juga mencakup keluarga dekat atau tanggungan korban langsung dan orang-orang yang telah menderita kerugian dalam campur tangan untuk membantu korban dalam kesusahan atau untuk mencegah viktimisasi.

Seseorang harus dianggap sebagai korban terlepas dari apakah pelaku pelanggaran diidentifikasi, ditangkap, dituntut, atau dihukum dan terlepas dari hubungan keluarga antara pelaku dan korban. Status sebagai korban, tidak tergantung apakah pelakunya dapat ditemukan atau tidak. UU yang ada sekarang, status korban dilekatkan pada proses hukum. Jadi, jika putusan hakim menyatakan pelaku bebas maka status korban tidak diakui. Hal ini menunjukan bagaimana korban mendapat pemulihan jika pelakunya dibebaskan. Sedangkan fakta menunjukan hal yang terjadi. Inilah masalah besar dalam model pemulihan yang saat ini diakomodir oleh undang-undang karena restitusi atau bentuk pemulihan lain dianggap dapat terpenuhi hanya jika ada putusan pengadilan. (Dorkas Febria/Ast)