Radio Katolikana : Umat Semakin Paham Laporkan Kekerasan Seksual

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Lukas Ispandriarno dalam siaran Radio Katolikana menyebut bahwa gereja tidak dapat menyembunyikan perbuatan seperti yang dilakukan oleh umat klerus  maupun non klerus. Gereja di Indonesia seperti serikat jesuit, keuskupan agung Jakarta mengeluarkan pedoman atau protokol  mencegah, menangani, memulihkan nama baik dan melindungi korban.

Inisiatif juga datang dari kalangan akademisi, psikolog perempuan  seperti yang dilakukan oleh Theresia Indira Shanti yang  menerbitkan buku layanan psikologis awal  bagi korban  kekerasan seksual di lingkup gereja Katolik.

Mengapa setelah sekian lama gereja terbungkam? bagaimana melayani para korban? bagaimana pendamping-  pendamping itu bekerja?

Theresia Indira Shanti mengatakan bahwa penulisan buku itu materinya sendiri berangkat dari keprihatinannya atas apa yang ia hadapi dan alami sendiri di gereja Katolik. Ada banyak korban di gereja Katolik yang ia dampingi. dan mereka membutuhkan keadilan untuk membantu pemulihan diri mereka. Namun ini perlu proses yang panjang. Mereka sendiri terkait kejadian yang menimpanya menjadikan marah terhadap sesuatu yang berbau Katolik. Mereka memandang gereja menakutkan dan menjijikkan. Mereka ingin dekat gereja tapi di sisi lain mereka jadi takut dan jijik. Kekerasan seksual itu sendiri membuat meraka hancur, tidak ada harga diri, martabat hancur dan jijik pada diri sendiri. Hal ini menjadi  perenungan  Shanti apa betul gereja hadir. Ada beberapa alasan,  Allah itu menjelma menjadi manusia, padahal umat  tahu kalau ada satu yang menderita maka semua menderita.

Kedua lalu Paus Fransiscus mengeluarkan untuk inisiatif pribadi "kamulah terang dunia" dan  menyatakan tegas pada seluruh umat bahwa kita harus mengutamakan perspektif korban, victim first. Shanti  ingat salah satu korban yang beraudiensi dengan paus Fransiscus bahwa Yesus memanggil ibunya ketika ia menghadapi sengsara dan kematiannya. ""Tetapi ibuku dan  gereja meninggalkanku sendirian dalam masa terluka." Oleh karena itu Paus mengajak umat Katolik  berpihak pada korban untuk meringankan penderitaannya. Alasan ketiga : Keuskupan Agung Jakarta menanggapi keadaan ini dan seruan Paus lalu menyusun perlindungan anak dan dewasa rentan yang diluncurkan 15 Januari 2022. Shanti dan kawan-kawan  sudah mensosialisasikan itu lalu uskup menugaskan semua paroki membentuk tim satgas lalu kembali Shanti dan kawan-kawan  sosialisasikan agar ingat untuk menjaga diri masing-masing demi keamanan dan mengajak lain mengucapakan budaya aman dan berupaya membangun sistem amam bagi semua.

Setelah melakukan sosialisasi umat menjadi sadar  dan mereka yang jadi korban langsung speak up . Shanti sempat  berpikir banyak orang bertanya pertama kali menanggapi sosialiasi ini? jawabannya adalah  dengan cara tidak melukai

Shanti menambahkan ada perubahan pemahaman yang semakin baik yang  dulu  menganggap kekerasan seksual itu hanya  kekerasan fisik saja.  mereka terpapar materi gender dan lain-lain tapi makin ke sini apalagi adanya UU TPKS dan PPADR ini bahwa kekerasan itu ada berbagai bentuk dan yang sekarang sedang marak adalah  online. Lalu mengapa belum dipahami? Karena ada budaya patriarki yang mengakar di masyarakat.

Sosialisasi tidak hanya bentuk-bentuk kekerasan  saja tetapi proses yang membuat kekerasan terjadi. Ini yang kemudian cukup untuk menekankan karena banyak orang tidak menyadari bahwa relasi tertentu banyak mengarah kepada kekerasan seksual dengan banyaknya  grooming seksual dan manipulasi. grooming yakni   membangun rasa percaya untuk mendapat koneksi dari korban. Pelakunya ini memang membangun hubungan lalu pelaku dapat memanipulasi korban. Bentuknya macam-macam mulai ngasih permen hadiah ke anak, lama-lama sentuhan yang awalnya dirasakan korban sebagai bentuk kasih sayang. tapi lama-lama berkembang. terutama korban sangat percaya, korban merasa hanya dia (pelaku) yang bisa dipercaya dan yang dianggap memenuhi kebutuhan.

 

Pelaku kemudian mengarah ke kekerasan seksual. Sebetulnya korban sudah merasa kurang nyaman, "ini kan sudah membimbing aku'. Apalagi ajaran spiritual sehingga si korban sendiri merasa, "aku dosa tidak kalau aku menuduh dia seperti itu." Serba salah menurut korban sebab pelaku ini ia anggap pembimbing, penjaga iman dan terjadi banyak konflik. akhirnya menyadari : oh saya ini dikenai kekerasan seksual.

