Memaknai Kata Merdeka Bagi Difabel

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Merdeka berasal dari kata dalam bahasa Sanskerta  ‘mahardika’ yang berarti kaya, sejahtera dan kuat. Dalam Bahasa Indonesia atau Melayu bermakna bebas dari segala belenggu (kekangan), aturan, dan kekuasaan dari pihak tertentu.

Edu Sareng  dari Sikka dalam diskusi yang dihelat oleh Formasi Disabilitas pada Jumat, (18/8) mengartikan kata merdeka dengan paparan yang panjang. Menurutnya penyandang disabilitas di Kabupaten Sikka masih terdiskriminasi. Mereka bahkan sudah berjuang untuk mendorong terbuat perda penyandang disabilitas selama tiga tahun tetapi bupati hanya mengumbar janji.

Bahkan tinggal beberapa bulan lagi masa  akhir tugasnya namun belum ada gelagat baik. Di DPRD pun juga tidak dianggap. "Kami belum merdeka. Merdeka bagi kami hanya dalam tulisan. Mestinya Bupati dan DPRD tahu bahwa harus ada perda tapi tidak ada respon. Untung kami punya KTP.  Umur saya 67 tahun dan hampir  30 tahun saya  bekerja di LSM. Padahal ada organisasi  Forsadika,  dan Pertuni, namun kami hanya dianggap sebagai orang cacat,"ungkap Edu.

Sedangkan pegiat dari Forsadika, Yosep Edu, seakan mengiyakan Edu Sareng, bahwa ia pun merasa belum merdeka sebagaimana juga teman-temannya  di forum difabel di Sikka memperjuangkan, namun hanya diajak diskusi oleh pemangku kebijakan tetapi tidak ada tindak lanjut.

Kedua, sebagai seorang penyandang disabilitas  mereka merasakan perlakuan pendekatan oleh stakeholder dianggap miring dan tidak seratus persen menerima.  Misalnya dalam pemenuhan hak belum ada kemerdekaan. Ia berharap diskusi yang dihelat oleh Formasi Disabilitas terus berlangsung. Yosep mengamati komunitas difabel di Jawa lebih maju. secara dan secara  regulasi sudah ada sedang mereka tidak punya. Yosep merasa bahwa mereka dilarang bertemu dengan pejabat. Menurut Yosef, merdeka itu harusnya menyentuh semua masyarakat termasuk masyarakat difabel.

Ismail ketua Pertuni Sulawesi Selatan  berpendapat bahwa merdeka itu bukan berarti  setiap orang bisa makan enak tapi merdeka setiap  orang  berproses mengisi kemerdekaan untuk kesejahteraan termasuk kesejahteraan difabel dalam pemenuhan HAM.

Masih Ada Kesenjangan Pemenuhan HAM Difabel di Indonesia

Ketika saat ini ada yang mengalami kesulitan upaya berkomunikasi  dengan pemerintah,itu sudah tidak ada kaitannya dengan kemerdekaan tetapi bagaimana kita mengisi kemerdekaan itu untuk memenuhi hak-hak difabel.

Beberapa waktu lalu, Pertuni Sulawesi Selatan berkunjung ke perpustakaan-perpustakaan daerah. Mereka mengaudit aksesibilitas, bagaimana infrastrukturnya lalu bagaimana ketika mencari buku apakah teman netra akses karena mereka pakai  komputer katalog dan apakah buku mereka beragam.  Hasil dari audit itu mereka  mendokumentasikan  dan mempublikasikan di web yang mereka buat sendiri dan kemudian dibagi.

Menurut Ismail, inilah salah satu cara menyinggung pemerintah bahwa ada bukti aksesibilitas di bidang literasi yang  belum terpenuhi karena proses digitalisasi buku di perpusda belum dilakukan dan infrastrukturnya  masih riskan. Bukti-bukti ada pada tangga yang  curang dan ketiadaan guidingblock. Untuk itulah perlu gerakan bersifat strategis untuk mencapai tujuan kesejahteraan dan pemenuhan HAM.

Arti Kemerdekaan Bagi Difabel Mental Psikososial

Berikut cerita Astuti, seorang caregiver, sekaligus  relawan pendamping di Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) Simpul Solo Raya. Ia melihat arti kemerdekaan dari sudut pandangnya sebagai seorang pendamping perempuan difabel mental psikososial korban kekerasan seksual. Seperti yang dialami oleh T, yang bergabung dengan komunitas pada tahun 2016 dan setelahnya mendapat banyak sekali pembelajaran. T kemudian semakin pulih karena penanganan tidak hanya pendampingan komunitas tapi juga penjangkauan dari pihak rumah sakit jiwa. Ia yang memiliki bakat dan kemampuan dari hobi memasak kemudian mengembangkan. diri dengan membuat berbagai macam roti dan kue lalu dijual.

Saat pandemi dimaknai sebagai kebangkitan bagi T sebab dengan bantuan dari dinas sosial setempat, yang memberinya alat-alat produksi, ia bekerja berjualan dari rumah dengan melayani pemesanan-pemesanan. Kepada pendampingnya, T mengaku jika ekonomi keluarganya mulai stabil saat dia ikut membantu mencari nafkah dengan berjualan roti. Sesekali ia juga mengalami turun semangat dengan mengeluh namun secara garis besar, T telah berhasil mengatasi masalah hidup, trauma dan persoalan ekonomi yang menjeratnya. T telah merdeka dari rasa khawatir, cemas, dan kesedihan-kesedihan. Ia telah menjadi perempuan kuat dengan dukungan keluarga, komunitas dan pemangku kebijakan (Dinsos dan RSJ).

Lain lagi bagi R, perempuan difabel mental  korban kekerasan seksual dengan pelaku ayah kandungnya. Kasus yang mencuat beberapa tahun lalu namun tidak diproses secara litigasi dan hanya berakhir pada perceraian orangtua R, tidak selesai begitu saja. R yang sudah putus sekolah semakin  menunjukkan gejala yang berat terkait skizofrenia yang dialaminya. Ia pernah dirawat inap hingga beberapa kali di rumah sakit jiwa. Setelah pulih dan bergabung dengan komunitas ia kemudian mendapatkan layanan konseling dan beberapa kali mengikuti pelatihan keterampilan. Namun lagi-lagi ia mengalami relaps/kekambuhan yang membuat dia tidak betah tinggal di rumah. R bahkan sering diajak turut bekerja di tempat kerja ibunya. Namun ini pun tidak memecahkan masalah. Si Ibu yang menjadi tukang punggung perekonomian keluarganya kemudian memasukkan R ke panti karena merasa sudah tidak mampu lagi mengasuh R sebab harus bekerja. R terpaksa dititipkan untuk  tinggal di panti.  Oleh pihak panti, R sempat dititipkan ke sebuah pondok pesantren namun hanya bertahan sebulan. Pondok pesantren kembali menyerahkan R ke panti. Seperti yang dialami oleh R, sulit kiranya menyebut bahwa ia telah berhasil merebut kemerdekaan. Sepertinya  kata "merdeka" masih jauh dari angan dan harapan R. (ast)