Aktivisme Digital dan Gerakan Feminisme di Indonesia dalam Advokasi UU TPKS dan RUU PPRT

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Peristiwa Tragedi Mei 98 menjadi  momentum penting karena pada momen tersebut, gerakan perempuan melihat peluang melakukan perubahan mendasar. Di awal reformasi saat itu ada upaya mau mendesakkan perbaikan di ranah politik dengan mendorong kebijakan afirmasi politik, selain itu juga persoalan  isu tentang  kekerasan tubuh dalam konteks kekerasan rumah tangga juga menjadi  isu yang didorong dalam pengesahan  UU PKDRT. Demikian dikatakan Anita Dewi dalam seri diskusi KCIF oleh LettsTalk_Sexualities.

Dalam perkembangan sesudahnya, untuk isu kekerasan seksual meningkat dan ini di satu sisi dilihat sebagai sebuah situasi ada kesadaran masyarakat bahwa kasus-kasus kekerasan harus dilaporkan, jadi kasus yang dilaporkan ada peningkatan dan bisa dilihat  bahwa ini juga persoalan yang tidak bisa diabaikan begitu saja dan dalam perkembangannya untuk kasus kekerasan seksual selalu mengalami jumlah yang tinggi.

Catatan Tahunan (Catahu) yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan mencatat seperti itu.  Ada momentum  penting, kalau  melihat dalam konteks global situasi  kesadaran tentang kekerasan seksual juga mengemuka.

Di tahun 2006 muncul gerakan 'mee too'yang diinisiasi oleh aktivis dan penyintas di Amerika lalu 2017 muncul pemberitaan tentang NYT.

Menurut Anita Dewi, untuk konteks Indonesia hal yang sama juga terjadi yakni kasus kekerasan seksual meningkat dan pada tahun 2016  ada kampanye #nyalauntukyuyun sebuah aksi massa  sebagai desakan disahkannya RUU  Penghapusan Kekerasan Seksual. Salah satu yang mendorong adalah penggunaan perangkat teknologi yang semakin menyebar di masyarakat  terutama penggunaan media sosial yang pada tahun 2016 awalnya sangat kecil diangkat oleh media namun aktivis perempuan mengangkatnya media sosial dengan menggunakan tagar #nyalauntukyuyun.

Ini menjadi gerakan yang bergulir. Masyarakat jadi tahu bahwa ada kasus di sana yang kenudian kampanye di media sosial sangat kencang dan diikuti dengan aksi massa. Tidak hanya di Jakarta tapi juga di daerah-daerah lain. Lalu muncul bahwa perlu undang-undang khusus terkait dengan kekerasan seksual. Berangkat dari fakta dan realitas tingginya angka-angka kekerasan seksual di masyarakat lalu aksi-aksi ini mendorong pengesahan UU TPKS. Ketika itu di awal-awal Komnas Perempuan yang menginisiasi isu ini.

Kemudian yang kembali diangkat adalah isu-isu kekerasan yang terjadi pada pekerja rumah  rumah tangga. Kasus-kasusnya meningkat. Jala PRT mencatat ada peningkatan setiap tahun dari 2007 sampai hari ini. Sebenarnya kebutuhan  disahkannya undang-undang yang secara khusus  mengatur adanya PRT berawal dari 2004. Karena sebenarnya kalau  bicara isu ketenagakerjaan, isu PRT ini menjadi isu yang di luar yang diatur oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan. Sehingga aktivis perempuan melihat perlu adanya undang-undang  yang mengatur tentang pekerja rumah tangga yang bekerja di sektor informal dan terkait dengan kerja-kerja perawatan yang selama ini dianggap tidak bernilai.

Satu catatan penting perlu dilihat bahwa dari  desakan-desakan ini, ada aktivisme digital yang dilakukan oleh gerakan perempuan untuk mendorong RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) untuk segera dibahas dan disahkan. Bisa dilihat bagaimana  kontribusi aktivisme digital dan gerakan feminis. Ini sebuah kajian awal yang butuh dikaji lebih jauh.

Segera Bahas dan Sahkan RUU PPRT

Hal yang menarik  adalah ada poin penting terkait isu yang diangkat bahwa  gerakan perempuan mengangkat isu ini untuk membongkar dikotomi antara privat dan publik. Bisa dilihat  jelas dalam advokasi  yakni seperti pada Undang-undang PKDRT bahwa isu yang didorong ketika itu bagaimana  kekerasan dalam rumah tangga itu masuk dalam ranah publik. Kalau dalam advokasi RUU TPKS sebelum disahkan, yang sudah bergerak lebih jauh, dia juga berbicara tentang persoalan bagaimana mengambil kembali kendali atas tubuh. Ini yang menjadi poin penting yang diangkat lewat proses-proses yang dilakukan lewat kampanye di medsos dengan  penggunaan tagar. Hal ini  memberikan edukasi kepada publik dan banyak anak muda terlibat. Terutama anak muda urban dan melek teknologi dan kelas menengah dan penggunaan aktivisme digital ini juga didukung dengan aksi massa turun ke jalan misal tahun 2022 karena proses pembahasannya pernah  mandek sebab  waktu itu DPR RI akan mengeluarkan RUU  TPKS dari daftar prolegnas prioritas. Kemudian aksi massa digelar setiap Selasa. Pada akhirnya proses kampanye  digital diikuti aksi massa turun  ke jalan.

Terkait RUU PPRT ada isu klas. Jadi penting ketika  kelompok PRT tidak leluasa menggunakan ponsel dan medsos mereka terbatas penggunaan  sehingga aktivitas digital mereka tidak terlalu menonjol. Kalau bicara aktor anak muda  terlibat ada anak muda urban melek teknokogi kelas menengah dan atas  bahkan di kampus kampus. Tapi acara cakupan belum semasif pada RUU TPKS dulu. (Ast)