SAPDA Apresiasi 65 Pengadilan Inklusif Ramah Disabilitas

Penilaian: 5 / 5

Aktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan Bintang
 

Yayasan Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) memberikan apresiasi kepada 65 pengadilan di Indonesia yang memiliki komitmen untuk menjadi inklusif dan ramah bagi penyandang disabilitas. Apresiasi diberikan melalui kegiatan Diseminasi Hasil Pemantauan Pengadilan Inklusif yang dilaksanakan bersama Mahkamah Agung RI didukung Pemerintah Australia melalui program Australia-Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2) pada Senin (7/8).

SAPDA telah melakukan pemantauan kepada 65 pengadilan menuju inklusif, terdiri dari 21 pengadilan dari lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) pada tahun 2021, disusul 44 pengadilan dari lingkungan peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan militer pada tahun 2022. Pemantauan ini dilakukan sebagai tindak lanjut pasca pendampingan teknis SAPDA kepada pengadilan berkaitan dengan penyediaan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum.

Direktur Yayasan SAPDA Nurul Saadah Andriani dalam sambutannya mengatakan, bahwa capaian dilaporkan sebagai bentuk pertanggungjawaban kerja SAPDA kepada publik, sebagai lembaga masyarakat yang melakukan advokasi pengadilan inklusif. SAPDA ingin memberikan apresiasi terhadap pengadilan yang telah bekerja keras untuk mewujudkan pengadilan inklusif melalui berbagai upaya yang membutuhkan pengorbanan waktu dan sumber daya.

Pemantauan ini telah merekam berbagai upaya perbaikan yang dilakukan oleh pengadilan untuk mendukung pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas, baik dalam hal sarana prasarana maupun layanan. Dalam hal sarana prasarana, keseluruhan 65 pengadilan telah melakukan upaya penyediaan infrastruktur yang mudah diakses oleh penyandang disabilitas.

Menurut hasil pemantauan, penyediaan sarana prasarana masih lebih banyak berpusat pada ruang pelayanan dibandingkan bagian luar pengadilan maupun ruang persidangan. Kendati begitu, capaian ini menjadi langkah awal yang baik karena pengadilan telah berupaya memastikan aksesibilitas di tengah keterbatasan anggaran dan referensi, serta hambatan geografis

Sementara  itu dalam hal layanan, mayoritas 53 dari total 65 pengadilan telah memiliki seluruh atau sebagian standar pelayanan bagi kelompok rentan (penyandang disabilitas, perempuan, dan anak). Seluruh 65 pengadilan tersebut juga telah berupaya meningkatkan layanan dengan menjalin kerjasama dengan organisasi disabilitas, layanan Juru Bahasa Isyarat, layanan pendamping disabilitas, layanan kesehatan dan psikolog/psikiater, maupun pihak lain yang bergerak dalam perlindungan hak penyandang disabilitas.

Selain itu,keseluruhan 65 pengadilan juga telah memberikan akses peningkatan kapasitas tentang ragam, hambatan dan kebutuhan penyandang disabilitas bagi para aparaturnya.

Hasil pemantauan menunjukkan, peserta pelatihan didominasi oleh petugas PTSP yakni 37%, disusul oleh hakim 23%, panitera 17%, petugas keamanan 14% dan petugas teknologi informasi 9%. Di samping itu, sebanyak 11 pengadilan turut membuka ruang afirmasi bagi penyandang disabilitas untuk bekerja sebagai aparatur pengadilan.

Pengadilan yang inklusif merupakan bagian dari hak penyandang disabilitas yang harus dipenuhi. Pasal 9 huruf f Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas telah mengamanatkan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak untuk mendapatkan aksesibilitas dalam proses peradilan.

Mandat tersebut telah diturunkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak bagi Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan. Mahkamah Agung melalui Direktorat Badan Peradilan juga telah menindaklanjutinya dengan menerbitkan Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Ramah Penyandang Disabilitas di Pengadilan.

 

Hadirkan Ketua Mahkamah Agung

Kegiatan yang diselenggarakan oleh SAPDA turut menghadirkan Ketua Mahkamah Agung Muhammad Syarifudin. Perwakilan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum, Peradilan Agama, serta Peradilan Militer dan Tata Usaha Negara untuk memberikan tanggapan atas temuan-temuan pemantauan. Representasi organisasi penyandang disabilitas dari beberapa daerah turut menanggapi upaya-upaya pemenuhan akomodasi yang layak yang telah dilakukan oleh pengadilan.

Rani Mei Lestari, Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Kota Bekasi sebagai salah satu penanggap mengatakan, “Soal aksesibilitas fisik, kami pegiat disabilitas telah berupaya menyampaikan dan menyosialisasikan apa yang menjadi kebutuhan kami. Lambat laun, sudah banyak peningkatan aksesibilitas yang memudahkan kami. Namun, akomodasi yang layak bukan hanya tentang aksesibilitas fisik. Juga sangat dibutuhkan aksesibilitas non fisik, seperti pelayanan, administrasi dan bantuan hukum yang mudah diakses.”

Berdasarkan temuan-temuan pemantauan, SAPDA memberikan rekomendasi kepada Mahkamah Agung untuk:Mengalokasikan anggaran bagi pengadilan-pengadilan yang belum pernah mendapatkan dukungan pendanaan dalam proses penyediaan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas. Juga agar melakukan pemerataan akses peningkatan kapasitas terkait isu disabilitas bagi seluruh sumber daya manusia aparatur pengadilan mulai dari petugas pelayanan, hakim, panitera, keamanan, termasuk teknologi informasi. Terakhir adalah melakukan pemantauan dan evaluasi kepada pengadilan yang berkomitmen menjadi inklusif dengan melibatkan organisasi penyandang disabilitas.

SAPDA juga memberikan rekomendasi kepada pengadilan-pengadilan di Indonesia untuk: Memperluas kerjasama dengan organisasi sipil, lembaga layanan, profesi dan pemangku kepentingan lain yang dapat mendukung pemenuhan hak penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum. Terus melanjutkan dan meningkatkan upaya-upaya pemenuhan akomodasi yang layak secara merata dari halaman pengadilan, ruang pelayanan, hingga ruang persidangan dengan mempertimbangkan masukan dari kelompok penyandang disabilitas. (ast)