Perjuangan tentang keadilan dan kesetaraan gender di dunia yang patriarki adalah sangat sulit. Wacana itu terlebih lahir saat dikemukakan dengan perspektif agama yakni Katolik, namun Nunuk Prasetyo Murniati begitu tegar ketika menyampaikan pemikirannya terkait prinsip keadilan dan kesetaraan gender. Demikian dikatakan oleh Bambang Muryanto selaku moderator saat membuka diskusi buku biografi Nunuk Prasetyo Murniati karya Masthuriyah Sa'dan di Institut DIAN/Interfidei. Acara ini juga disiarkan oleh kanal YouTube Interfidei.
Masthuriyah sebelumnya sudah menulis tiga buku salah satunya tentang transgender. Lalu ia menulis sosok Nunuk, seorang teolog tingkat Indonesia bahkan dunia dan akademisi di kampus berbasis Katolik. Nunuk juga penulis 32 judul buku dan jurnal, aktivis, pendamping dan konselor. Karena secara budaya ia masih dikultuskan sebagai perempuan, istri dan ibu, pada diri Nunuk Murniati, ia perempuan yang utuh.
Masthuriyah membagikan pengalaman pertama kali saat masuk ke gereja yakni pada tahun 2014 dan waktu itu bersama Nunuk. Salah satu alasan menulis tentang Nunuk karena ada ikatan batin. Tujuannya menulis adalah untuk mendokumentasi pengetahuan perempuan karena buku-buku tentang pengetahuan perempuan saat ini sangat minim.
"Saya ingin memperkenalkan kepada generasi muda. Komunitas saya orang Madura belum tentu kenal Bu Nunuk. Laku hidupnya agar bisa menjadi inspirasi bagi kaum muda feminis. Agar sejarah peradaban manusia Indonesia tidak lapuk. Sebagai salah satu cara media keadilan dan kesetaraan perempuan,"ujar Masthuriyah. Ia menambahkan jika aktivis yang aktif menulis selama ini tidak dianggap padahal aktivitas menulis itu juga aktif.
Setelah persetujuan untuk menulis diiyakan, Masthuriyah kemudian mengajukan kerangka dilanjut wawancara dengan durasi 2-3 jam. Ini jadi tantangan buatnya sebab wawancara dilakukan sebanyak 13 kali mulai Desember 2021 hingga Juni 2022.
Terkait penggalian data, hampir tulisan tulisan Nunuk tahun 1970 mengkritik otoritas gereja. Ia kemudian meminta izin kepada para leluhur yang bisa ia katakan sebagai metode ruhani untuk menyampaikan maksud. Ia juga melakukan mewawancarai teman/informan sebanyak 12 orang .
Metode penulisan buku dengan memakai kata ganti "saya" dengan maksud agar pembaca bisa lebih mendalami tulisan itu secara khusus seolah-olah tokohnya yang bicara. Penulis dengan tokok serasa dekat. Naskah penulisan juga diserahkan ke tokoh untuk perbaikan. Total lama waktu yang dibutuhkan oleh Masthuriyah untuk menuliskan buku ini sekitar 18 bulan.
Sistematika penulisan diawali dengan membikin pohon keluarga yang ternyata Nunuk masih memiliki darah Diponegoro. Ketika Masthuriyah menulis Bab 8, ia ingin ada kontributor dari tokoh agama katolik namun tokoh yang diincarnya kurang berkenan sebab terkait kesetaraan, masih belum ada perspektif di Teolog Katolik.
Menutup sesinya, Masthuriyah mengatakan untuk menghadirkan buku ini tidaklah mudah sebab menggunakan dana mandiri dan dicetak terbatas. Laba dari penjualan dari buku tokoh multidimensi ini akan digunakan untuk kegiatan sosial.
Listia Suprobo, Dosen UGM yang hadir dalam diskusi menyatakan bahwa terbitnya buku biografi Nunuk P. Murniati adalah sebuah prestasi karena penulis dengan latar belakang yang berbeda berhasil menerbitkan satu buku. Artinya perbedaan identitas bukan penghalang ketika visi itu bertemu. Masthuriyah dan Nunuk sama-sama suka ziarah kubur. Buku ini menurutnya adalah pernyataan bahwa sebagian gerakan perempuan dan masalah- masalah kemanusian lainnya tidak dapat diidentifikasi oh ini urusan Katolik, maka urusan Katolik begitu dan itu bagian Islam, maka bagian Islam adalah begini. Masalah kemanusiaan tidak bisa lagi di kapling-kapling itu jadi urusan ini, itu jadi urusan siapa.
Kedua, Nunuk memberikan tema, bahwa feminisme itu tidak satu alias tidak tunggal.
Bahwa ada tanggapam soal Nunuk mencium tangan Paus, atau saat Nunuk menangis dan menimbulkan satu pemikiran, "feminis kok nangis". Melihat perkembangan feminisme, menurut Listia maka mereka memiliki perkembangan konteks masing-masing. Dalam hal ini konteks masyarakat sekuler dan relijius ternyata berbeda. Mau tidak mau itu harus diakui sebagai keragaman. Bahwa di sini ada keragaman dan harus di-highlight dalam rangka menjaga persatuan.
Sementara feminisme yang berkembang di Indonesia dianggap itu bukan hal penting. Padahal yang suci diturunkan dan hal nilai dan norma. Meskipun itu semua memiliki tujuan ingin memutus jejaring kekuasaan yang sentris. Ada perbedaan yang harus diterima. Salah satunya juga ketika Masthuriyah minta izin penulisan buku ini sampai naik gunung untuk berziarah kepada leluhur Nunuk. Cara ini bisa dianggap tidak masuk akal jika dilihat dari filsafat moderen. Namun dalam kajian ilmiah, itu bisa didiskusikan.
Feminis adalah "Berani"
Mengawali cerita, Nunuk mengatakan bahwa feminis di waktu ia masih muda diartikan dengan 'berani". Saat usianya 8 tahun ia memiliki tetangga namanya Mbok Sastro. Ia sering melihat Mbok Sastro dipukuli oleh suaminya sampai berdarah-darah namun diam saja. Tidak ada yang membantu lalu Nunuk keluar rumah dan namanya dipanggil.
Menurut Nunuk, ternyata dalam agama ada kesadaran perempuan ada pandangan misoginis bahwa laki-laki lebih superior dari inferior. Ia menyebut dalam agama Katolik ada second sex. Ia mengajar teologi feminis dan tahu bahwa ada perbedaan, tetapi masalahnya mengapa dibeda-bedakan.
Waktu Nunuk mengajar di seminari ada pastor menyuruh mahasiswa yang diampunya untuk menulis dan itu berat apalagi terkait bahwa laku mistik itu ada. Dalam hal ini mistik itu terjadi. "Ilmu pengetahuan itu mengabaikan misteri. Misteri itu ada,"terang Nunuk. (Ast)