19 Tahun UU PKDRT, Bagaimana Implementasinya?

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Data dari SIMFONI PPPA hingga 29 September 2023 angka KDRT pada tahun 2023 lebih dari 10 ribu kasus dengan korban lebih 11 ribu orang dan sebagian besar adalah perempuan. Lalu tantangannya apa saja implementasi UU PKDRT? Dalam siaran Talkshow Ruang Publik KBR, dengan host Naomi Lyandra menghadirkan narasumber Merry Mardina, dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) dan Ratna Batara Munti, Direktur LBH APIK Jabar.

UU PKDRT sudah berumur 19 tahun tetapi data kekerasan masih sangat tinggi selain dari Simfoni PPPA dan dari SPHPN menunjukan 1 dari 4 perempuan usia 15-64 pernah alami kekerasan dalam hidupnya.

Menurut Merry data menunjukkan kasus masih tinggi. dan paling tinggi adalah KDRT. Pasca lahir UU PKDRT selain implementasi juga perbaikan-perbaikan. agar perempuan dan anak terbebas dari kekerasan khususnya kekerasan rumah tangga.Tantangannya sangat luar biasa dan Kemen PPA terus berupaya baik hulu dan hilir agar dilakukan secara komprehensif.

Sementara itu Ratna Batara Munti mengatakan masih tingginya angka kasus KDRT menunjukkan dua hal pertama : masyarakat selalu disosialisaikan. Ia ingat kasus yang menimpa seorang penyanyi dangdut LK.Bahwa kekerasan dalam rumah tangga bukan isu privat atau masalah keluarga. tetapi sebuah kekerasan. Ini menunjukkan persepsi publik sudah berbeda dengan sebelumnya terkait pandangan tentang KDRT..

Sejarahnya, UU PKDRT dulu draft-nya diusulkan oleh masyarakat lalu menjadi  insiatif DPR. Ratna dan kawan-kawan merumuskan itu sejak 98-99 dengan melakukan advokasi lalu mengajukan di DPR di tahun 2003 kemudian dibahas di tahun 2004. Mereka, aliansi masyarakat sipil melakukan aksi payung zaman pemerintahan Megawati.

Di satu sisi tingginya angka KDRT di masyarakat pada tahun ini bisa dinilai di sisi lain misal pencegahan, penanganan belum selesai. Dan perlunya lebih masif lagi sosialisasi yakni akar budaya yang harus dilakukan yakni dalam struktur perkawinan bahwa yang terjadi adalah tidak ada kesetaraan. Menurut Ratna ini yang belum diintervensi.

Hal yang masih diingat waktu pandemi Covid-19 banyak terjadi kasus gugat cerai. Penyebabnya apa? karena suami tidak bekerja. Ada perubahan peran gender bahwa ketika perempuan bekerja maka ia harus menanggung beban domestik.

Ketika suami menganggur dan tidak juga membantu istri. akhirnya timbul miskomunikasi dan diselesaikan dengan cara-cara kekerasan misalnya dengan pemukulan. Waktu itu rentan sedikit isu dan situasi kekerasan hingga masuk TV angka gugatan cerai. "Sepanjang kita belum merevisi UU Perkawinan kita yang masih membagikan peran gender dalam rumah tangga, sepanjang itu masih ada KDRT karena tidak ada kesetaraan," ujar Ratna


Komnas Perempuan Rilis Pers tentang KDRT


17 Oktober lalu Komnas Perempuan merilis pers terkait implementasi UU PKDRT dan salah satu kasus yang menimpa seorang perempuan (istri). Berikut petikannya

Jakarta, 17 Oktober 2022

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menegaskan bahwa penegakan Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) dimaksudkan untuk menghentikan siklus kekerasan di dalam keluarga. UU PKDRT diundangkan pada 22 September 2004 sebagai pembaharuan hukum nasional yang bertujuan untuk: 1) mencegah terjadinya segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga; 2) melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga; 3) menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan 4) memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. Pengundangan ini juga menjadi pelaksanaan dari Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 7 Tahun 1984. Konvensi tersebut memandatkan penghapusan kekerasan terhadap perempuan yang akarnya terletak pada diskriminasi perempuan. UU PKDRT menjadi harapan kita semua dalam memperbaiki kondisi perempuan dan anak, serta mereka yang subordinat, juga bagi siapa pun dalam lingkup relasi rumah tangga yang rentan dan tinggal di bawah satu atap, seperti PRT menjadi korban kekerasan.

Data yang dihimpun Komnas Perempuan pada setiap tahunnya melalui Catatan Tahunan (CATAHU) menunjukkan bahwa pelaporan kasus KDRT setiap tahunnya mengalami peningkatan. Pada tahun 2021 Komnas Perempuan menerima pengaduan langsung 771 kasus kekerasan terhadap istri (KTI), atau 31% dari laporan 2.527 kasus kekerasan di ranah rumah tangga/personal. Berdasarkan pengaduan dan pemantauan yang dilakukan oleh Komnas Perempuan dampak kekerasan dalam rumah tangga terhadap korban beragam dan berlapis. Korban mengalami penderitaan luka-luka fisik, trauma dan depresi, bahkan menjadi disabilitas maupun kehilangan nyawa.

