Kondisi Inkonstitusionalisasi Disabilitas Mental di Indonesia

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Pada sesi diskusi pada seminar internasional dan seni instalasi 'Inkonstitusionalisasi  disablitas mental" yang dihelat oleh PJS menghadirkan  Sonya Helen sebagai moderator dan salah seorang narasumber bernama Hibat. Hibat pernah menjadi  mahasiswa Untag Jakarta dengan PK 3,7.

Ia bercerita pada mulanya di rumah dijemput oleh-oleh orang panti. Lalu ia tinggal di panti yang tampak dari depan saja sudah ada bau. Makanan yang ia terima dari sayur dan nasi yang hampir busuk. Kondisi toilet tidak ada dan buang air di lubang. Di sana tidak ada air dan mereka  tidur di lantai. Panti tersebut terletak di Serang Banten dengan penghuni 30 laki laki dan 10 orang  perempuan.

Mereka, para penghuni  tidak boleh keluar sama sekali. Mereka digembok dan hanya boleh  keluar di depan pintu saja  kalau ada kiriman makanan datang.

Ada 3 lokasi yang di depan ada beberapa dirantai. Di bagian belakang pun juga banyak. "Saya tinggal di panti selama dua tahun satu bulan," ujar Hibat.

Ketika PJS bertemu dengan Hibat, ia bercakap memakai bahasa Inggris dan  kala itu PJS membawa pengacara sehingga bisa mengeluarkan Hibat seizin tantenya yang membayar ke panti 2 juta per bulan.

Panti tersebut  mengaku sebagai pesantren dan tidak ada pengobatan. Selama Hibat di sana ada lima yang meninggal.

Uli Parulian Sihombing komisioner  Komnas HAM sama menegaskan bahwa  kondisi panti-panti sosial di Jateng, Jatim dan Banten sangat tidak layak. Di Komnas HAM sudah dibuat SNP nomor 10 tentang hak bebas dari penyiksaan, perlakuan kejam dan merendahkan martabat manusia. Dalam SNP tersebut Uli mengambil sumber dari konvensi anti penyiksaan  sehingga diharapkan bisa menganalisis dari kondisi panti-panti.

Haris Azhar, pernah menjadi kordinator Kontras, dalam sesi diskusi seminar mengakui bahwa kondisi  di panti-panti disabilitaa mental itu seperti  "bau amis" dan berlangsung lama.  Ia yang saat pandemi lalu  membantu menyusun  SOP dalam membantu  masyarakat rentan yakni  disabilitas, orangtua, anak dan perempuan mengatakan bahwa ada dua hal terkait tersebut yakni : 1. Ada korban yang berpotensi, 2. Ada institusinya

Menurutnya yang  sering terjadi di Indonesia  jika ada keributan dengan disabilitaa mental yang diamankan malah yang distigma, bukan masyarakatnya yang menstigma. Lalu perlu dilihat institusinya, ini melanggar ridak? Apakah ini motif memperkaya diri  atau mencari keuntungan diri dari orang yang sakit? Lalu apakah  ada skema tanggung jawab dari pemerintah lokal. Ia  tidak ingin bicara tentang perlindungan difabel dalam CRPD tapi dari sisi kesehatan. Apakah ini bisa disebut penyiksaan? Jawabnya Iya.

Haris menambahkan kondisi orang-orang di panti sangat memenuhi unsur-unsur penyiksaan namun ia menegaskan juga agar berhati-hati  jangan gelap mata membangun stigma buruk pada panti. Karena ada panti yang jenisnya sama tapi tidak melalukan praktik seperti itu. PJS bisa melakukan upaya kelanjutannya yakni upaya advokatif yang mengubah kondisi. Standarnya adalah kesehatan. Karena banyak panti sosial digunakan bagi mereka yang ditolak secara sosial. Itu yang sering dipakai untuk pengantar untuk mereka. (Ast)