Buku pedoman ini untuk memudahkan pembaca  dan ditulis secara ringkas, intinya agar masyarakat sadar. Namun ada keterbatasannya sebab jikq umat ingin lanjutan tentu dilanjutkan pelatihan- pelatihan. Misalnya perlu diketahui bahwa  petugas profesional kesehatan sangat terbatas atau misalnya ada lanjutan rujukan ke tenaga profesional kesehatan mental.

Sebelumnya Shanti  memberikan naskah buku dukungan psikologis awal ini kepada tiga teman untuk mendapatkan  masukan dari mereka lalu sudah diintegrasikan.

Theresia Iswarini, komisioner Komnas Perempuan dan  Ketua Forum Korban Kekerasan DIY menceritakan kondisi kekerasan seksual  di Yogyakarta seperti apa. Ia memiliki catatan data. Tahun 2022 angka tertinggi kekerasan seksual  terutama yang mendapatkan layanan kesehatan ada 101 perempuan.

Sedangkan Sari Murti Widyastuti narasumber lainnya menyatakan dari 260 kasus kekerasan yang meminta pertolongan medis. Dari waktu ke waktu sekian banyak yang meminta perotolongan untuk mendapatkan layanan kesehatan. dari situ proses terbantu.

Trauma kekerasan seksual yang dialami sangat dalam. kalau tidak ada dukungan psikologi dari awal maka korban biasanya memiliki anggapan untuk abai seperti kata-kata 'ya sudahlah'. maka perlu pengawalan dari awal sehingga korban menjadi kuat dalam menjadi proses-proses selanjutnya.

Belum lagi kalau pelaku punya power secara  ekonomi dan politik.  Sari mendampingi korban anak SMA dan pelaku anggota dewan. Ada juga korban anak SMA dengan pelaku usia anak. Sering sekali korban distigma dan dituduh sebagai penyebab.

Terkait apakah warga gereja memiliki  saluran, Sari menjawab bahwa Jesuit memiliki  tim sendiri tapi di keuskupan ada komisi keadilan namun ia tidak tahu  sampai seberapa jauh di masing-masing paroki memberikan saluran. warga gereja yang jadi korban memang butuh saluran. Ia berharap semoga ini  menjadikan perhatian.

Beberapa masukan dari  Sari antara lain perlu  adanya alur jika korban ingin menempuh keadilan jalur hukum,  yang harus diketahui bahwa yang boleh minta visum adalah polisi. Hal itu harus dijelaskan di sana setelahnya adalah agar korban segera mengakses layanan kesehatan. apa yang terjadi padanya harus melalui pemeriksaan sehingga datanya tersimpan terlebih dahulu.

Terkait bagaimana komisioner Komnas Perempuan mencermati kasus di lingkungan gereja, Theresia Iswarini  mengatakan ada kekhawatiran korban mau melaporkan ke mana-mana. Pada konteks kekerasan seksual bisa terjadi di ruang-ruang privat. Karena lembaga agama yang orang  anggap harus  dijaga atau eman-eman, praktis laporan ke Komnas Perempuan di tahun 2021 hanya satu kalau untuk katolik. 2022 tidak ada. Sedangkan Kristen  Protestan hanya ada satu atau dua. Ini mematahkan cara pandang yang kalau dibongkar menimbulkan anggapan  isu kekerasan seksual di gereja Katolik akan menghancurkan gereja. Akhirnya butuh untuk menantang  apakah statemen demikian adalah benar? karena data menyatakan sebaliknya. Poinnya adalah bagaimana  menghargai betapa orang melapor itu susahnya minta ampun. Jadi ketika ada orang melapor kasus kekerasan seksual  di gereja maka harus  diapresiasi.

Buku saku pedoman ini  memberikan ruang lebih.  Ia menjadi alternatif di tengah minimnya psikolog klinis di Indonesia. Di wilayah pelosok, psikolog klinis jumlahnya sedikit sekali. Ini problem berapa lama lagi  korban menunggu di UPTD provinsi dan hilangnya hal pendampingan maka pendampingan awal ini sangat penting.  Dengan kapasitas yang dimiliki non psikologis klinik, Komnas  juga sedang menyusun pula  pedoman pendampingan yang bukan non psikologis klinis.

Komnas Perempuan di tahun 2010-2014 sudah membuat 14 kategori kekerasan kemudian  diperas di UU TPKS jadi 9. Terkait konteks di gereja belum tahu,hanya ada satu kasus di pengadilan negeri atas kasus ingkar janji oleh seorang laki laki pada perempuan. Banyak kasus  yang belum diproses  karena dianggap bukan perkara pidana. Sayangnya kasus di gereja tidak naik ke permukaan padahal kalau dalam konteks pidana perkosaan punya waktu kadaluwarsa 12 tahun.

Ini seperti fenomena bom waktu yang melahirkan orang+orang yang tidak percaya kepada religiusitas, agama atau bahkan pemuka/pemujanya dan konsekuensi logis menurut Theresia sebab semua orang bertumbuh untuk bertimbang dan merefleksikan dirinya. Ketika ia sampai pada refleksi  diri, maka menjadi satu bagian dari lembaga agama tidak serta  merta menempatkan dirinya pada situasi keadilan  dan pulih.

