Dampak KUHP Terhadap Hak Informasi dan Berekspresi serta Pasal Multitafsirnya (1)

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

KUHP akhirnya resmi disahkan menjadi Undang-Undang setelah ditandatangani Presiden Joko Widodo  pada  2 Januari 2023. Sejumlah akademisi dan sebagian masyarakat menyuarakan kritik atas pengesahan KUHP baru dengan alasan masih memuat pasal-pasal antidemokrasi. Pasal-pasa tersebut juga berpotensi mengancam kebebasan berekspresi. Demikian pula pernyataan Dewan Pers bahwa jurnalis rentan dikriminalisasi dengan pasal-pasal yang multitafsir. Lalu apa dampak KUHP bagi komunitas jurnalis dan media serta apa dampaknya bagi publik yang memiliki hak atas informasi dan berekspresi?

Dalam siaran radio KBR yang disiarkan lewat YouTube @BeritaKBR, host Naomi menghadirkan Ade Wahyudin, Direktur LBH Pers, Towik Manajer Program Sejuk, dan Lutfiana Dwi Mayasari Kontributor Mubadalah.id. Sebagai media yang didirikan oleh para jurnalis dengan misi membumikan jurnalis dengan pemberitaan tentang toleransi, Towik menyayangkan terbitnya KUHP yang baru yang masih memuat pasal-pasal multitafsir. Menurutnya ini kemunduran demokrasi. Sejuk bersama kawan jaringan sebenarnya sudah mengadvokasi KUHP sejak rancangannya. “Ini matinya kebebasan berekspresi dan berpendapat masyarakat karena KUHP sangat membatasi, kalau dilihat pasal-pasalnya yang selama ini didorong untuk bisa direvisi oleh DPR RI tapi ternyata pasal-pasal itu masih tetap disahkan,”ungkapnya.

Towik menambahkan bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi terutama bagi kelompok minoritas menjadi semakin terbatas karena sebetulnya mereka membutuhkan ruang aspirasi yang banyak karena sering tidak mendapatkan ruang terbuka. Karena ini di era digital maka termasuk mencederai demokrasi digital. Hak-hak yang berkaitan dengan kebenaran, fakta dan kritik, tidak bisa leluasa disampaikan dan bebas diungkapkan dan ini terus menjadi alat bagi mayoritas dan penguasa untuk membungkam prinsip-prinsip yang seharusnya bisa didapatkan oleh siapapun termasuk kelompok minoritas. Lagi-lagi targetnya bisa mengkriminalisasi kelompok minoritas terutama agama dan kepercayaan yang harusnya mereka dilindungi ekspresinya, pendapatnya termasuk aktivitas keagamannya. 

Lalu bagaimana KUHP memengaruhi kerja-kerja jurnalistik? Towik menjawab yang menjadi kekhawatiran bersama karena diksi penodaan atau penistaan tidak eksplisit disampaikan di KUHP tetapi semua tahu bahwa kebencian, permusuhan, yang terkait agama adalah diksi yang sangat karet. Jadi ketika media mengangkat isu ini dan jurnalisnya mau menuliskan isu yang berkaitan dengan agama yang mungkin kontennya mengkritik, bisa pimpinan agama yang menyampaikan khotbah saat pengajian atau teolog yang menyampaikan dogma-dogma yang ingin dikritisi bisa menjadi sulit dimunculkan sebab ada sensor atau swasensor dari KUHP ini. Jadi sangat berbahaya untuk kebebasan dalam pers. 

Lain lagi pendapat Lutfiana Dwi Mayasari kontributor Mubadalah.id yang berbasis di Cirebon yang tulisan-tulisannya pada perspektif Islam dan membuka ruang pada masyarakat untuk mengirimkan tulisannya. Terbitnya KUHP menurutt Lutfiana sangat berpengaruh sebab di Mubadalah ada dua kontibutor yakni tetap dan lepas. Sejak KUHP masih rancangan, kontributor ini harus mengalami atau melalui proses review lebih panjang dari biasanya untuk memastikan konten tidak ada unsur-unsur yang menyalahi KUHP.  Karena konten kegamaan, memang ada perpsektif lain yang akan dimunculkan maka ketika perspektifnya dianggap tidak  umum akan berpotensi untuk diserang. 

