Lintas Berita

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Komisi Penanggulangan HIV/AIDS (KPA) Surakarta adalah salah satu lembaga adhoc. Sekretaris KPA Widi Srihanto menyatakan di Surakarta memiliki dinamika sosial yang cukup unik di mana permasalahannya di antaranya narkoba, HIV/AIDS, dan penyakit tuberculosis (TBC). Dasar hukum KPA yakni adalah Perpres, Permen, Perda, dan Perwali serta SK Walikota. Tugas dan fungsi KPA Surakarta di antaranya koordinasi, memimpin, mengelola, dan evaluasi pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Kota Surakarta serta menghimpun, menggerakkan, menyediakan dan memanfaatkan sumber daya yang berasal dari pusat, daerah, masyarakat, dan luar negeri untuk kegiatan penanggulangan HIV/AIDS. Demikian dikatakan Widi Srihanto dalam acara yang difasilitasi oleh Yayasan YAPHI menghadirkan KPA, beberapa NGO, dan Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) serta komunitas dampingan OPSI pada Kamis (21/10).

Kewenangan KPA yakni bersama-sama dengan Camat dan Kepala Desa/Kelurahan dalam penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS. KPA juga memiliki 4 Pokja yakni pencegahan, penanggulangan, pemberdayaan, serta bidang monev. Visi KPA Surakarta yakni “Solo Bebas dari Penularan HIV/AIDS 2030”. Ada 54 kelurahan yang diajak kerjasama oleh KPA Surakarta dalam penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS.

Widi menjelaskan dalam pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS tidak sebatas hanya penyakitnya saja tetapi dampak sosial/ekonomi dari Orang dengan HIV (ODHIV), Orang dengan AIDS (ODHA). Esensi tugas dan fungsi KPA Surakarta berdasar amanat Perda ialah koordinasi, fasilitasi, monitoring, dan evaluasi. Pihak KPA juga menjelaskan anggota KPA yakni para LSM, Organisasi Perangkat Daerah (OPD), aparat hukum yang menyukseskan pencegahan dan penanggulangan AIDS.

NGO Harapkan Ada Lompatan Gerakan untuk Sinergitas

Ligik dari NGO Mitra Alam mempertanyakan kinerja dan harapan, bahwa ke depan KPA semestinya memiliki milestone atau lompatan  dalam rangka mendorong, sebab melihat dari misi harus diejawantahkan menjadi intervensi, namun tidak melenceng dari visi.  Ia juga berharap teman-teman yang duduk di sekretariat KPA bisa melakukan kerja sama dengan yang lain sehingga koordinator memiliki gambaran. Ligik membayangkan Rencana Aksi Daerah (RAD) adalah sebuah cetak biru yang bukan hanya daftar tentang rencana kegiatan per anggota KPA namun ada perbaikan desain yang baik bahkan ada perbaikan anggaran.

Senada dengan Ligik, Lukas dari Mitra Alam pun menggunakan sesi diskusi untuk mempertanyakan  kebutuhan layanan yang inovatif, yang tidak terkendala ruang dan waktu terkait bagaimana pelayanan akses kesehatan bagi ODHIV dan ODHA. Ia memberi saran agar frekuensi testing HIV/AIDS ditingkatkan dan jam testing  diperpanjang sampai dengan malam hari.

Danang Wijayanto dari SPEK-HAM juga menyampaikan pendapat bahwa ada temuan luar biasa pada kelompok ibu rumah tangga dan kelompok umur rentan di atas 50 tahun yang juga terkena HIV/AIDS.  Mereka memerlukan  perhatian lebih dalam penanganan dan pencegahan.