Bagi lembaga agama, pemuka agama dan orang yang terlibat dalam lembaga agama diharapkan  untuk lebih melihat situasi ini dan  jangan menutup mata. Ada rasa malu dari korban untuk mengeluarkan data dari yang dipunyai. Kalau pelakunya bukan klerus mari bisa dibawa tapi kalau pelakunya adalah klerus ruang itu tidak bisa.

Betul bahwa kasus itu unik tapi ingat bahwa klerus itu selalu punya posisi kuasa yang lebih karena jubah dan posisinya. Jadi posisi perempuan ini memahami klerus atau klerus memahami bahwa kuasanya bisa menundukkan orang lain  jadi terjadi  grooming dan grooming bisa terjadi demikian cepat, bisa lama, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Menurut klerus  kalau dia bisa digunakan kuasa dengan baik maka gereja aman.

Perempuan juga belajar terkait bahwa kuasa itu begitu tipis. sehingga kita tidak masuk ke jebakan womanizer. Tidak menutup kemungkinan ada potensi-potensi womanizer pada klerus. Kuncinya adalah di pemahaman- pemahaman di kedua belah pihak.

 

Bagaimana Setelah Penerbitan Buku Saku Dukungan Psikologis Awal

Shanti mengakui perlu juga ada Standar Operasional Prosedur (SOP), ada alur hukumnya dan bagaimana berjejaring dan pihaknya  mengupayakan ada buku saku- buku saku lain bagi teman yang mendampingi korban. tindak lanjut dukungan poskologis awal ini tidak hanya untuk tenaga-tenaga kesehatan jiwa dan medis, tapi hukum spiritual dan rohani karena sebetulnya waktu ia mendampingi korban itu mereka ada satu sisi yakni memandang gereja dan sisi lain adalah mereka masih ingin menjadi bagian dari gereja Katolik.

Sangat penting bagaimana mereka mengintegrasikan kembali dan bagaimana mereka tetap difasilitasi pertumbuhan imannya kembali di dalam diri mereka. Ini fenomena gunung es, baik secara  gerakan tidak turun mata justru memandang pelaporan-pelaporan ini kesempatan untuk memperbaiki gereja karena kalau dilihat ketika gereja menutup klerikis, relijius klerikus, disitulah tidak dikenai sanksi, tidak ditindak, maka akan ada kemungkinan besar akan ada korban-korban berikutnya dari pelaku.

Maka pihaknya mengajak speak-up dan ketika speak-up harus hati-hati bahwa para pendamping  tidak bisa memberikan harapan muluk-muluk karena korban biasanya ingin konsekuensi sebesar- besarnya pada pelaku padahal ada hukum kanonik gereja yang sudah mengatur bahwa yang bisa dikenai sanksi demikian seperti apa tindakannya. Ketika keinginannya tidak dipenuhi maka akan menjadikan mereka alami trauma kedua. Mereka terluka sekali ketika alami kekerasan, akan terluka kembali ketika pelaporannya tidak ditanggapi dengan cepat dan empatik.

Mereka mempertanyakan. mereka melaporkan itu dan umat ada di beberapa kategori.  Melihat pelaku mempertanyakan korban yang dinilai perempuannya saja . orangtua anak-anak itu yang memperhatikan korban ada yang dekat dengan korban. Maka pendamping  berpihak pada korban.

Sari  menambahkan kalau persoalan itu diungkap ke publik berdasar kebutuhan korban (bukan pendamping), lewat publik tentu pendamping harus berusaha apa yang menjadi harapan korban bisa terwujud tanpa ia menjadi korban lagi. Yang ini harus  diperhitungkan secara matang langkah langkah yang akan ditempuh. Namun ketika mentok ke dalam dan korban merasa tidak perlu untuk ke publik ya berarti pendamping tidak perlu memaksa agar ia tidak sakit dua kali.

Perlu pula yang namanya self guarding yakni mengenali kerentanan diri masing-masing dan menjaga diri kita untuk keamanan diri,  menjaga keamanan komunitas dan  menjaga untuk membangun sistem dalam rangka  menjaga keamanan bersama. Umat  semua memiliki kerentanan. Klerikus memiliki kerentanan. Relijius non klerikus juga. Begitu pula para pelayan pastur. Juga  diri  sendiri. Harapannya  semua bisa mengenali kerentanan masing masing.

Kalau misal ada kasus perempuan ketika ada kerentanan, ada isu dia ada dalam situasi cukup rentan dan di situ ia butuh bimbingan. dan memang kleritus non tahbis maupun yang tidak tertahbis, mereka punya aturan untuk tidak melakukan hubungan eksklusif.  Mereka semua diharapkan jadi penjaga iman dan moral ketika ada yang membutuhkan bimbingan, mereka bisa tegas menjaga perilakunya, membedakan mana yang bimbingan dan mana yang manipulasi untuk kepentingan sendiri yang tidak untuk kepentingan orang yang dibimbing. (ast)