Perempuan dan Perceraian

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Pada dekade kini, angka perceraian tiap tahun semakin meningkat. Data pada Kemenag setidaknya 1 dari 4 pernikahan berakhir dengan perceraian. Dan 93% perceraian diajukan oleh perempuan dan 73% nya mapan secara perekonomian.

Menurut data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana situasi Indonesia saat ini sedang mengalami darurat perceraian. Banyak anak-anak yang terlantar kemudian mengakibatkan stunting. Maka kementerian agama menggiatkan bimbingan perkawinan, mengembangkan layanan penasihatan dan konseling keluarga serta penguatan ketahanan keluarga sebagai persiapan pemuda menuju jenjang pernikahan.

Terkait kondisi  perceraian beberapa referensi menyebut bahwa saat ini perempuan keadaannya tidak sama dengan beberapa dekade lalu. Perempuan saat ini umumnya memiliki tingkat pendidikan lebih baik dan secara finansial tidak tergantung kepada pasangan.

Perempuan mampu berdaya dan berlaku independen serta mandiri secara finansial. Maka dari itu perempuan jauh lebih menghargai kesejahteraan. Mereka memiliki apa yang disebut dengan "high value" sehingga mereka memiliki pemikiran daripada bertahan dalam pernikahan yang toxic dan buruk, maka memilih bercerai. Ini kaitannya karena persepsi tentang perceraian pun juga tak lagi sama di hari ini. Situasi perceraian dianggap lebih baik dan bisa ditolerir.

Di akun IG psikolog @verauli, mengatakan beberapa hal terkait  ketidakbahagiaan dalam pernikahan adalah : 1. Kegagalan dalam berkomunikasi, 2. Pembagian peran yang tidak seimbang, 3. Masalah finansial, 4. Perselingkuhan.

Ia memberi tips bagi para laki-laki bahwa cara membina relasi dengan profil perempuan masa kini adalah dengan menerima mereka sebagai perempuan berdaya, berpendidikan yang lebih tinggi, dan mampu menghargainya.

Pola tradisional yang diturunkan oleh generasi sebelumnya terutama peran ayah versi tradisional dan egaliter yang 'banci' tak lagi sesuai. Pola egaliter dan respek dalam relationship menjadi penting agar pernikahan tak jadi ladang ranjau dan medan perang yang membangkitkan mode "survival brain" suami dan istri di dalamnya. (Ast)