Pihak KPA pun mengapresiasi berbagai masukan dan kritik perwakilan dari NGO yang hadir. Hal tersebut bisa menjadi inovasi dan perbaikan ke depan dalam desain program dan tidak hanya sebatas fungsi tupoksi serta berharap lebih banyak saran dan usul rencana strategis pencegahan dan penanganan HIV/AIDS ke depan. (Hastowo Broto/Astuti)


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Di masa pandemi yang menginjak dua tahun ini, anak-anak merupakan kelompok rentan terpapar COVID-19, apalagi dengan adanya varian Delta. Meski tidak ada data yang valid, namun di berbagai daerah terjadi peningkatan pasien anak-anak yang terkonfirmasi COVID-19. Beberapa hal menjadi penyebab, salah satunya karena tertular oleh orang dewasa baik keluarga atau tetangga dan teman bermain. Sudah 1,5 tahun mereka tidak dapat menikmati keceriaan karena untuk bersekolah pun mesti dilakukan secara virtual.

Informasi terkini kejadian COVID-19 pada anak-anak secara umum meningkat. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) banyak menerima laporan kasus COVID-19 pada anak. Di level dunia ada 12 juta anak terkonfirmasi COVID-19 dengan angka kematian 0,3%-1,2%. Demikian dikatakan oleh Prof.dr. Bambang Supriyanto, juru bicara Satgas Percepatan Penanganan COVID-19 pada pada sebuah forum diskusi.

Menurut data dari Save The Children selama pandemi anak-anak kehilangan kesempatan bermain di sekolah bersama teman-temannya. Sekitar 646.000 sekolah tutup dan ada 60 juta siswa yang belajar di rumah sehingga ada perubahan perilaku karena mereka dipaksa beradaptasi dengan perubahan yang sangat cepat.

Itulah yang kemudian menggugah Yayasan Angudi Piadeging Hukum Indonesia (YAPHI) untuk memberikan ruang bagi anak-anak untuk bersuara di masa pandemi dalam memperingati Hari Anak Nasional dengan mengadakan gathering via zoom meeting. Direktur YAPHI, Haryati Panca  Putri dalam kata sambutannya saat zoom meeting bertema “Dengerin Suara Anak Surakarta Saat Pandemi” pada Sabtu (14/8) menyatakan bahwa  YAPHI adalah lembaga pendamping bantuan hukum yang memperhatikan persoalan perempuan dan anak. Utamanya yang disebut dengan anak yakni anak sejak dalam kandungan hingga berumur 18 tahun, di mana anak-anak tersebut memiliki peraturan hukum yang melindungi mereka yakni UU No.35 Tahun 2014 yang merupakan Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Anak-anak wajib dilindungi oleh para orang dewasa dan anak-anak sendiri memiliki beberapa hak di antaranya  hak hidup, tumbuh dan berkembang, perlindungan, dan partisipasi.

Acara yang dipandu oleh dua fasilitator yakni Yosi Krisharyawan dan Dorkas Febria kemudian mempersilakan anak-anak untuk mendeskripsikan apa itu virus COVID-19. Juga penjelasan terkait protokol kesehatan untuk mencegah terpapar virus. Anak-anak juga diberi waktu untuk berbagi pengalaman saat pandemi. Ada yang bercerita degan jujur dan kocak, namun ada juga yag berkisah menjelaskan dan mendeskripsikan suasana ketika selama pandemi covid ini di antaranya yakni terjangkiti rasa bosan di rumah. Beberapa catatan dari mereka terkait efek PPKM adalah tidak bisa berinteraksi dengan teman seperti biasanya, tidak bebas pergi ke luar rumah seperti situasi normal serta memiliki banyak tugas yang diberikan oleh guru.

Tetapi anak-anak ini juga dapat beraktivitas positif selama di rumah di antaranya melakukan hobi yang mereka sukai seperti menyanyi, bermain musik, dan membaca buku. Anak-anak juga menyampaikan kondisi di rumah selama pandemi di mana anak-anak dan orangtua mudah terpancing emosi karena jenuh dan lebih banyak di rumah.

