Buletin

Berbagi Pengalaman Penanganan Kekerasan Pada Perempuan Bersama Sekolah Gender

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Rahmi Meri Yanti, Direktur Woman Crisis Center (WCC) Nurani Perempuan Padang menjadi fasilitator dalam sekolah gender via daring yang diselenggarakan  Yayasan YAPHI bersama Sekolah Gender Padang dan dimoderatori oleh Tuba Falopii pada Jumat (2/7). WCC Nurani Perempuan berfokus kepada isu kekerasan berbasis gender dan menjadi mitra Komnas Perempuan sejak tahun 2000. Biasanya bila ada kasus-kasus kekerasan yang menimpa perempuan dan anak, jika ada korban maka akan dirujuk ke WCC Nurani Perempuan.

Layanan WCC Nurani Perempuan berupa konsultasi yakni asesmen awal dan layanan pendampingan berupa pendampingan psikologi dan kepolisian, layanan pemulihan yang bukan hanya psikologis tapi juga psikososial, menyediakan rumah bila korban mengalami intervensi dan reintegrasi sosial bagi yang meninggalkan rumah. Didirikan oleh orang-orang yang peduli dengan persoalan kekerasan kepada perempuan, seiring berjalannya waktu banyak orang paham bahwa kejahatan yang harus dilaporkan dan bukan aib. Rahmi Meri berbagi pengalaman seperti apa kondisi perempuan yang sangat dekat dengan  persoalan kekerasan berbasis gender sebab tidak banyak perempuan korban yang bisa dan berani speak-up.

Rahmi Meri menyatakan bahwa pelayanan yang mereka lakukan tidak karitatif.  Proses pencegahan Nurani perempuan  di tahun-tahun terakhir dengan mengumpulkan 20 orang perempuan di satu wilayah, dari 7 kelompok perempuan untuk pencegahan kawan komunitas di kelompok perempuan. Selama ini menurut Meri apa yang dilakukan oleh P2TP2A terjebak dalam penanganan kasus. Padahal menurutnya semestinya, pencegahan membangun paradigma positif.

Pelaku kekerasan seksual paling banyak adalah tetangga. Biasanya orang-orang yang sudah dikenali oleh korban dan membuat korban tidak berdaya. Meri menyebut  penyintas sebagai orang yang berhasil bangkit dan proses dari korban menjadi penyintas adalah proses yang lama. Di WCC Nurani Perempuan ada support group untuk mendukung para korban agar menjadi penyintas. Namun saat ini belum ada support group untuk anak-anak usia sekolah.

Meri berbagi tahapan dalam pendampingan korban kekerasan beberapa hal bisa dikutip, di antaranya apabila sudah terlanjur menjadi korban jangan menyalahkan diri, jangan langsung membersihkan diri, kumpulkan barang bukti, cari dukungan orang terdekat (hindari menyalahkan korban), segera lapor ke polisi atau lembaga layanan terdekat. Lalu bagaimana jika orang lain menjadi korban : dengarkan ceritanya, jangan menstigma, berikan informasi hak-hak korban, berilah akses ke lembaga layanan, dukunglah korban untuk mendapat pemulihan.

Haryati Panca Putri, Direktur Yayasan YAPHI dalam diskusi menyebut bahwa ada sembilan jenis kekerasan yang ada dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) dan ini secara realitas dengan modus beragam. Ia mempertanyakan mengapa perempuan selalu diasosiasikan dengan seks, namun beda dengan kebalikannya. Ia juga menyoroti bahwa Negara tidak pernah hadir. Sudah ada Kementerian PPPA dan dinas-dinas di daerah tapi mereka fokus pada penanganan kasus, dan bukan pencegahan.

Tantangan saat ini adalah kita belum mempunyai Undang-Undang. Sementara untuk kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), beberapa korban mengaku terjebak dengan mengirim foto kepada pelaku. Sebagai pendamping, ada perasaan takut jika sampai korban malahan dikriminalisasi. Di beberapa kasus KBGO, makin banyak korban yang malu mengungkapkan lalu berakhir dengan bunuh diri. Harapannya, RUU-PKS segera disahkan.  (Yosi Krisharyawan/Astuti)