Masih tingginya angka kasus KDRT di Indonesia perlu mendapatkan perhatian serius baik dari segi penguatan korban untuk berani melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya dan dari segi penanganannya. Pelaporan merupakan langkah awal bagi perempuan korban untuk mendapatkan perlindungan, keadilan dan pemulihan. Komnas Perempuan mencatat bahwa tidak semua korban kekerasan dalam rumah tangga khususnya KTI mau dan berani untuk bicara apalagi melaporkan kasusnya. Istri tidak melakukan pelaporan kasusnya berdasarkan berbagai pertimbangan terkait peran sosial perempuan, di antaranya demi menjaga nama baik keluarga, keutuhan keluarga, masa depan anak-anak. Pertimbangan lainnya adalah ketergantungan yang dimiliki, secara emosi, ekonomi dan sosial. Mengenali tantangan yang dihadapi korban, Komnas Perempuan mengapresiasi dan mendukung setiap perempuan korban untuk berani bicara dan melaporkan kasusnya ke kepolisian.

Berkait dengan itu, Komnas Perempuan mengapresiasi langkah LK, seorang istri dan sekaligus figur publik, untuk melaporkan KDRT yang dialaminya. Pelaporan LK mendapatkan perhatian dan dukungan dari publik luas. Dari pemberitaan media, diketahui bahwa LK diduga mengalami kekerasan fisik dan psikis oleh suaminya RB, yang mengakibatkan LK mengalami penderitaan sehingga membutuhkan perawatan di salah satu rumah sakit di Jakarta. Diberitakan pula bahwa tindakan ini bukan kali pertama melainkan berulang.

Selanjutnya, Komnas Perempuan mengenali bahwa kasus LK menunjukkan kompleksitas kesulitan perempuan korban kekerasan untuk keluar dari siklus kekerasan yang dihadapinya. Meski memperoleh banyak dukungan, LK mencabut kembali pelaporannya setelah pihak suami ditetapkan sebagai tersangka dan meminta maaf. LK menyuarakan bahwa langkah mencabut pelaporannya didasarkan pertimbangan dampak pada anak dan juga harapannya bahwa kondisi rumah tangganya masih dapat diperbaiki. LK bersama kuasa hukum RB memohon penangguhan tahanan atas RB, yang juga telah dikabulkan oleh pihak kepolisian.

Komnas Perempuan mendukung langkah kepolisian, khususnya Polres Jakarta Selatan, untuk tetap melanjutkan proses hukum dalam penanganan kasus LK dengan maksud untuk memastikan kejadian serupa tidak berulang di kemudian hari. Perlu dipahami bahwa pencabutan pelaporan tidak serta merta menghentikan proses hukum. Dalam kasus ini, pihak pelaku KDRT ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan Pasal 44 ayat (1) UU PKDRT yang termasuk dalam kategori delik biasa, bukan delik aduan.

Komnas Perempuan menyerukan agar kepolisian dan semua pihak waspada dengan potensi siklus kekerasan dalam penanganan kasus KDRT. Dalam siklus kekerasan, korban dan pelaku akan terus berputar dari (a) kondisi tanpa kekerasan, (b) kondisi ketegangan yang ditandai dengan perselisihan, (c) kondisi ledakan kekerasan, dan (d) kondisi rekonsiliasi atau “masa bulan madu” dimana situasi menenang setelah adanya permintaan maaf. Namun dari waktu ke waktu, ledakan kekerasan dapat menjadi lebih intensif dan dapat menjadi sangat fatal dengan mengakibatkan luka yang serius hingga meninggal dunia.

Komnas Perempuan perpendapat bahwa langkah kepolisian untuk melanjutkan proses hukum, karenanya, akan berkontribusi untuk mencegah preseden buruk dalam penanganan kasus KDRT, khususnya KTI, di mana pendekatan keadilan restoratif digunakan untuk membuka celah impunitas pelaku dan meneguhkan siklus KDRT. Pertama, pasal yang disangkakan terhadap pelaku tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana ringan. Pasal 44 ayat (1) UU PKDRT menyebutkan bahwa "Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah)." Kedua, Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif belum memuat penanganan khusus dalam kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk KDRT, yang diselesaikan dengan mekanisme keadilan restoratif. Perkapolri ini hanya memuat langkah pelaku untuk permohonan maaf dan penggantian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tanpa disertai dengan pengaturan mengenai langkah-langkah lanjutan yang wajib dilakukan oleh pelaku agar memastikan kejadian serupa tidak berulang.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Komnas Perempuan merekomendasikan:

Kepolisian untuk melanjutkan penanganan kasus KDRT LK sesuai aturan hukum dalam UU PKDRT untuk memutus impunitas, sebagai bagian dari penegakan hukum dan pembelajaran publik;

RB dikenai kewajiban untuk mengikuti program konseling menggunakan psikolog yang direkomedasikan dan dalam pengawasan kepolisian untuk perubahan cara pandang dan perilaku tentang relasi laki-laki dan perempuan guna memutus siklus kekerasan;

LK mendapatkan penguatan psikologis dan informasi untuk memahami hak dan posisinya sebagai perempuan dan korban;

Pemerintah, khususnya Kemenhukham dan KPPPA, mengambangkan mekanisme rehabilitasi pelaku tindak KDRT dan program pencegahan yang lebih efektif;

Perempuan korban untuk tetap bersuara dan melaporkan kekerasan yang dialaminya;

Semua pihak agar bersama bergerak untuk menolak segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, ciptakan ruang aman, dukung dan temani. (Ast)