Selingan Ice breaking saat zoom meeting ternyata membangun spirit untuk bertahan sepanjang acara, terbukti dengan antusiasme mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan menebak gambar yang tidak hanya dipertontonkan di layar zoom, namun juga dideskripsikan dengan sangat jelas oleh dua fasilitator.  Permainan yang tentu menjadi inklusif, sebab acara tersebut juga diikuti oleh anak-anak penyandang disabilitas netra. (Hastowo Broto/Astuti)

 


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Ada banyak hal yang menjadi catatan kemudian terangkai benang merah suatu proses advokasi yang dilakukan oleh Persatuan Penyandang Disabilitas Klaten (PPDK) dalam mengawal terbitnya Perbup Kabupaten Klaten nomor 47 tahun 2020 tentang Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas  Kabupaten Klaten dan draft Perbup tentang layanan publik.

Qoriek Asmarawati dari PPDK dalam sesi diskusi yang dihelat oleh Jaringan Visi Solo Inklusi dan difasilitasi Yayasan YAPHI via zoom meeting, Rabu (20/10) menyatakan perlu solidaritas organisasi disabilitas, apalagi program yang dikawal  tentang perbup ini masuk dalam renstra PPDK. Hal ini berangkat dari temuan berbagai persoalan disabilitas pada saat survey/studi kecil yang dilakukan oleh PPDK yang mendapat dukungan dari Disability Right Fund (DRF)/Disability Right Advocacy Fund (DRAF).

Membuka diskusi, Eko Swasto, Ketua PPDK sekaligus Komite Disabilitas Daerah (KDD) yang bernama Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Klaten  menyampaikan beberapa hal. Terkait PPDK, ia menyebut bahwa organisasi yang diketuainya ini  satu-satunya organisasi induk disabilitas yang menaungi organisasi-organisasi disabilitas di Kabupaten Klaten.

Karena anggotanya adalah organisasi, maka PPDK tidak banyak memberikan keterampilan kepada penyandang disabilitas secara langsung tetapi advokasi kepada pemerintah. Pelatihan untuk pemberdayaan ada di masing-masing organsiasi : Pertuni, PTRK, Komunitas tuna rungu anak,  komunitas autis, komunitas daksa dan beberapa organisasi dampingan lainnya.  Sedangkan advokasi yang dilakukan berdasar regulasi, antara lain mengawal terbitnya perda disabilitas dan turunannya antara lain perbup tentang KDD yang terbentuk April 2021 yang dalam pertama kali tugas pokok KDD adalah menyusun anggaran dasar dan membentuk komisioner untuk periode berikutnya. Satu lagi perbup tentang layanan terhadap penyandang disabilitas yang sedang dalam proses.

Rencana ke depan PPDK akan menyiapkan satu program yakni pendataan disabilitas yang komprehensif dan inklusif. Hal ini dilatarbelakangi data antara Organisasi Perangkat Daerah (OPD) satu dan lain berbeda dan belum adanya pendataan yang menyeluruh. PPDK sendiri mengalami kesulitan karena data yang mereka punya berasal dari dinas sosial.

Qoriek Asmarawati, manajer pada program yang didukung DRF/DRAF menjelaskan kronologi, bahwa awalnya mereka menyusun renstra tentang pelayanan publik. Lalu ada gagasan bagaimana mendorong terbitnya sebuah Perbup. Dua perbup yang didorong yakni Perbup tentang KDD dan Layanan publik mereka awali dengan survey, tidak hanya aksesibilitas fisik tapi juga layanan non fisik dari beragam jenis disabilitas. PPDK kami mendapat sampel berasal dari 20 instansi menyangkut layanan dasar.  Mereka juga studi monitoring anggaran dengan membedah APBD Kabupaten Klaten dari tahun 2016 sampai 2019. Ini untuk melihat di empat layanan dasar itu seperti apa potret penganggaran responsif penyandang disabilitas. Baru kemudian mereka bungkus dan mendorong perbup layanan publik. Setelah itu mereka melakukan audiensi kepada bupati Klaten. Ada sharing dalam menyampaikan  hasil studi, kemudian ada dukungan dari bupati dan pejabat lainnya.

