Generasi Strawberry dan Cerita-Cerita Tentangnya

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Istilah Strawberry Generation atau Generasi Stroberi awalnya  muncul dari negara Taiwan. Istilah  ini ditujukan pada sebagian generasi baru yang lunak, rentan lemah, seperti buah strawberry. Pemilihan buah strawberry untuk penyebutan generasi baru ini juga karena buah strawberry tampak indah dan eksotis, tetapi begitu dipijak atau ditekan ia akan mudah sekali hancur.

Menurut Prof. Rhenald Kasali yang menulis  buku tentang Generasi Strawberry  mengatakan bahwa generasi ini adalah generasi yang penuh dengan gagasan kreatif tetapi mudah menyerah dan gampang merasa sakit hati.

Ada banyak kisah di balik penggambaran Generasi Strawberry, generasi yang akrab dengan teknologi dan dunia media sosial. Selain karya-karya kreatif mereka yang bisa dilihat di media sosial. Juga cuitan-cuitan kekritisan akan kondisi sebagai penggambaran suasana hati. Mereka lebih sadar akan isu kesehatan mental sehingga kemudian banyak yang mengaitkan dengan penggambaran diri mereka sehingga banyak yang tak luput dengan Self Diagnosa.

Pandemi Covid-19 yang sangat berdampak pada generasi ini utamanya di dunia pendidikan, membuat mereka  semakin kreatif sebab dituntut belajar mandiri. Namun tak jarang pula yang mengalami kehilangan momen belajar dan dampak negatifnya sangat tinggi.

Orangtua  mereka (Generasi Strawberry) adalah kebanyakan orangtua yang lahir di tahun 70-an yang biasa disebut Generasi X. Generasi X yang lahir dengan kondisi dan tentunya keadaan yang berbeda baik situasi ekonomi, budaya dan sosial.  

Jika yang disebut Generasi Strawberry terkesan dengan banyaknya kemudahan seperti teknologi dan ekonomi orangtua mereka yang relatif mapan sehingga mudah untuk mengakses banyak hal apa pun secara kekinian, pendidikan dan segala akses pendukungnya.

Tapi benarkah itu terjadi pada generasi yang hari ini kita sebut Generasi Strawberry?  Bagi sobat muda, mungkin. Refleksi adalah menjadi satu salah satu cara melihat ke dalam diri sendiri untuk kemudian bisa dibuat catatan-catatan kecil tentang apa yang selama ini merupakan kebiasaan buruk yang menjadi habit atau justru kebiasaan-kebiasaan positif. Satu catatan lagi, terkadang butuh orang lain bahkan mungkin seorang profesional misalnya psikolog, untuk dapat mendiagnosa dengan benar kepribadian diri.

Lalu apa saja yang perlu dilakukan jika kemudian gambaran atas diri sobat muda adalah seperti yang masyarakat timpakan sebagai Generasi Strawberry?

Kalian bisa menanamkan Growth Mindset dalam diri.Pikiran yang terus bertumbuh dan berkembang sesuai zaman dan kekinian dan terus bergerak ke arah yang lebih. baik melalui pola pengasuhan orangtua yang menanamkan kemandirian anak. Belajarlah untuk mengambil keputusan dan tantangan baru dengan mencari peluang-peluang baru sebagai arena pembelajaran.

 

Cerita Jinot, Ahmad  dan Shifa,  Remaja yang Hari Ini Masyarakat Namai Generasi Strawberry

 

Apa benar jika Generasi Strawberry adalah generasi yang rapuh dan mudah menyerah? Saya kira memang baiknya tidak menggeneralisasi. Generasi Strawberry lahir dari pemikiran mungkin saja mereka yang lahir dari kelas ekonomi mapan dan kuat. Apakah hal yang sama juga dijumpai pada komunitas masyarakat pinggiran yang rural, atau di masyarakat urban, yang mereka harus bekerja membanting tulang agar terus bisa bertahan hidup.

