Peluncuran Catahu 2020 Konsorsium Pembaruan Agraria : Pandemi COVID-19 dan Perampasan Tanah Berskala Besar

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Rabu 6 Januari 2021 Yayasan YAPHI mengikuti webinar yang dilaksanakan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yakni Peluncuran Catatan Akhir Tahun 2020 KPA “Pandemi Covid-19 dan Perampasan Tanah Berskala Besar”. Acara yang diikuti oleh 257 peserta ini menghadirkan narasumber Dewi Kartika, Sekjen KPA dan para penanggapnya antara lain Surya Tjandra, Sugeng Purnomo dan Arif Rahman.

Dewi Kartika menyampaikan bahwa pandemi COVID-19 dan perampasan tanah berskala besar, dimana konflik agraria struktural adalah reaksi dan manifestasi dari terjadinya praktik perampasan tanah  (land grabbing) di atas tanah masyarakat yang difasilitasi oleh hukum dan disetir oleh modal. Selain konflik agraria yang tragis, sebab terjadi di tengah perekonomian yang mengalami minus pertumbuhan di tengah rakyat terus berjibaku bertahan hidup dari ancaman virus dan ekonomi yang lesu.

Dewi Kartika menambahkan sebaliknya di tahun di tengah minusnya perekonomian nasional dan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) justru perampasan tanah berskala besar tidak menurun tetapi tetap tinggi dan cara-caranya makin tidak terkendali. Selain itu meski di tengah resesi ekonomi rakyat, badan-badan usaha baik badan swasta maupun negara tidak bisa mengendalikan diri, justru menjadikan krisis dan pembatasan gerak rakyat sebagai peluang untuk menggusur masyarakat dari tanahnya dari syarat-syarat keberlangsungan hidupnya.

Dewi Kartika menambahkan bahwa perampasan tanah ini menunjukkan reorganisasi ruang-ruang akumulasi kapital baru di tengah krisis utamanya melalui investasi dan ekspansi bisnis di sektor perkebunan monokultur dan kehutanan. Selain itu konflik dengan TNI, di mana TNI kerap menjadi aktor penyebab konflik agraria yang berhadap-hadapan langsung dengan masyarakat dan sepanjang tahun tercatat 11 letusan konflik agraria mengemuka akibat klaim-klaim institusi tentara di atas tanah dan pemukiman masyarakat. Resolusi ke depan Dewi Kartika menyampaikan bahwa perubahan paradigma mutlak diperlukan dalam melihat hak rakyat atas tanah, pemahaman dan praktik atas tanah negara dan kawasan hutan, serta bagaimana pemerintah dan aparat keamanan menyikapi keberadaan konflik agraria itu sendiri sebagai suatu problem struktural, kemudian membutuhkan terobosan politik untuk menuntaskan konflik agraria.

Surya Tjandra menanggapi bahwa untuk menyelesaikan konflik agraria dalam pendekatan legalistic normative saja tidak cukup dan perlu masuk ke akar masalah di lapangan. Kemudian tantangan terbesarnya antara lain butuh leadership kuat karena aspek sektor sangat dominan, butuh koordinasi dan komunikasi efektif.

Sugeng Purnomo menanggapi bahwa belum bisa menuntaskan konflik dengan TNI dan ingin mendengar terpisah dari masing-masing pihak dan mempertemukan untuk merundingkan apa yang bisa diselesaikan.

Penanggap lainnya, Arif Rahman, menyatakan bahwa harus ada terobosan politik untuk menyelesaikan kasus seperti ini. Kemudian harus menata struktur tanah dimana tidak semua tanah dicaplok sembrono dan tanpa izin. (Garindra Herayukana/Astuti)