Untuk para kontributor tetap, mereka  ada review bertahap dan reviewer-nya ada yang dari Dirjen Kemendagri apakah konten mereka bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila atau tidak karena amanatnya seperti itu.Apakah rujukan yang dijadikan konten menulis kredibel atau tidak. Apakah tulisan tersebut mengandung  ujaran kebencian atau tidak. “Ini seperti dua sisi mata pisau karena di satu sisi kita ingin melindungi kontributor seperti di pasal 263, 241, tapi di sisi lain kita tidak memiliki kebebasan untuk mengekspresikan. Kami pernah "ramai" atas normalisasi pelecehan seksual yang dilakukan APH terhadap anak,”jelas Lutfiana. Bahkan menurut Lutfiana, upaya yang dilakukan dengan mengubah judul agar lebih soft misalnya dengan judul "Dear Polisi, Pelecehan Seksual itu Bukan Delik Aduan."

Ade Wahyudin, Direktur LBH Pers menyatakan bahwa di KUHP yang saat ini disahkan lebih banyak mengadopsi/mengambil pasal-pasal lama yang ada di KUHP lama misalnya pasal pencemaran nama baik, penghinaan, dan informasi bohong. Dan ada satu pasal baru terkait merendahkan martabat presiden dan wakil presiden yang cukup keras ditentang juga oleh para aktivis. Dari banyaknya pasal-pasal yang multitafsir sudah banyak yang bersuara baik itu Dewan Pers atau asosiasi pers terkait dengan pasal-pasal pers, sebab disitulah potensi kriminalisasi akan terjadi. Kekhawatirannya dengan swasensor, bagaimanapun nanti jurnalis akan takut melakukan kritik untuk mengungkapkan fakta yang sebenarnya padaahal tugas jurnalis melakukan pengawasan atas jalannya pemerintahan.

Lalu apa pengaruhnya bagi kerja jurnalis? Ade menilai bahwa jurnalis itu adalah yang dia memiliki badan hukum, dan yang berbentuk perusahaan. Tetapi jurnalistik harus dipandang sebagai produknya. Dalam konteks ini misalnya media yang belum memiliki badan hukum, disinilah potensi kriminalisasi besar akan terjadi. Bagi jurnalis dari media yang punya badan hukum misalnya PT, mungkin dia masih punya UU Pers sebagai perlindungan. Di luar itu banyak jurnalis warga, pers kampus yang secara karir bagus tetapi disitulah sebenarnya dia tidak dilindungi.

 

 Pasal Multitafsir KUHP Bayangi Kebebasan Jurnalis

Bahwa jurnalistik di Mubadalah sudah direview dan banyak reviewer terlibat termasuk aparat. Ini sudah diasumsikan sebenarnya ancaman kepada jurnalis sudah ada. Menurut Towik, ancaman KUHP pun di  isu sangat sensitif sehingga misalnya jurnalis di tingkat editor bahkan pemilik media pasti akan sangat hati-hati bahkan menghindari persoalan-persolan yang mengkaitkan agama terutama ketika pandangannya atau yang akan ditulisnya itu kritis terhadap agama mayoritas atau pimpinan agama. Ini kemunduran besar bagi jurnalis media sebab seharusnya ruang ekspresi mereka yang ketika reformasi dibuka itu kebebasan persnya. Hak publik mendapatkan informasi dan fakta yang sebenarnya menjadi terbatasi berkaitan dengan kelompok minoritas . Misalnya baru saja kita dikagetkan dengan satu kelompok agama yang katanya datang dari Malaysia yang hadir sini.

Ini karena informasi yang disampaikan tidak baik di media sosial dan pihak-pihak  yang terkait dalam hal ini. Negara, FKUB, MUI dan ulama-ulama dari agama dominan akhirnya memberika stigma dan stempel kepada komunitas itu  tanpa didahului bagaimana melakukan tabayun atau klarifikasi. Media ketika mau masuk ke dalam isu-isu seperti ini pasti akan khawatir. Misalnya dalam beragama dan berkeyakinan sesuai dengan konstitusi atau sama dengan varian muslim yang lain itu pasti tidak berani karena tekanan mayoritas akan besar terhadap media itu. 

Hal sama diakui oleh Lutfiana. Sebagai kontributor di Mubadalah ia dihadapkan dengan dua pasal yang sama-sama karet. Yang satu pasal tentang jurnalistik dan kedua pasal tentang keagamaan jadi bisa kena kanan kiri (kedua-duanya). Di Mubadalah sendiri saat ini review-nya agak terbuka, maka kontributor lebih memilih menulis yang aman. Mereka tidak punya kebebasan misalnya akan membahas tentang childfree. Karena childfree lumayan ramai pembahasannya. Nah ketika pemahaman keagamaan yang diambil tidak sesuai dengan publik maka bisa dijerat pasal 24 dan di satu sisi kena pasal 301 karena jurnalis menulis agar tulisan dinilai umum melalui sarana teknologi informasi.Jadi memang akhirnya di Mubadalah modelnya kajian. Tapi judul dan tagline, orang hebat. “Jadi memang kita selalu dibayangi dua pasal tersebut,”ungkapnya.  

