Menurut panelis Helma Nuraini dari Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin pada diskusi 1st Annual Conference on Indonesian Feminisms (KCIF) oleh LettStalk_Sexualities, ada tiga hal penting dalam pendidikan seksual yang inklusif bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yakni bagaimana mereka mengenali dirinya. Pendidikan seksualitas itu bukan hanya tentang bagaimana mereka memahami tentang seks atau seksualitas itu tetapi mengenali diri mereka sendiri dan menumbuhkan rasa kepercayaan diri termasuk kemampuan mereka dalam menjalin relasi heteroseksual dan lainnya.
Pendidikan seks dan seksual juga menunjang tumbuh kembang mereka menjadi pribadi lebih sesuai dengan tuntutan atau norma yang berlalu di masyarakat yang sesungguhnya tidak adil bagi mereka. Salah satu yang terpenting dari pendidikan seks dan seksualitas ini adalah menjaga keselamatan diri seorang ABK. Kita mengenal ABK sebagai seorang yang memiliki kekhasan dan dalam tumbuh kembang mereka dan tampak bagaimana mereka berinteraksi serta bersosialisasi pada masyarakat.
ABK punya keunikan pada fisik dan komunikasinya. Ada tiga hal yang membedakan individu pada umumnya yaitu keunikan pada fisik, perbedaan mental intelektual dan berpengaruh secara signifikan pada proses pertumbuhan dan perkembangannya yang berdampak pada komunikasi mereka dan seluruh aspek kehidupan sepanjang hidupnya. Di sisi lain terkait dengan seksualitas ada stigma atau label pada mereka yang kemudian menjadikan kekerasan atau diskriminasi. Banyak data kekerasan seksual terjadi pada ABK, terutama kepada ABK perempuan dan anak. Mereka memiliki kerentanan berlapis.
Mereka memiliki kecenderungan perilaku yang dianggap tidak sesuai menurut perilaku masyarakat karena keterbatasan mereka memahami konteks di masyarakat, mereka dianggap berperilaku tidak sopan ketika misalnya karena kekurangpahaman mereka terutama autis. Mereka suka memainkan alat kelaminnya atau menyentuh tubuh orang lain tujuannya supaya kenal orang. Mereka dianggap sebagai pengganggu. ABK sendiri terstigma sebagai orang yang hiperseksulitas atau sebaliknya distigma sebagai aseksual. Ini sangat mengganggu bagi mereka bahkan sampai berbahaya. Walau ada stigma perilaku seksualitas mereka dianggap tidak normal yakni mereka tidak tahu batas pergaulan.
Berbeda antara laki-laki dan perempuan. Jika yang jadi korban adalah perempuan maka bisa diaborsi, dinikahkan dan disterilisasi, jadi mereka sama sekali tidak dapat membela diri atas tubuh mereka sendiri.
Ada sebuah cerita di Kabupaten Sragen, satu keluarga yang anaknya ABK dan si orangtua menginginkan anaknya dinikahkan pada sia pun yang mau menikahinya. Dia dinikahkan dengan laki-laki pengangguran dan pemabuk. Dia menikah lalu hamil dan tidak diurus suami. Ketika dia melahirkan, dia ketakutan dan kesakitan, akhirnya meninggal. Anaknya pun meninggal.
Faktor lain ketika ABK jatuh cinta misalnya, dia merasa 'kalau orang menanggapi cinta saya berarti dia kasihan' atau bahkan ada beberapa difabel perempuan yang memilih untuk tidak menikah karena oleh orangtuanya dianggap tidak cakap mengurus keluarga. Ini hal-hal yang realitas terjadi seperti itu.
Lalu apa saja hambatan yang dialami oleh guru ketika mengajar pendidikan seks dan seksualitas pada ABK?
1. Orangtua kurang belajar. Kalaupun mereka belajar, mereka tidak tahu bagaimana menerapkannya kepada anak. Contohnya : sulit sekali orangtua mengajarkan anaknya memakai pembalut. Saat pembalut dipakai keliru karena terbalik itu sakit sekali. Ada ibu anak berkebutuhan khusus juga menceritakan anaknya yang autis yang suka keluar rumah tanpa bilang dan sangat berbahaya karena banyak remaja berkebutuhan khusus diculik kemudian jadi objek seksual. 2. Metode pengajaran yang tidak dipahami. Guru juga memiliki kekurangan dalam keterampilan. Banyak guru yang dihadapkan harus mengajar walau dia kurang memiliki kemampuan. Dari pengalaman, guru mengajar seksualitas ABK yang perempuan lebih bisa mengajar daripada guru laki-laki. Materi kurang, metode kurang dan bagi ABK sendiri mereka mendapatkan akses yang kurang. Di zaman banjir infornasi sekarang belum tentu infornasinya benar.
Lalu kesimpulan bagaimana pendidikan seksual itu bisa diperoleh? Sebenarnya ada yakni oleh LSM namun belum banyak yang bisa mengakses. Banyak organisasi yang punya modul dan mengimplementasikan yakni sekadar contoh di 10 provinsi pada tahun 2014 dan yang paling penting bagaimana pendidikan seksualitas komprehensif itu bisa diinklusifkan dengan disesuaikan karakteristik, usia, dan gender ABK.
Kesimpulan bahwa pendidikan seksual bagi ABK belum terserap dengan dengan benar dan baik bagi seluruh masyarakat di 34 provinsi, sebab terstigma oleh nilai-nilai dan standar norma. Modul masih terpusat pada LSM dan masih eksklusif sehingga belum terakses, namun sudah diadopsi oleh pemerintah tetapi masih berfokus kepada kesehatan reproduksi. Hal ini dikarenakan masih ada hambatan biaya dan akses. (ast)