Peristiwa Tragedi Mei 98 menjadi momentum penting karena pada momen tersebut, gerakan perempuan melihat peluang melakukan perubahan mendasar. Di awal reformasi saat itu ada upaya mau mendesakkan perbaikan di ranah politik dengan mendorong kebijakan afirmasi politik, selain itu juga persoalan isu tentang kekerasan tubuh dalam konteks kekerasan rumah tangga juga menjadi isu yang didorong dalam pengesahan UU PKDRT. Demikian dikatakan Anita Dewi dalam seri diskusi KCIF oleh LettsTalk_Sexualities.
Dalam perkembangan sesudahnya, untuk isu kekerasan seksual meningkat dan ini di satu sisi dilihat sebagai sebuah situasi ada kesadaran masyarakat bahwa kasus-kasus kekerasan harus dilaporkan, jadi kasus yang dilaporkan ada peningkatan dan bisa dilihat bahwa ini juga persoalan yang tidak bisa diabaikan begitu saja dan dalam perkembangannya untuk kasus kekerasan seksual selalu mengalami jumlah yang tinggi.
Catatan Tahunan (Catahu) yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan mencatat seperti itu. Ada momentum penting, kalau melihat dalam konteks global situasi kesadaran tentang kekerasan seksual juga mengemuka.
Di tahun 2006 muncul gerakan 'mee too'yang diinisiasi oleh aktivis dan penyintas di Amerika lalu 2017 muncul pemberitaan tentang NYT.
Menurut Anita Dewi, untuk konteks Indonesia hal yang sama juga terjadi yakni kasus kekerasan seksual meningkat dan pada tahun 2016 ada kampanye #nyalauntukyuyun sebuah aksi massa sebagai desakan disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Salah satu yang mendorong adalah penggunaan perangkat teknologi yang semakin menyebar di masyarakat terutama penggunaan media sosial yang pada tahun 2016 awalnya sangat kecil diangkat oleh media namun aktivis perempuan mengangkatnya media sosial dengan menggunakan tagar #nyalauntukyuyun.
Ini menjadi gerakan yang bergulir. Masyarakat jadi tahu bahwa ada kasus di sana yang kenudian kampanye di media sosial sangat kencang dan diikuti dengan aksi massa. Tidak hanya di Jakarta tapi juga di daerah-daerah lain. Lalu muncul bahwa perlu undang-undang khusus terkait dengan kekerasan seksual. Berangkat dari fakta dan realitas tingginya angka-angka kekerasan seksual di masyarakat lalu aksi-aksi ini mendorong pengesahan UU TPKS. Ketika itu di awal-awal Komnas Perempuan yang menginisiasi isu ini.
Kemudian yang kembali diangkat adalah isu-isu kekerasan yang terjadi pada pekerja rumah rumah tangga. Kasus-kasusnya meningkat. Jala PRT mencatat ada peningkatan setiap tahun dari 2007 sampai hari ini. Sebenarnya kebutuhan disahkannya undang-undang yang secara khusus mengatur adanya PRT berawal dari 2004. Karena sebenarnya kalau bicara isu ketenagakerjaan, isu PRT ini menjadi isu yang di luar yang diatur oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan. Sehingga aktivis perempuan melihat perlu adanya undang-undang yang mengatur tentang pekerja rumah tangga yang bekerja di sektor informal dan terkait dengan kerja-kerja perawatan yang selama ini dianggap tidak bernilai.
Satu catatan penting perlu dilihat bahwa dari desakan-desakan ini, ada aktivisme digital yang dilakukan oleh gerakan perempuan untuk mendorong RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) untuk segera dibahas dan disahkan. Bisa dilihat bagaimana kontribusi aktivisme digital dan gerakan feminis. Ini sebuah kajian awal yang butuh dikaji lebih jauh.
Segera Bahas dan Sahkan RUU PPRT
Hal yang menarik adalah ada poin penting terkait isu yang diangkat bahwa gerakan perempuan mengangkat isu ini untuk membongkar dikotomi antara privat dan publik. Bisa dilihat jelas dalam advokasi yakni seperti pada Undang-undang PKDRT bahwa isu yang didorong ketika itu bagaimana kekerasan dalam rumah tangga itu masuk dalam ranah publik. Kalau dalam advokasi RUU TPKS sebelum disahkan, yang sudah bergerak lebih jauh, dia juga berbicara tentang persoalan bagaimana mengambil kembali kendali atas tubuh. Ini yang menjadi poin penting yang diangkat lewat proses-proses yang dilakukan lewat kampanye di medsos dengan penggunaan tagar. Hal ini memberikan edukasi kepada publik dan banyak anak muda terlibat. Terutama anak muda urban dan melek teknologi dan kelas menengah dan penggunaan aktivisme digital ini juga didukung dengan aksi massa turun ke jalan misal tahun 2022 karena proses pembahasannya pernah mandek sebab waktu itu DPR RI akan mengeluarkan RUU TPKS dari daftar prolegnas prioritas. Kemudian aksi massa digelar setiap Selasa. Pada akhirnya proses kampanye digital diikuti aksi massa turun ke jalan.
Terkait RUU PPRT ada isu klas. Jadi penting ketika kelompok PRT tidak leluasa menggunakan ponsel dan medsos mereka terbatas penggunaan sehingga aktivitas digital mereka tidak terlalu menonjol. Kalau bicara aktor anak muda terlibat ada anak muda urban melek teknokogi kelas menengah dan atas bahkan di kampus kampus. Tapi acara cakupan belum semasif pada RUU TPKS dulu. (Ast)