Dewan Pers mengatakan ada 11 pasal yang mengancam kerja-kerja jurnalistik. Pasal  218 sampai 220.  Ini tentang tindak penyerangan kehormatan presiden dan wapres. Pasal 241 mengatur penghinaan pada pemerintah dan lembaga negara Ade menambahkan bahwa pasal yang disebut di atas adalah pasal yang keras mereka tentang. Pasal itu sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) tetapi dipaksakan kembali masuk. Terkait dengan penghinaan terhadap lembaga negara, ini pun mendapat kritikan masyarakat sipil karena ini digunakan untuk mengkriminalisasi masyarakat bahkan jurnalis. Misalnya kasus orang ketilang yang waktu itu melakukan perekaman video kemudian diupload itu dianggap sebagai penghinaan sebuah lembaga. Akhirnya dia dilaporkan menggunakan pasal itu. Potensi-potensi itu akan terjadi karena pasalnya masih ada. Kalau di penghinaan itu harusnya dia terhadap orang. Tapi ini terhadap lembaga, badan hukum yang seharusnya dalam konsep hukum ini tidak dikenal. ‘Di sini saya pikir pemerintah ingin sekali mengkriminalisasi masyarakatnya. Harusnya ekspresi itu menjadi hak yang konstitusional sebagai warga negara,” ujar Ade.

Terkait Undang-undang nomor  40 tahun 1999 tentang Pers disebutkan salah satu fungsi dan peranan pers adalah pengawasan dan kontrol terhadap jalannya pemerintahan sehingga bentuk-bentuk karya jurnalistik yang keluar dari media dan perusahaan pers itu harus dianggap atau  di bawah Undang-undang Pers itu. Artinya ketika seseorang menjalankan amanat Undang-undang Pers, harusnya ia dilindungi tetapi kemudian dalam beberapa kasus terkadang pejabat dan APH terlalu kaku melihat UU Pers ini. Mereka melihat sebuah tataran administratif ketika memang yang mempublikasikan tidak memiliki badan hukum misalnya, dia langsung ini dikeluarkan dari ranah UU Pers. Padahal substansi UU Pers adalah sebuah karya jurnalistiknya. Harusnya diuji dalam konteks substansinya. Kekakuan melihat ini terlihat dalam proses hukum terutama kriminalisasi dalam kasus pers. 

Terkait pasal 300-302 yang mengatur tindak pidana terkait agama dan kepercayaan, menurut Towik mungkin penodaan agama tidak secara eksplisit dicantumkan dalam KUHP, tetapi di pasal itu, termasuk juga 304 bisa mengenai terhadap pimpinan, orang yang sedang menyampaikan hatespeech dalam khotbahnya. Umpamanya pihak yang merasa dirugikan dalam hatespeech itu menyampaikan pandangannya, nanti bisa kena juga terutama kelompok minoritas. Jadi pasal 300,. 301, 304 adalah bentuk lain dari penodaan agama yang dalam nomenklatur hukum di internasional itu sudah tidak seharusnya dipakai oleh negara-negara penganut demokrasi. Ini menjadi landasan konsepnya.

Akan menjadi kemunduran karena kalau melihat hukum atau pidananya, tentang penodaan agama  atau pertentangan, kebencian, penodaan terhadap agama/keyakinan, bisa kena 5 tahun termasuk menyiarkan dan bukan hanya kelompok minoritas, termasuk jurnalis , termasuk media. Pers sudah ada mekanisme sendiri. Harusnya tidak ke kepolisian tetapi lewat Dewan Pers tetapi karena ada pasal seperti ini maka jurnalis pun bisa kena, yang tadi disebut disensor, bisa alami tidak mengangkat isu-isu yang berkaitan ajaran keagamaan atau pandangan pimpinan keagamaan tertentu yang perlu dikritisi. Karena selain fungsi media untuk mengawasi, mengontrol kekuasaan juga untuk mengedukasi publik. Jadi fungsi edukasi menyampaikan kebenaran,informasi yang seimbang, itu bisa tereduksi karena pasal KUHP pasal 300,301 dan 304.(ast)