“untuk mengawal terbitnya perbup di proses berikutnya, perbup layanan publik ini kami agak panjang dan terengah-engah. Setelah melalui FGD-FGD, lalu kami serahkan dinsos sebagai leading sector. Hampir dua tahun belum goal, lalu kami melakukan advokasi lagi, ulangi lagi,” terang Qoriek.

Sudah satu bulan ini draft perbup masuk bagian hukum dan dijawab akan ada sinkronisasi bagian organisasi dan proses sinkronisasi ini belum selesai. PPDK menangkap sisi lain dari jawaban itu. Menurut Qoriek, sepertinya pemerintah agak berpikir panjang akan konsekuensi ketika draft perbup akan disahkan karena di draft perbup ini sangat detail hak layanan yang harus disediakan oleh pemberi layanan kepada penyandang disabilitas, pastinya tentang anggaran dari lembaga pemberi layanan publik. “Kami akan kawal terus karena bicara layanan publik adalah hak dan tidak boleh diabaikan dengan persoalan anggaran yang tentu akan naik,”imbuh Qoriek.

Kisah Heroik PPDK saat Mengawal Perda  nomor 29 Tahun 2018

Menjawab pertanyaan Haryati Panca Putri salah seorang peserta diskusi, Qoriek menjawab bahwa Perda nomor 29 Tahun 2018 memiliki Naskah Akademik (NA).PPDK waktu itu dillibatkan beberapa kali. Ada proses heroik saat public hearing sebelum disahkan sebab waktu itu PPDK tidak diundang. Setelah mendapat info bahwa ada public hearing, Qoriek dan kawan-kawan mendatangi tempat serta-merta berharap untuk dibantu masuk ke ruangan. Mereka berhasil masuk ruangan tanpa undangan. Qoriek dan kawan-kawan kemudian berusaha mendesakkan supaya ada satu ayat cantolan untuk memperkuat perbup layanan publik bagi penyandang disabilitas, karena sulit jika tidak ada ayat cantolan.  “waktu itu saya yang mengawal bersama alm. Pak Widodo,” terang Qoriek.

Oleh ketua pansus, usulan mereka diakomodir lalu melakukan dua lobi, alm. Widodo  ke pansus, Qoriek ke bagian hukum. Mereka mendesakkan supaya ada ayat cantolan, dan sempat hilang. Mereka terus mengawal sampai kemudian draft disahkan ayat itu muncul. “yang kemudian kami harap ada perbup layanan, supaya dipahami bagaimana menerjemahkan layanan kepada penyandang disabilitas seperti apa dan bagaimana,”

Qoriek mengaku masih memiliki PR berat bagaimana mengubah perspektif bahwa penyadang disabilitas itu masih dipandang urusan Dinsos. Ia berusaha menggeser paradigma itu di Organisasi Perangkat Daerah (OPD) sehingga isu disabilitas jadi isu lintas sektor. "Jadi perbup ini sangat membantu PPDK  bagaimana OPD di luar Dinsos memberi layanan akses bagi penyandang disabilitas," pungkas Qoriek. (Astuti)


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Merdeka Belajar slogan Sekolah Cikal yang dipinjam sebagai program kebijakan baru Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud RI) yang dicanangkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Kabinet Indonesia Maju, Nadiem Anwar Makarim. Esensi kemerdekaan berpikir, menurut Nadiem, harus didahului oleh para guru sebelum mereka mengajarkannya pada siswa-siswi.Nadiem menyebut, dalam kompetensi guru di level apa pun, tanpa ada proses penerjemahan dari kompetensi dasar dan kurikulum yang ada, maka tidak akan pernah ada pembelajaran yang terjadi. 


