Lintas Berita

Simposium Perempuan AMAN : “Menakar Jaminan Perlindungan Hak Perempuan dalam Kebijakan Pembangunan”

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Budaya patriarki makin mencengkeram kuat, demikian pula yang terjadi pada perempuan adat. Tekanan bukan hanya di luar tapi di dalam. Ketika perempuan adat berorganisasi maka ada pandangan : terlalu maju, melawan adat, hanya bergosip,atau selingkuh. Lalu perempuan melakukan transformasi, namun apa yang disampaikan hanya seperti jargon saja. Kawan-kawan yang berkumpul di Perempuan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)  kemudian menyampaikan fakta, praktik kejadian, bahwa cerita perempuan adat adalah fakta. Kerentanan yang dialami oleh perempuan adat   lebih kompleks. Yang belum dilaksanakan salah satunya adalah pendataan oleh negara. Maka perempuan AMAN melakukan pendataan, ditemukan 90% perempuan adat belum dilibatkan dalam pembicaraan atas pembangunan yang dilakukan di daerah. Demikian dikatakan oleh Devi Anggraini, Ketua Perempuan AMAN saat Simposium Perempuan AMAN via Zoom, Rabu (16/12/2020).

Arimbi Heroepoetri, salah seorang narasumber menyatakan bahwa perubahan drastis terjadi di wilayah perempuan adat ketika wilayah adat hilang menjadi konsesi. Penghancuran yang dialami oleh perempuan adat karena kebijakan yang disodorkan berpengaruh kepada budaya yang dihasilkan misalnya tenun, dan makanan yang difermentasi. Ketika sumber-sumber mereka dihancurkan lalu ketika perempuan AMAN dideklarasikan maka sejak itu muncul jargon bahwa “perempuan bagian dari perubahan sosial.”

Di situasi pandemi COVID-19 saat ini, justru perempuan adat melakukan konsolidasi, melakukan pengawetan stok makanan sehingga bisa berbagi keluarga lain di kota. Situasi ini terjadi di 55 organisasi/kota/kabupaten yang terbagi di 6 region besar. Mereka bergerak tanpa menunggu bantuan, yang sedang terancam karena diokupasi oleh PTPN. Keberadaan mereka yakni di kebun-kebun kolektif. Situasi yang ditunjukkan perempuan adat, organisasi perempuan adat harus jadi rumah yang aman. Perempuan adat memiliki kekuatan yang tangguh.

Ditilik dari sejarahnya, AMAN lahir di tahun 1999, lalu Perempuan AMAN lahir di tahun  2012. Terjadinya peluruhan budaya adat  dan ditemuai data-data sebagai berikut : 70% masyarakat masih menggunakan Bahasa ibu sehari-hari yang  tidak diajarkan dalam pendidikan formal. Kondisi akan mengantarkan masyarakat adat secara lambat laun kehilangan Bahasa ibu (mother language) kehilangan Bahasa ibu adalah kehilangan salah satu identitas masyarakat adat, sekaligus menghilangkan identitas budaya. Masyarakat terus-menerus mendorong RUU masyarakat adat untuk dukungan yang tidak berhenti agar pemerintah mengesahkan RUU Masyarakat Adat.

 

Perempuan  AMAN Me-launching Lembar Fakta dan Analisis

Devi Anggraini  menyatakan bahwa pihaknya telah menghadirkan hak-hak perempuan adat dalam naskah akademik RUU Masyarakat Adat. Saat ini krisis global bukan hanya pandemic COVID-19, tapi kepemimpinan dan ekonomi. Di sisi lain, munculnya sikap rasis yang menguat. Ada gerakan yang melihat  kesetaraan sesuatu yang tidak bisa diterima. Krisis global itu  bisa diatas dengan memperkuat masyarakat adat dengan  transformasi lewat organisasi perempuan adat melalui ruang yang memberi ketahanan hidup dan bukan hanya bicara soal pangan saja.

Lembar fakta dan analisis memunculkan berbagai tipe, tipe 1 : Konsesi sepenuhnya mengambil wilayah adat dan komunitas, pemenuhan kebutuhan hidup dengan uang tunai, dukungan atas pemenuhan kebutuhan hidup, lockdown sulit dilakukan, PHK/dirumahkan/kehilangan pekerjaan karena COVID-1, angka kekerasan terhadap perempuan adat yang semakin tinggi saat pandemi.

Sedang tipe 2 : sebagian sudah konsesi   tetapi masih bisa memiliki tanah dan hanya bertahan 3-6 bulan ke depan, kebutuhan uang tunai terus meningkat, pemenuhan protein terbatas hanya pada keluarga atau tidak sama sekali. lockdown tetapi tantangan perusahaan terus saja ada. Tipe 3 : kehidupan sub semi, sub system, ketersediaan pangan, 70% aktivitas berladang dilakukan oleh perempuan adat yang menjadi bagian 31%  juta jiwa penduduk Indonesia dipenuhi oleh perempuan adat. Lembar fakta, menempatkan 1.116 partisipan di 44 desa, di 33 tempat/wilayah pengorganisasian.

Menjawab pertanyaan dari sebuah media, Arimbi menyatakan bahwa ia sengaja mengangkat tentang Bahasa Ibu sebab selama ini jarang yang mengangkat Bahasa Ibu dan hal itu dipertanyakan oleh Komite Ecosob. Menambahkan, Devi Anggraini menyatakan dalam paparan SDGis ketika perempuan membuka perlindungan dengan membantu kelahiran (sebagai dukun bayi) mereka, dukun dan pasien kena denda/hukuman. Padahal jarak dari rumah ke layanan medis jika tidak ada kendaraan, bisa ditempuh berhari-hari.  Terkait kondisi di kampung, proses pendataan, proses refleksi ini yang paling penting. Mereka harus merebut ruang kuasa di desa, juga perempuan adat  didodorong  menjadi kades atau perangkat desa. Kemudian diikuti di level nasional, regional serta internasional.

Lalu mentalitas apa yang harus dibangun agar perempuan adat bisa memelihara militansi mereka?

Sebuah pertanyaan cerdas dari peserta yang langsung dijawab oleh Devi kalau di perempuan adat mereka belajar dari tindakan konkrit secara mental dia diuji oleh keseharian mereka. Perubahan-perubahan musim, mereka bisa menyiasati, untuk mengatasi itu. Yang sulit adalah ketika wilayah adat mereka berubah drastis, massif, cepat sehingga pengetahuan mereka tidak bisa menyesuaikan. Pada wilayah-wilayah tertentu belum bisa menyandarkan kehidupan (konsesi masuk lingkungan rusak), banyak yang keluar agar bisa hidup, pulang ke kampung dan jadi buruh di perusahaan. Mereka memburuh, mengambil upah untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Mereka menghindar dari tekanan yang kompleks “cari kekuatan kita seperti apa?” dan memang harus terus melakukannya. Dalam situasi yang sulit selalu muncul kepemimpinan perempuan adat. (Astuti)