SAPDA Luncurkan Catahu KBGD 2022

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Yayasan Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak (SAPDA) meluncurkan Catatan Tahunan Kekerasan Berbasis Gender dan Disabilitas Tahun 2022 (Catahu KBGD 2022) dalam rangka merayakan hari ulang tahun ke-18 lembaga SAPDA. Catahu mengangkat tajuk “Akomodasi yang Layak: Antara Angka dan Realita”, sesuai dengan highlight utama dari temuannya. Kegiatan ini berlangsung dengan dukungan Pemerintah Australia melalui program Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2).

Catahu KBGD 2022 ini disusun dengan kolaborasi antara SAPDA bersama 26 lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat dan pemerintah dari 12 provinsi di Indonesia, dan berhasil mendokumentasikan 81 kasus Kekerasan Berbasis Gender dan Disabilitas (KBGD) yang terlaporkan sepanjang tahun 2022. Hasil pencatatan menemukan KBGD paling banyak terjadi pada korban dengan ragam disabilitas rungu-wicara sebanyak 31 kasus, disusul ragam disabilitas intelektual sebanyak 22 kasus dan ragam disabilitas mental sebanyak 14 kasus. Catahu juga mencatat berbagai praktik baik pemenuhan akomodasi yang layak oleh lembaga penyedia layanan, yang bisa menjadi referensi bagi terselenggaranya pemenuhan dan perlindungan hak-hak penyandang disabilitas korban kekerasan.

“Catatan Tahunan KBGD 2022 telah menghimpun berbagai pembelajaran penting dari praktik baik pemenuhan akomodasi yang layak oleh berbagai lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat dan pemerintah di Indonesia. Ini menjadi PR bersama yang perlu kita kawal secara teknis di semua wilayah di Indonesia, sebagai bentuk komitmen implementasi atas UU Disabilitas, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan berbagai regulasi lainnya,” ungkap Direktur SAPDA Nurul Saadah Andriani dalam sambutannya.

Catahu KBGD 2022 turut mendapati bahwa hampir setiap korban mengalami setidaknya dua hingga empat bentuk kekerasan sekaligus. Apabila melihat dari jenis kekerasan yang dialami korban, Catahu mengidentifikasi 140 bentuk kekerasan terjadi kepada penyandang disabilitas. Jenis kekerasan berbasis disabilitas menempati posisi tertinggi yakni 39 kasus, disusul kekerasan seksual-perkosaan sebanyak 18 kasus dan kekerasan psikis dalam rumah tangga sebanyak 15 kasus.

Catahu KBGD 2022 juga memotret kerentanan berlapis di balik situasi kekerasan pada penyandang disabilitas. Menurut olah data Catahu, korban kebanyakan adalah perempuan dan anak, memiliki tingkat pendidikan yang rendah, dalam kondisi miskin, tanpa pekerjaan atau penghasilan yang tetap, dan menyandang berbagai kondisi lain yang membuatnya rentan mengalami kekerasan. Situasi ini diperburuk dengan minimnya dukungan keluarga dan lingkungan, dimana mayoritas kekerasan terjadi pada ranah privat dengan pelakunya justru berasal dari orang terdekat yang seharusnya memberikan perlindungan.

Sementara itu, terkait dinamika dalam pemenuhan Akomodasi yang Layak sebagai bagian dari hak penyandang disabilitas korban kekerasan, Catahu menemukan dari total 81 kasus, 75 penyandang disabilitas korban kekerasan telah mendapatkan pemenuhan akomodasi yang layak ketika mengakses layanan. 5 korban tidak terpenuhi akomodasi yang layak, sedangkan 1 kasus tidak teridentifikasi.

Meskipun secara kuantitatif hampir semua penanganan kasus telah memberikan akomodasi yang layak di dalam prosesnya, di balik angka tersebut, Catahu KBGD 2022 merekam bahwa upaya pemenuhan akomodasi yang layak masih menemui berbagai hambatan dan tantangan, seperti sarana prasarana yang belum sepenuhnya aksesibel, tidak adanya rumah aman yang mudah diakses bagi disabilitas, dan layanan kesehatan yang belum memadai.

Hambatan terbesar salah satunya juga disebabkan oleh ketiadaan penilaian personal, baik dalam penanganan kasus di level internal lembaga maupun saat kasus dirujuk antar lembaga. Alih-alih dilakukan penilaian personal, informasi tentang kondisi kedisabilitasan korban sering kali sebatas disampaikan secara verbal. Proses penilaian personal juga tak jarang menutup ruang partisipasi bagi penyandang disabilitas, dimana otoritas untuk menentukan kondisi, hambatan dan kebutuhan korban justru semata diberikan kepada ahli. Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan kebutuhan khusus penyandang disabilitas tidak teridentifikasi secara penuh, sehingga pemenuhan akomodasi yang layak sulit berjalan optimal dan proses peradilan menjadi terhambat.

Minimnya perspektif isu disabilitas juga memberikan tantangan tersendiri, terlihat dari masih adanya kewajiban Juru Bahasa Isyarat untuk bersertifikat, belum adanya metode pemeriksaan yang ramah bagi korban dengan hambatan mental dan intelektual, masih digunakannya sterilisasi dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap korban disabilitas kejiwaan, serta berbagai pendekatan penanganan kasus lainnya yang belum mengedepankan pemberdayaan dan pemenuhan hak disabilitas.

Lebih lanjut, berbagai kebijakan yang ada juga terlalu mengedepankan syarat administratif dan belum sensitif terhadap hambatan penyandang disabilitas. Misalnya, masih ada penyandang disabilitas korban KBGD yang harus berkali-kali melakukan laporan berulang di kantor kepolisian yang jaraknya sangat jauh dari tempat tinggalnya. Terdapat pula korban yang harus melalui rumitnya proses birokrasi untuk memperoleh hak restitusi. Situasi ini bukan hanya menghambat korban dalam proses penanganan kasus, tetapi secara tidak langsung juga berdampak pada penundaan pemenuhan hak-haknya.

Webinar ini menghadirkan beberapa institusi untuk menanggapi temuan Catatan Tahunan KBGD 2022 yakni Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komisi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Komisi Nasional Disabilitas, dan Forum Pengada Layanan. Perwakilan aparat penegak hukum turut hadir memberikan tanggapan, yakni Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI, Pokja Akses Keadilan Kejaksaan Agung RI, Pokja Perempuan, dan Anak Mahkamah Agung RI.

Sinergitas antara lembaga layanan dan aparat penegak hukum sangat penting untuk mewujudkan layanan penanganan kasus yang lebih berperspektif disabilitas. Penyidik, organisasi pendamping disabilitas, psikolog, psikiater ataupun tenaga medis lainnya perlu saling berkolaborasi menghadirkan pemeriksaan terpadu sesuai hambatan dan kebutuhan khusus penyandang disabilitas korban kekerasan. (ast)