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Masa pandemi melahirkan berbagai fenonema dan perubahan arah kebijakan, salah satunya terkait pendidikan. Salah satu kebijakan yang dilahirkan di masa pandemi adalah program Sekolah Penggerak, yang digulirkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bekerja sama dengan pemda (pemkot/pemkab). Pemerintah daerah menjadi kunci dari pelaksanaan program Sekolah Penggerak.  Selain yang diminta adalah komitmen pemda, juga adanya statemen kepala sekolah terkait kesediaan masuk Sekolah Penggerak. Demikian prolog yang disampaikan  oleh Etty Retnowati, Kepala Dinas Pendidikan Kota Surakarta pada diskusi Masyarakat Peduli Pendidikan Surakarta (MPPS), Kamis (14/10).


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Kota Solo menjadi pelopor dalam pelaksanaan vaksinasi bagi penyandang disablitas dengan adanya pendataan dan sosialisasil. Hal itu telah dilakukan oleh salah satu elemen jaringan masyarakat sipil bernama Jaringan Visi Solo Inklusi yakni Pelaksana Harian Tim Advokasi Difabel (PH TAD) dengan melibatkan pegiat komunitas penyandang disabilitas sejak Maret 2021. Bahkan perwakilan PH TAD melalui dukungan dari lembaga ANV dari Belanda, mendapatkan pelatihan bermedia sosial untuk kampanye vaksinasi COVID-19.


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Fransisca Octi pernah berkuliah di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan mengambil prodi Pendidikan Luar Biasa (PLB). Awal mulanya ia hanya turut beraktivitas di LSM Matahariku. Sebab saat itu ada himpunan mahasiswa divisi penjaringan yang menghubungkan perempuan biasa dipanggil Octi itu dengan komunitas. LSM Matahariku didirikan oleh seorang Tuli pegiat, Bunda Galuh, yang juga founder sekolah Little Hijabi, Bekasi.

Karena kemampuan bahasa isyaratnya belum memenuhi syarat sebagai Juru bahasa Isyarat (JBI), Octi masih menjadi volunteer sejak memulai berbahasa isyarat tahun 2014. Kemudian tahun 2015 ia bergabung dengan  Pusat Layanan Bahasa Isyarat (PLJ). Awalnya ia ada rasa kecewa karena pilihan kuliah di prodi PLB adalah pilihan kedua namun ia yang juga penerima beasiswa merasa berbangga sebab setelah mendalami jadi jatuh cinta dengan belajar bahasa isyarat. Demikian kisah Octi yang bercerita saat siaran Radio Katolikana bersama Lukas Inspandriarno,Kamis,  9/9.

Berbeda dengan pengalaman Ramadhani Rahmi, yang pada tahun 2013, saat masih menjadi mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) ia bergiat di Deaf Art Community (DAC) dan belajar bahasa isyarat Indonesia. Saat itu ia belum jadi JBI tapi penerjemah bahasa isyarat, Ia juga bertemu Octi di DAC. Hingga pada suatu hari, saat ada even workshop yang diselenggarakan oleh NGO Sigab Indonesia, ia harus menampingi seorang Tuli dari Makassar yang mengikuti pelatihan.  Saat itu tidak ada orang dengar yang bisa jadi penerjemah.  “Saya saat itu cadangan, dan hanya dengan modal ngobrol santai banyak tentang hambatan ke teman Tuli, waktu itu dibantu penerjemah lain. Lalu yang menjelaskan Tuli dari Makassar tersebut,”jelas perempuan yang akrab dipanggil Mada itu.

Mada akhirnya baru tahu jika penting memperdalam bahasa isyarat sebab SDM yang terbatas. Menurutnya kalau ia belajar isyarat maka gurunya teman Tuli karena mereka native. Selain belajar bahasa isyarat ia juga belajar budaya Tuli, termasuk ekspresi dan gestur. Ia menafikan anggapan orang-orang, tidak menakutkan kok belajar bahasa isyarat. Lama belajar juga terkait durasi tergantung masing-masing orang, ada yang tiga bulan, ada yang tiga tahun. Ada pengetahuan penting yang ia bagi, bahwa kalau jadi JBI butuh syarat pengakuan dari komunitas Tuli apakah ia layak jadi JBI atau tidak.

