Launching Survey Bagaimana Media Menuliskan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan Isu Kekerasan Seksual

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Kamis (10/12) Konde.co meluncurkan hasil survey terhadap media online lewat media zoom meeting.  Tika Adriana memaparkan penelitian yang dilakukannya bersama tim Konde.co dengan melakukan identifikasi terhadap pemberitaan media massa dan diambil sample dari berita tiga media online yaitu Okezone, Tribunnews, dan Kompas.com dalam rentan waktu Juli-Agustus 2020 dimana pemberitaan tentang RUU PKS di tiga media tersebut menempati porsi kurang lebih tiga persen yang total publikasi rata-rata lebih dari 1.000 artikel per bulan.

Dalam temuannya pada Pemberitaan Kekerasan Seksual di ketiga media online tersebut masih menggunakan kata “digilir” yang berpotensi menimbulkan stigma negatif bagi korban dan seakan akan diasumsikan piala bergilir/perebutan. Kata dicabuli, dirudapaksa dan membumbui dengan kata kisah pilu yang menunjukkan ketidakberdayaan korban kekerasan seksual dan kata-kata lain yang belum berperspektifkan korban.

Kesimpulan yang diperoleh oleh Tika dalam kajian tentang Pemberitaan RUU PKS dan berita kekerasan seksual adalah pemberitaan RUU PKS masih cenderung normatif dan belum menggali informasi tentang isi terkait RUU PKS. Dari tiga media tersebut, beberapa berita RUU PKS dan isu kekerasan seksual baru sebatas memberikan informasi secara cepat yang kadang masih untuk mengejar kecepatan atau clickbait dan bersifat sensasional.

Tika memberi rekomendasi hasil penelitian untuk Dewan Pers  yakni meminta Dewan Pers agar lebih sensitif terhadap isu gender dan menegur media yang memproduksi berita tidak sensitif gender serta membuat pedoman penulisan isu kekerasan seksual di media. Rekomendasi untuk para awak media  adalah mendorong media untuk mempunyai agenda tentang pemberitaan kekerasan seksual yang berperspektif gender. Tika juga memberi rekomendasi kepada public agar lebih kritis terhadap pemberitaan sehingga jika ada berita yang sensasional bisa memberikan kritik dan kepada Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) untuk memperbanyak diskusi tentang isu kekerasan seksual bagi jurnalis.

Tanggapan pertama berasal dari Endah Lismartini dari AJI Indonesia. Ia menjelaskan bahwa sekarang media lebih mengutamakan clickbait atau viewpage lewat judul berita, dimana judul berita tersebut jika dulu diatur  oleh redaksi tetapi sekarang diatur oleh SEO (Search Engine Optimization). Kata-kata judul berita tersebut dapat menimbulkan stigma bagi korban. Teman-teman di media juga masih memiliki perspektif gender yang lemah. Akibat pemilihan diksi ini korban kekerasan seksual menjadi korban kedua dari pemberitaan media. Banyak media yang intinya mendukung RUU PKS tetapi pemberitaannya kurang ramah.

Agus Sudibyo dari Dewan Pers menyatakan selama ini Dewan Pers mengalami keterbatasan. Dewan Pers terikat Konvensi Internasional yang bersifat pasif dan menunggu adanya pengaduan. Ketika Dewan Pers menerima laporan maka tidak serta merta dapa memberikan sanksi kepada media yang melanggar kode etik pemberitaan sebab ada mekanisme klarifikasi, verifikasi, kesempatan membela diri oleh media tersebut. Dan jika nanti benar terbukti bersalah maka sanksi akan dijatuhkan tanpa dipublikasikan ke publik. “Jadi ketika ada pemberitaan kurang ramah ya mohon kepada teman-teman NGO atau seluruh lapisan masyarakat untuk segera melakukan pengaduan kepada kami,” pinta Agus Sudibyo.

Penanggap dari media, Purnama Ayu dari Remotivi menjelaskan bahwa riset Konde.co memberikan gambaran kondisi media yang tak ideal dan “babak belur” saat mengabarkan RUU PKS dan kekerasan seksual. Namun ini mestinya dielaborasi lebih jauh, mesti seberapa banyak isu ini diberitakan demi meningkatkan kesadaran publik bahwa isu RUU PKS adalah sesuatu yang mendesak. Media juga mengemban tanggung jawab untuk pendidikan gender publik. Misalnya soal kenapa RUU PKS bisa jadi solusi; mengapa pemerkosaan bisa terjadi; kenapa penyintas pemerkosaan seringkali malu menuntut keadilan yang kebanyakan karena penggambaran ajeg media terhadap penyintas dengan cara menyalahkan si korban.

Tanggapan lain datang dari Mariana Amiruddin, Komisoner Komnas Perempuan yang menyatakan bahwa kasus seperti ini sejak dulu memang itu-itu saja. Pihaknya menunggu kerja sama dari Dewan Pers untuk mengatasi permasalahan ini. Mariana mengemukakan bahwa dulu pihaknya pernah bekerja sama dengan Yosep Stanley Adi Prasetyo saat itu menjabat Ketua Dewan Pers hendak menyusun Code of Conduct penulisan tentang korban yang dijadikan pedoman penulisan bagi jurnalis, namun belum terealisasi.  Mariana menyoroti pula fenomena media sosial yang sekarang digandrungi oleh masyarakat, juga bisa dimanfaatkan oleh masyarakat itu sendiri untuk mendukung RUU PKS. Tidak harus melalui media mainstream yang di dalam badannya masih terdapat aturan atau konflik yang rentan dengan kepentingan komersialitas terkait pemberitaan artikel tentang RUU PKS maupun kekerasan seksual. (Hastowo Broto Laksito/Astuti)