Praktik Sekolah Responsif Gender di Kabupaten Pemalang

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Selama kurang lebih setahun lalu, Inspirasi Foundation sudah mengimplemenasikan sebuah program yang disebut sekolah responsif gender untuk mencegah anak putus sekolah. Sebagai gambaran, ada 3.328 anak berusia sekolah (7-18 tahun) di 5 desa di 5 kecamaan Kabupaten Pemalang berpotensi putus sekolah. Demikian dikatakan Aloysius Bram, Project Officer Inspirasi Foundation dalam sesi webinar bertema tiga dosa besar dalam pendidikan, Rabu (18/1).

Pendekatan yang digunakan oleh Inspirasi Foundation pada pengarusutamaan gender dan inklusi sosial di sekolah dalam program yang diimplementasikan berbeda karena tidak langsung menyasar pada tindakan atau bentuk-bentuk kekerasan seksual,intoleransi dan perundungan. Mereka masuk ke dalam wacana anak berisiko putus sekolah. Tahun lalu Inspirasi bekerja sama dengan Unicef yang selama ini melakukan pendekatan advokasi dengan banyak pemerintah daerah di hampir seluruh wilayah Indonesia untuk melakukan pendataan anak tidak sekolah dan anak berisiko putus sekolah.

Selama ini sudah banyak yang dilakukan untuk menangani anak-anak tidak sekolah namun  untuk anak berisiko putus sekolah yang statusnya masih sekolah tetapi ada risio-risiko tertentu bagi mereka mengalami putus sekolah. Anak-anak berisiko ini yang mungkin selama ini belum diketemukan formulasi pendekatannya seperti apa untuk memastikan mereka dapat melakukan atau melaksanakan pendidikannya.

Dalam konteks program, Inspirasi menemukan empat faktor atau isu utama anak berisiko putus sekolah yakni persepsi orangtua tentang pendidikan, perundungan (menjadi salah satu dari tiga dosa besar pendidikan), akses kepada fasilitas pendukung dan literasi kesehatan reproduksi dan seksualias.

Lalu bagaimana korelasi antara isu kesetaraan gender dan inklusi sosial? Isu perundungan yang dalam konteks lingkungan pendidikan seringkali dianggap sebagai hal yang wajar. Hal tersebut dianggap sebagai kenakalan anak-anak dalam konteks pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Padahal perundungan ini bukan hanya perundungan. Kalau melihat lagi kasus perundungan terutama pada sisi mindset anak-anak di sekolah, ada banyak faktor lainnya. Salah satunya terkait dengan maskulinitas toxic atau nilai-nilai maskulinitas yang negatif. Bahwa kerap sekali terutama terjadi pada siswa laki-laki untuk menunjukkan kelaki-lakiannya. Bisa dengan cara diperlihatkan sisi superioritasnya terhadap yang lain.

Sisi superioritas ini yang di kalangan laki-laki termanisfestasi dalam bentuk perundungan padahal nilai-nilai superioritas atau unggul itu tidak selalu harus dalam bentuk kekerasan dan ada hal-hal lain.  Tetapi pandangan ini menjadi lumrah dan dinormalisasi sehingga termanifestasi dalam wujud perundungan. Selain itu perundungan dalam lingkungan pendidikan anak-anak sekolah adalah bentuk penolakan lingkungan terhadap seseorang yang ida bersikap atau berperilaku sebagaimana stereotip gender yang dianggap normal. Jadi kalau di sekolah ada perempuan yang tidak berperilaku feminin atau laki-laki yang tidak  berperilaku maskulin dianggap tidak sesuai dengan nilai dan kemudian bentuk kekerasannya adalah perundungan. Perundungan itu pada skala tertentu ada kaitannnya dengan stereotip gender yang akhirnya termanifestasi.

Terkait akses dan kesempatan pada pendidikan biasanya terkendala oleh mindset orangtua yang menginginkan anaknya tidak bersekolah atau langsung bekerja. Begitu juga pada anak perempuan yang segera dinikahkan.

Literasi kesehatan reproduksi pada anak pendidikan dasar dan menengah terkait dengan reproduksi dan seksualitas mengemuka dan menjadi penting bagi perempuan di usia anak usia kelas 4 SD dan 1 SMP yang mengalami menstruasi. Sangat penting sebenarnya karena saat menyadari perkembangan tubuhnya misalnya saat mengalami menstruasi, mereka tidak sadar dengan perubahan fisik dan psikis. Kurangnya literasi tentang kesehatan reproduksi dan kesehatan juga meningkatkan risiko terjadinya kekerasan seksual karena itu dianggap normal.

Dari bulan Juli hingga Desember 2022 yang lalu, Inspirasi Foundation bersama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pemalang mengimplementasikan program sekolah responsif gender untuk mencegah anak berisiko putus sekolah. Tujuan program ini mewujudkan sekolah yang peka terhadap ketimpangan dan masalah responsif gender pada murid. Mitra sekolah responsif gender untuk cegah anak putus sekolah ada di 21 SD, 6 SMP dan 3 PKBM di 5 kecamatan. Salah satu cerita perubahannya adalah bisa mengidenifikasi masalah yang komprehensif terkait anak berisiko putus sekolah dan adanya kesadaran sekolah untuk lebih terhubung dengan orangtua/wali murid. (Astuti)