Lukas Ispandriarno kemudian mempertanyakan tentang JBI apakah sebagai profesi atau bukan? Dan apakah seorang JBI punya pekerjaan lain. Menurut Mada, hal ini terkait peran, karena kalau dikatakan profesi mesti menunggu standar resmi yakni Standar Kompetensi Kerja Nasional (SKKNI). Memang ada peluang JBI menjadi profesi. Dan Mada saat ini bekerja atas pengajuan Tuli. Menurutnya, orang yang bisa berbahasa isyarat belum tentu bisa disebut sebagai JBI. Dan ia  optimis JBI disebut profesi.

Octi menambahkan bahwa adanya JBI menambah keragaman. Saat ini ia menjadi salah satu staf Yayasan di Bandung dan mendampingi remaja autis dan difabel intelektual.

Dua tamu lainnya di siaran radio, Laura Lesmana Wijaya, adalah seorang Tuli dan relawan bahasa isyarat. Ia bukan JBI dan hanya membantu JBI dengar.  Ia menjadi relawan sambil membawa bacaan tentang isyarat, Ia menjadi relawan sejak tahun 2019. Seorang lagi Tuli JBI adalah Restu  Lestari yang mengakui bahwa ia belajar banyak tentang konsep bahasa dan isyarat karena ada pemahaman yang tinggi.

Pembicaraan kemudian mengarah kepada perbedaan Bisindo dan SIBI yang dijawab oleh Restu bahwa SIBI adalah system bahasa isyarat dan yang membuat adalah orang dengar dan mengikuti kaidah SPOK (Subjek, Predikat, Objek, Keterangan).  Tetapi kalau Bisindo muncul alami dari komunitas Tuli. Bisindo selalu melibatkan ekspresi dan gestur dan isyaratnya tidak mengikuti SPOK. Bisindo lebih jelas dari pada SIBI.

Sebuah catatan, sekitar tahun 2018 orang baru sadar akan profesi ini. Tata bahasa masing-masing daerah berbeda misalnya di Jakarta ada subjek verba dan objek. Di Bali isyarat ‘terima kasih’ beda dengan Makassar. JBI juga bukan nama pekerjaan atau organisasi. Ada organisasi Pusat Layanan Juru Bahasa Isyarat (PLJ) yang mencakup 15 provinsi. Saat ini kurang dari 200 anggota PLJ, yang terdiri dari JBI dengar 100 orang dan 30 JBI Tuli. Dan di Jakarta sendiri ada 10-20 JBI yang aktif. Sehingga masih membuka lowongan banyak lagi JBI. Beberapa sektor masih membutuhkan JBI yakni akademi-akademi, rumah sakit dan gereja.

Menurut Restu, latar belakang JBI harus polos dan tidak bermotif. Biasanya kalau di layar televisi berwarna hijau atau biru. Sedangkan baju JBI gelap  dan polos serta tidak memakai asesoris yang berlebihan, bersikap profesional datang tepat waktu dan berfungsi sebagai jembatan, sehingga tidak ikut urusan yang ada. Bersikap menghormati dan profesional serta tidak boleh membocorkan rahasia. (Astuti)


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Dr. Nur Rofiah dari  Jaringan KUPI menjadi narasumber dalam diskusi bertema mewujudkan kebijakan berbasis bukti dalam proses legislasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang dihelat Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (25/7). Menurut Nur Rofiah, kekerasan seksual bertentangan dengan misi kerahmatan semesta Islam, tauhid, dan makarimah akhlak. Juga dengan Pancasila khususnya sila pertama dan kedua.