Seperti yang saya temui pada diri Jinot yang tingal di sebuah kampung di pinggiran Kota Surakarta. Jinot anak kedua dari dua bersaudara. Ia hanya lulusan SMP lalu bekerja paruh waktu sebagai buruh pabrik kain yang letaknya tidak jauh dari tempat tinggalnya. Jinot bekerja menjemur kain batik sablon sesudah kain-kain itu dicelup dalam obat sablon. Penjemuran alias pengeringan dikerjakan di sebuah lapangan yang sangat luas di pinggiran aliran Sungai Bengawan Solo. Ia akan menerima upah sebesar dua ratus lima puluh ribu setiap Sabtu sore dengan hanya bekerja selama empat jam sehari. Jika musim hujan tiba, pekerjaan Jinot akan bertambah berat sebab tantangan air hujan akan menjadi hambatan pekerjaannya. 

Jika hari sudah sore, artinya Jinot tak lagi bekerja di pabrik, pekerjaan sampingannya adalah memelihara burung merpati. Burung-burung itu setiap hari Minggu ia bawa ke tanah lapang lalu dia latih sebagai merpati balap. Apakah Jinot memperoleh keuntungan dari itu? Terkadang merpati peliharannya dibeli ora sesama penyuka burung Merpati dan Jinot memperoleh keuntungan.

Kawan sepermainan Jinot, Ahmad namanya. Ia mahasiswa diploma tiga sebuah akademi perhotelan. Sama dengan Jinot yang memiliki hobi memelihara burung Merpati, Ahmad pun juga memelihara beberapa ekor. Ia yang kini berusia dua puluh tahun merasa bahwa biaya kuliahnya selama ini telah membebani orangtuanya. Untuk itu maka ia terkadang mengambil kerja part-time di hotel di bagian front-office. Ia sering tak menghiraukan keluhan rasa sakit di pangkal kaki atau pergelangan tangan oleh karena saking seringnya mengangkat dan menggeser koper para tamu terutama saat sesi liburan tiba dan hotel tempatnya bekerja dalam keadaan full booked. Pekerjaan sambilan itu biasa ia ambil saat akhir pekan sebab setiap hari ia harus berkuliah.

Jinot dan Ahmad, keduanya bisa jadi dikatakan sebagai Generai Strawberry, namun apakah mereka rapuh? Belum tentu. Jinot si pekerja paruh waktu setia dengan pekerjaan yang dijalaninya selama empat tahun ini. Gaji mingguannya sebagian ia berikan kepada sang ibu. Lalu sisanya ia simpan untuk ditabung dan disisihkan buat modal beli merpati. Ia yang sudah ditinggal mati ayahnya bahkan memiliki tabungan khusus yang gunanya untuk biaya healing atau piknik ke pantai tiap enam  bulan sekali. Demikian pula Ahmad yang menyisihkan upah kerja paruh waktu sebagai bell-boy, juga memiliki jadwal liburan bersama-sama temannya yang mereka katakan sebagai healing

Lain cerita Shifa, 24 tahun, warga Kota Tangerang yang saat ini baru saja berhenti bekerja sebagai desainer di  perusahaan milik asing, Si Creative Design tersebut mengaku memilih kehilangan  pekerjaannya karena lingkungan kerja yang menurutnya sangat toxic. Apalagi bosnya yang menurutnya sewenang-wenang, sulit diajak berdiskusi dan salary tiap bulan yang ia terima tidak sesuai dengan perjanjian awal. Setelah menjalani pekerjaan selama kurang lebih satu tahun, Shifa memilih keluar dari pekerjaan. Lalu ia tidak bekerja dan kembali menjadi beban orangtunya. Setiap hari kegiatannya banyak menonton Drama Korea, memelihara seekor kucing dan kurang berinteraksi dengan anggota keluarga lainnya. Kepada saya, ibunda Shifa banyak bercerita bahwa ia sebenarnya menginginkan Shifa kembali bekerja seperti dulu. (Ast)