Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Ombudsman RI menyatakan bahwa pihaknya telah siap mendengar perspektif provinsi, kabupaten dan kota. Juga ada anggota DPR yang memberikan tanggapan dan update proses terkait RUU Kesehatan.
Bicara otonomi dan desentralisasi adalah bicara arena pengambilan keputusan. Yakni pada level mana arena pengambilan keputusan politik, anggaran dan sebagainya. Dalam Undang-undang Pemda yakni nomor 23 Tahun 2012, arena pengambilan keputusan ada di tingkat pusat, provinsi dan tingkat kabupaten kota berupa panduan tentang NIPK dan ketentuan SPM yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Dalam konteks itu bisa dilihat apakah soal arena pembuatan keputusan sudah diatur dengan jelas atau tidak di aturan rancangan undang-undang (RUU Kesehatan). Di tingkatan mana yang jadi titik berat. Cara menilai di level mana area pengambilan keputusan dilakukan dengan menjawab pertanyaan apa yang diurus dan siapa yang mengurus tersebut.
RUU Kesehatan ini di pasal 6-14, adalah pasal tentang tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah, tidak ditemukan soal pembagian yang jelas apa yang diurus dan siapa yang berwenang atas urusan apa. Semua pasal itu menulis tentang tanggung jawab bersama. Dalam doktrin tanggung jawab, kita tidak mengenal tentang tanggung jawab bersama karana kalau kolektif makin kabur.
Di pasal lain terselip sebuah harapan dan upaya arus balik resentralisasi terhadap sejumlah isu/hal. Salah satu ciri penyusunan undang-undang dengan teknik legislasi Omnibus adalah standarisasi dan resentralisasi. Ini yang pernah dilihat di UU Ciptaker dan yang ada di RUU ini sepertinya ke arah itu.
Terkait Surat Izin Praktik Dokter. Kita tahu hari ini dokter diwajibkan untuk meniliki Surat Izin Praktik tetapi di daerah masih ada dokter yang tidak punya SIP dan tentu sangat berbahaya terkait syarat hukum bagi pengguna layanan dan pastinya akan memengaruhi layanan.
Alasannya macam-macam karena cukup lama kerja di rumah sakit dan ada yang bilang SIP harus memenuhi berkas dan dengan syarat tidak mudah.
Penetapan kuota terkait tenaga medis dan kesehatan yang hari ini ada di tingkat daerah akan diambil pusat di RUU ini. Kemudian timbul pertanyaan, lalu siapa yang tahu kebutuhan daerah? Termasuk rasio dan jumlah penduduk.
Ini isu krusial. Kalau rasio diambil pemerintah pusat maka akan ada implikasi tersendiri. Lalu ada isu pembiayaan. Perlu antisipasi persoalan besar atas
wabah besar pandemi COVID-19. Awal pandemi demikian bikin tergagap.
Terus bagaimana saat terjadi penyakit gagal ginjal pada anak beberapa waktu lalu? Siapa yang bertanggung jawab? Sebab dinas kesehatan bukan cabang dari kementaerian kesehatan. Jadi mana isu yang bisa diselesaikan secara oleh pemerintah daerah secara desentralisasi dan mana yang dilakuan oleh pemerintah pusat/sentralisasi? Kalau ada terjadi dalam mal administasri pelayanan siapa yang bertanggung jawab misalnha ada tindakan hukum.
M. Alfan, Asisten Ombudsman RI salah seorang narasumber mempertanyakan bagaimana RUU Kesehatan ini menjawab desentralisasi yang sudah berjalan dan bagaiamana ke depan?
Afan menguraikan lima isu utama : kelembagaan, SDM, pembiayaan, pelayanan dan pengawasan. Kelembagaan misalnya desentralisasi kesehatan, untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat.
Ia menambahkan tidak meratanya layanan kesehatan, adanya kesenjangan fasilitas dan sumber daya. Masih lemahnya pengawasan dan tidak ditunjang fasilitas yang tidak memadai.
Pasal 54 UU nomor 36 tahun 2009 menyebut bahwa Pemerintah daerah bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Pemerintah Daerah juga bertanggung jawab melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan.
Sedangkan pasal 6 dan 7 RUU Kesehatan : Penerintah Daerah bertanggung jawab merencanakan,mengatur, penyelenggaraan upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, merata dan terjangkau oleh masyarakat. Pemerintah daerah bertanggung jawab meningkatkan dan mengembangkan upaya kesehatan dalam rangka meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan.
Afan menambahkam ada 211 kata yang menyebut pemerintah daerah dan 212 kali pemerintah pusat disebut sehingga sangat berimplikasi terhadap tugas dan fungsi pelaksanaan pemerintah daerah.
"Jadi konsen penting memiliki kejelian bagaimana RUU Kesehatan ke depannya,"ujar Afan. (Ast)