Jangan Toleran Pada Kekerasan Terhadap Perempuan

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Dikutip dari akun IG @Perempuan Berkisah, dalam penelitian Untold Stories of Woman Living in Violence Lived Realites of Woman  Stay: a Case Study  of Ngombe and Kanyama Compound in Lusaka  (2019), menemukan bahwa mayoritas responden perempuan memilih bertahan hubungan  untuk bertahan karena anak-anak.  Dalam relasi seperti ini perempuan lebih mengutamakan kebahagiaan dan keamanan anak-anak terlebih dahulu daripada kebahagiaan dan keselamatan dirinya sendiri.

Mungkin seperti itulah yang menimpa dan telah terjadi pada diri seorang perempuan berprofesi dokter, istri dan ibu tiga orang anak dan saat ini mengalami kehamilan. Seperti yang masyarakat ketahui melalui media massa maupun media sosial dan sempat viral beberapa hari lalu. Seorang dokter dilaporkan menghilang dari rumah oleh sang suami dengan menyebut nama terang dan ciri-ciri serta data lainnya. Unggahan yang diposting di media sosial tersebut sontak merenggut perhatian teman baik sang istri. Bukan karena bersimpati kepada si pengunggah, namun bersimpati kepada si dokter yang kemudian diketahui lewat komentar salah satu pengguna di status tersebut.

Ia yang merupakan teman baik si istri kemudian malah menuliskan realita kekerasan yang dialami sehari-hari oleh si dokter. Beban hidup dan ekonomi yang berat yang ia panggul sendiri tanpa suami yang berpenghasilan (Suami seorang content creator) diceritakan oleh si kawan dengan menggambarkan bagaimana si dokter perempuan tersebut harus berpraktik di tiga klinik sekaligus. Ia menuliskan jika dokter perempuan tersebut tampak kusut dampak dari kelelahan setiap kali berpraktik.

Beberapa hari kemudian muncul unggahan jika si perempuan dokter tersebut ternyata sedang mencari perlindungan atas tindakan kekerasan yang dilakukan oleh suaminya. Ia tinggal di rumah aman yang difasilitasi oleh P2TP2A setempat. Setelahnya diberitakan jika ia lantas melaporkan masalah kekerasan yang dialaminya ke kepolisian.

Namun beberapa hari kemudian laporan tersebut dicabut dengan alasan ia masih menyayangi sang suami dan insiden kekerasan yang terjadi diakibatkan oleh emosi yang memuncak. Pengguna media sosial alias netizen banyak memberi respon, ada yang setuju dan ada yang menyayangkan bahkan gemas atas keputusan yang diambil.

Kenyataannya, keraguan untuk meninggalkan pelaku KDRT sering dialami korban. Pandangan seperti bahkan telah mengakar sehingga memengaruhi korban. Korban gagal meninggalkan hubungan karena adanya ancaman psikologis, psikis, emosional, finansial bahkan fisik. Korban sulit meninggalkan pelaku lalu terjebak dalam ‘lingkaran setan’. Mereka akan melalui pertengkaran, lalu terjadi kekerasan, permaafan, bulan madu, lalu terjadi perselisihan lagi dan bertengkar kemudian terjadi kekerasan lagi, rukun alias bulan madu lagi, begitu terus-menerus.

Ada alasan mengapa korban tidak meninggalkan  hubungan yakni agar aman, Karena jika ia meninggalkan hubungan akan bisa membahayakan dirinya. Pelaku yang manipulatif biasanya akan mengisolasi korban dengan cara menjauhkan hubungan dengan dunia luar terkait urusan dengan pekerjaan atau keluarga serta bisnis. Dengan pencitraan diri agar dinilai baik oleh korban, maka korban akan dibuat tergantung kepada pasangannya.

Dikutip dari Kompas.co, data menunjukkan 41 persen perempuan yang dibunuh oleh pasangan laki-lakinya/mantan pasangannya di Inggris, Wales, dan Irlandia Utara pada tahun 2018 telah atau berusaha berpisah. Sebelas dari 37 perempuan ini dibunuh dalam bulan pertama setelah mereka berpisah dan 24 perempuan dibunuh di tahun pertama perpisahan.

Dokter Qory Tidak Mencabut Laporan Polisi

Tepat sejam lalu tulisan ini saya tulis, lantas saya membuka sebuah laman berita yang memberitakan bahwa Dokter Qory, si perempuan dokter yang kisahnya saya tulis di atas batal mencabut laporannya alias ia tetap meneruskan laporan ke kepolisian atas tindakan kekerasan yang dilakukan oleh sang suami. Itu dilakukan setelah si dokter mendapat pendampingan dan pemahaman-pemahaman seperti yang dsampaikan oleh Ratna Susianawati, Deputi di Kementerian PPPA pada Selasa (28/12).

Atas sikap dokter yang berubah-ubah ini sangat bisa dipahami sebab ia sebagai korban kekerasan tidak bisa serta merta langsung dapat mengambil keputusan secara emosional. Ia perlu pendampingan agar benar-benar bisa memberi keputusan yang benar bagi dirinya. Tidak semata-mata yang semula mencabut laporan untuk melindungi dirinya dan anak-anak, namun setelah mendapat pemahaman bahwa pelaku kekerasan sepantasnya mendapatkan efek jera dengan memenjarakannya. Ia harus paham bahwa tidak ada toleransi bagi pelaku kekerasan. (Ast)