RUU Kesehatan Diskriminatif

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Meski  sudah menjadi usul inisiatif DPR, RUU Kesehatan masih menyisakan berbagai catatan. Salah satu yang  menjadi perhatian dari Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) dan Koalisi Organisasi Penyandang Disabilitas adalah ketentuan dalam Pasal 135, draft RUU Kesehatan per 7 Februari 2023, yang menyebutkan:

Ayat (1) “Dalam rangka pengadaan pegawai atau pekerja pada perusahaan/instansi harus dilakukan pemeriksaan Kesehatan baik fisik maupun jiwa, dan pemeriksaan psikologi.”

Ayat (2) “Hasil pemeriksaan kesehatan dan pemeriksaan psikologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan kelulusan dalam proses seleksi.”

Ayat (3) “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Ketentuan Pasal 135 tersebut berpotensi membebani pemberi kerja dan calon pekerja/pegawai; bersifat diskriminatif karena melanggar hak atas pekerjaan dan hak atas Akomodasi Yang Layak (AYL) bagi penyandang disabilitas. Hal ini bertentangan dengan upaya pemerintah dalam menciptakan dunia kerja yang inklusif; dan berpotensi bertentangan pula dengan ketentuan dalam UUD 1945 dan ketentuan undang-undang  lainnya.

Selain itu, Ketentuan Pasal 135 menjadikan RUU Kesehatan justru akan menegasikan peran Negara sebagai pengemban kewajiban dalam memberikan pelindungan hak terhadap warga negara. Undang-undang dibuat seharusnya menjadi alat bagi pemerintah menjalankan peran Negara, bukan sebaliknya.

Pada Pasal 135 ayat (1) RUU Kesehatan yang mengharuskan pengadaan pegawai atau pekerja melakukan pemeriksaan kesehatan fisik dan jiwa akan menambah beban kepada pemberi kerja. Seharusnya pemeriksaan kesehatan tetap menjadi opsi, karena pemeriksaan dalam praktiknya membutuhkan biaya. Bahkan bukan tidak mungkin biaya itu justru dibebankan kepada calon pekerja.

Pada Pasal 135 ayat (2) RUU Kesehatan bersifat diskriminatif karena kondisi kesehatan seseorang diperintahkan untuk menjadi dasar penetapan kelulusannya dalam seleksi. Hal itu menunjukan bahwa RUU Kesehatan tidak menginginkan seseorang yang sakit untuk mendapatkan pekerjaan.

Padahal UUD NRI 1945 sudah menjamin hak atas pekerjaan bagi setiap warga negara Indonesia tanpa terkecuali termasuk bagi mereka yang sedang memiliki penyakit, yaitu dalam Pasal 28D ayat (2) yang menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja” dan Pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945 yang menjamin bahwa “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”

RUU Kesehatan seharusnya menjadi peraturan yang mampu mengelaborasi pelindungan terhadap hak atas pekerjaan yang tercantum dalam Konstitusi tersebut. Selian itu, informasi mengenai kondisi kesehatan pekerja atau pegawai seharusnya menjadi dasar bagi pemberi kerja untuk memberikan serangkaian dukungan agar pekerja taau pegawai tersebut dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik, bukan justru menjadi alasan untuk membuatnya tidak lolos seleksi.

Pemerintah melalui RUU Kesehatan seharusnya dapat melindungi seseorang yang sedang menderita suatu penyakit untuk mendapatkan pekerjaan, agar seseorang itu memiliki penghasilan dan dapat berobat dengan baik. Atau bahkan aspek kesehatan seharusnya tidak menjadi faktor dalam seleksi pekerjaan karena sudah dipastikan pengobatannya dijamin oleh Negara, baik melalui skema asuransi atau difasilitasi oleh pemberi kerja.

Pada lingkup ketentuan mengenai kepegawaian, Pasal 135 ayat (2) bertentangan dengan Sistem Merit yang diterapkan, yaitu kebijakan dan manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN) yang dilakukan berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar. Artinya  aspek kesehatan tidak dapat menjadi dasar penilaian untuk menentukan kebijakan dalam manajemen ASN, termasuk dalam proses seleksi.

Bahkan dalam ketentuan mengenai Manajemen ASN (Pasal 92 ayat (1) huruf a) dan Manajemen PPPK (Pasal 106 ayat (1) huruf a) diatur mengenai perlindungan bagi ASN dan PPPK berika jaminan kesehatan. Oleh karena itu ketentuan Pasal 135 ayat (2) RUU Kesehatan berpotensi bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tsal 135 ayat (2) juga termasuk dalam kebijakan yang diskriminatif.

Penyandang Disabilitas menjadi bagian dari warga negara Indonesia yang berpotensi tidak mendapatkan pekerjaan apabila Pasal 135 ayat (2) RUU Kesehatan diterapkan, karena dalam perspektif kesehatan kondisi disabilitas sama dengan adanya gangguan pada kesehatan fisikatau mental seseorang. Pasal 11 huruf a UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sudah menjamin bahwa Penyandang Disabilitas berhak memperoleh pekerjaan. Sebagai pelaksanaannya, informasi mengenai kondisi hambatan seseorang bukan dijadikan alasan untuk melarangnya untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi menjadi dasar pemberi kerja untuk dapat menyediakan Akomodasi Yang Layak sebagai bentuk fasilitasi atau dukungan bagi penyandang disabilitas yang bersangkutan untuk melaksanakan pekerjaannya (Pasal 50 ayat (1) UU Penyandang Disabilitas). (ast)