Wiji Kendeng di Tengah Perubahan Iklim dan Inisiatif Rabu Menanam

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Panelis kedua pada Letsstalk_Sexualities even KCIF,  Si Luh Ayu Pawitri memaparkan "Wiji Kendeng. Bagaimana Krisis Iklim dan Perlawanan dari Selatan." Penelitian Ayu lewat Wiji Kendeng membedah bagaimana   krisis  iklim menjadi isu sangat panas di hari ini. Krisis iklim  membuat kebutuhan perempuan dan anak terbatas untuk mendapat akses yang lebih baik.  Akses air oleh perempuan dialami oleh  perempuan di Indonesia dan dunia terkait proses domestik di rumah. Juga kebutuhan reproduksi perempuan sendiri secara global krisis yang berdampak juga pada semua makhluk. Perempuan dan anak jadi sasaran paling rentan.

Mengutip Greta Thunberg, anak perempuan di bumi ini tergantung bagaimana bumi yang layaknya ditempati.  Ini semua salah di satu sisi KTT  Iklim di PBB tahun 2019.  Harusnya ia melanjutkan sekolah dan bisa sekolah  semua tetapi  kebijakan tidak ada yang berpihak pada anak dan perempuan.  Ia mengemukakan itu dalam ranah di hadapan orang-orang besar.

Ayu tinggal bersama Sedulur  Sikep di Sukolilo. Pembangunan pabrik semen menutup akses Wiji Kendeng. Mereka mengalami trauma kolektif. Wiji Kendeng merupakan anak-anak dari pejuang Kendeng  karena pabrik semen masih berdiri di Rembang.

Wiji berarti  benih,  Kendeng nama pegunungan Kendeng yang akan meneruskan perjuangan mereka.

Menurut Ayu, ada kesenjangan terkait hal ini. Barat dengan narasi global  sedangkan Wiji Kendeng adalah narasi lokal.

"Rabu Menanam" oleh Wiji Kendeng adalah sebuah representasi untuk memperlihatkan  pada pemerintah dan korporasi dengan membuktikan sendiri dengan menanam tiap Rabu. Ada lukisan Dewi Candraningrum yang memperlihatkan bagaimana para  perempuan Kendeng berjuang  untuk lingkungannya

Penelitian Ayu terkait pengamatan/observasi serta  wawancara terhadap Wiji Kendeng. Selama dua minggu ia  mendapati keseharian mereka yang mampu membangkitksn semangat membaca dan menulis serta  menghitung. Mereka  rata-rata tidak masuk sekolah formal. Mereka lebih melakukan gerakan lokal untuk lebih .menghargai dan hidup bersama alam.

Terkait  narasi ada Global North  dan Global South,  sebenarnya bukan menolak bagaimana pemajuan terjadi itu meilihat dari perspektif yang mana. Dan apa yang digunakan untuk melihat pemajuan tersebut karena berbicara tentang  ekofeminisme atau perjuangan dari teman-teman selatan bisa dibilang bahwa teman-teman dari selatan cenderung alami dan ini  sebenarnya diperbincangkan dalam aksi-aksi diplomatis misalnya KTT atau konferensi perubahan iklim.

Mengutip satu karya ilmiah, dampak global lebih dirasakan oleh negara bagian selatan. Juga dipengaruhi oleh konsumsi yang berlebihan di negara maju atau bagian utara.  Walaupun produk-produk makanan dan pakaian diproduksi di negara bagian Selatan karena mungkin rata-rata buruh pabriknya berasal dari negara Selatan tetapi yang mengkonsumsi cenderung lebih banyak negara bagian Utara. Semua laporan di dunia punya tanggung jawab moral akan kerusakan lingkungan baik negara Utara dan Selatan. Tidak ada dualitas yang merusak salah satu narasi.

Para feminis juga mengklam bahwa fenomena ini ironi dan  bagaimana perempuan yang memproduksi makanan di bumi ini cenderung memiliki kerentanan atas akses kepada konsumsinya sendiri.

Hal ini berpengaruh pula pada anak-anaknya karena secara struktural mereka harus bertahan dari kelaparan dan kemiskinan.

Salah satu bentuk perlawanan dari Selatan jika di-capture bisa jadi diskursus pengetahuan. Dia akan memberikan sudut pandang baru dalam melihat krisis iklim dengan hal-hal personal/ keseharian.

"Saya mencatut Wiji Kendeng karena perlawanan yang mereka lakukan berasal dari perlawanan yang mereka lihat langsung dari orangtuanya dan bagaimana orangtuanya kemudian memperjuangkan hak tanah mereka, hidup mereka, hak udara mereka sehingga dari kecil mereka sudah menyaksikan gerakan yang dilakukan oleh orangtua mereka termasuk kekerasan-kekerasan  yang dilakukan aparat yang menimpa orangtua mereka. Dan berdampak  cara mereka memandang serta melihat elit,"tutur Ayu.

Perlawanan mereka simbolik. Selain mereka bercocok tanam, mereka juga aktif dalam  menggaungkan narasi-narasi penjagaan alam melalui tembang Macapat. Salah satu tembang ciptaan Ningrum, salah seorang anak generasi Kendeng  "Bumi menciptakan keindahan dan kecukupan pada manusia tetapi tidak semua orang bisa berucap terima kasih kepada bumi. Mereka menganggap bahwa bumi sudah mulai dirusak, pohon ditebang dan bumi ditambang.

Mereka melakukan itu secara sederhana, kecil, terus-menerus dan mungkin dinilai kecil tetapi berdampak secara moral dan juga semangat diri. Mereka mengajak gerakan Rabu Menanam.

Mampukah Kendeng bertahan melalui krisis iklim ini? Ayu  melakukan wawancara dengan Anggit, anak generasi Kendeng.. Ia merasa sebagai seorang petani melihat gunung dan sawah dirusak membuat miris. Mereka berjuang dan tetap menjadi petani untuk menghidupi kehidupan mereka. (Ast)