Siaran KBR : Kurikulum Merdeka Diterapkan Tahun Depan?

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Pada siaran Ruang Publik KBR bersama Naomi tentang Kurikulum Merdeka yang rencananya akan dijadikan kurikulum nasional oleh pemerintah di tahun depan yakni 2024, dikatakan bahwa Menteri Pendidikan Nadiem Makarim yakin bahwa dengan Kurikulum Merdeka, guru bisa lebih berinovasi dan bebas tidak terikat lagi dengan aturan yang kaku. Namun di sisi lain, infrastruktur dan juga kualitas guru masih jauh dari kata siap.

Harapan membawa pendidikan ke arah lebih baik justru dipertanyakan. Lalu apa yang harus diperbaiki dari kurikulum di Indonesia?
Siaran Ruang Publik KBR mengundang Iman Zanatul Haeri, dan mempertanyakan bagaimana dampak pembelajaran di masa COVID-19.


Di masa pandemi dunia pendidikan mengalami kondisi sulit bahwa anak-anak mengalami apa yang disebut learning lost atau kehilangan pembelajaran, akhirnya kurikulum yang lama yakni 2013 disederhanakan. Dari yang diajarkan tersebut paling  esensial yakni disebut kurikulum darurat. Iman dan para guru lainnya memaklumi karena bersifat presentis namun kemudian setelah pandemi, publik dikenalkan juga dengan istilah generasi COVID. Anak-anak yang belajar online dianggap melompat misalnya ia masuk SD atau SMP kemudian mengalami pembelajaran masa COVID lalu lulus. Mareka diragukan karena tahu-tahu belajar daring, tahu-tahu lulus. Intinya selama tiga tahun mengalami perubahan secara massal dan masif,merupakan migrasi luar biasa, guru dan murid masuk dunia digital dengan risiko: learning lost hingga 60%. Mereka kurang nyaman belajar karena banyak daring.

Kemudian tahun 2021 direncanakan akan ada asesmen nasional namun para guru tidak setuju karena semua kualitas menurun : guru tidak ke sekolah, murid juga. Kemudian dites, hasilnya tentu bisa ditebak, sangat rendah. Tantangan yang berat kondisi tiga tahun ini.

Lalu ada pertanyaan apakah tujuan kurikulum merdeka untuk mengejar ketertinggalan kurikulum 13?
Iman Zanatul Haeri, yang juga Kabid Advokasi Guru P2G menjawab bahwa harus belajar dulu tentang sejarah bahwa Kurikulum Merdeka konsep yang direplikasi dari KiHajar Dewantara. Kurikulum ini pernah diujicobakan di sebuah sekolah di Jakarta. Uji coba memang berhasil, bonafit, dan berbiaya mahal. Kurikulum ini juga ada yang megatakan awalnya adalah merek dagang yang kemudian dipasrahkan oleh Kemendikbud.

Namun ketika bicara urgensi, kurikulum ini sebenarnya sudah hendak dilaksanakan sebelum pandemi dan disebut kurikulum sekolah penggerak. Jadi akan diterapkan di beberapa sekolah yang dipilih. Namun karena adamya pandemi, dipakailah kurikulum darurat.

Pihak Iman telah meneliti urgensi. Sebab untuk perubahan kurikulum perlu waktu yang panjang, dan penelitian yang tidak sebentar, serta butuh sosialisasi. Kurikulum Merdeka adalah sesuatu yang sangat signifikan, pada dasarnya memilih pengetahuan apa saja yang dapat diajarkan di aekolah.
Kalau dipaksa dilaksanakan saat pandemi nemang belum layak diajarkan tetapi pasca pandemi boleh didiskusikan.

Lalu bagaimana kurikulum yang tepat dan seperti apa? Menurut Iman adalah kurikulum yang menghimpun persoalan- persoalan di lapangan. Problem- problem murid dan guru yang di sekolah dibawa dipelajari dan persoalan tersebut lalu dihimpun dan dijawab dengan kurikulum.

Kalau kurikulum merdeka, adalah kurikulum yang sudah jadi lalu dipaksakan. Dan ketika ada masalah baru direvisi. Malah menimbulkan masalah baru. Mestinya menyelesaikan persoalan-persoalan di lapangan. Jadi problem solving di daerah.

Tahun 2024 adalah tahun politik. Meski Kemendikbud menyatakan bahwa kurikulum ini akan dipakai terus. Iman berharap dengan memberikan saran agar segera dievaluasi apakah kurikulum ini hanya akan dievaluasi atau diganti. Menurutnya pemerintah semestinya membikin kebijakan publik by riset bukan anggapan/asumsi.
Penggunaan aplikasi Merdeka Nelajar harus dihargai agar sosialisasi lebih cepat, mesti dilihat juga bagaimana guru dan murid mengakses internet?
Lagian, daerah luar Jawa masih butuh buku. Kalau pelatihan disuruh lewat internet lama perubahannya.

Timbul pertanyaan apakah mungkin Indonesia mengembangkan kurikulum yang berbasis regional? (Ast)