Menebus Tiga Dosa Besar Pendidikan dengan Kesetaraan Gender dan Inklusi Sosial

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Patrya Pratama,  Direktur Eksekutif  Inspirasi Foundation membuka webinar bertajuk menebus tiga dosa besar pendidikan dengan kesetaraan gender dan inklusi sosial dengan menyatakan bahwa selama ini terkait tema tersebut dianggap penting namun sering terlewatkan. Dengan dukungan beberapa pihak termasuk media Magdelene dan The Conversation Indonesia, webinar yang diselenggarakan pada Rabu (18/1) oleh Inspirasi Foundation memiliki beberapa temuan selama bekerja sama dengan kepada sekolah dan madrasah.

Inspirasi Foundation telah melakukan PULS Survey Report atau mengukur denyut nadi kepala sekolah pada tahun 2022 dengan jaringan internasional. Para respondennya mayoritas adalah kepala sekolah SD, jenis mayoritas SD atau sekolah negeri dan sebagian kecil swasta dan ada beberapa dari yayasan, dengan proporsi antara di urban/perkotaan dan pedesaan berimbang. Secara  internasional survey ini dilakukan di hampir semua negara berkembang.

Temuan-temuannya adalah tentang kondisi mental health dan wellbeing dan apa yang ada di pikiran  kepala sekolah. Bisa disimpulkan bahwa temuan itu adalah  tantangan yang berhubungan dengan kesehatan mental para warga sekolahnya yang artinya semua berada dalam tekanan. Dalam masa pandemi pekerjaan mengakibatkan lebih stress atau lebih menantang sebab angkanya menembus hampir 80%. Dan salah satu tantangannya adalah yang menjadi tema bahasan webinar : intoleransi,perundungan dan kekerasan seksual.

Firda Iriani, moderaor webinar mengutip pernyataan menteri pendidikan bahwa saat ini Indonesia sedang dalam menghadapi tiga dosa pendidikan yakni intoleransi,perundungan dan kekerasan seksual. Ia melihat bagaimana pendidikan adalah hak dasar setiap anak. Sekolah sepatutnya sebagai tempat aman untuk mencari ilmu dan berprestasi. Salah satu yang bisa dilakukan adalah pendekaan yang menyeluruh yang perlu melampaui pendekatan pedagogik dan mengutamakan nilai gender serta inklusi sosial.

Narasumber webinar Prof. Alimatul Qibtiyah, komisioner pada Komnas Perempuan menyatakan bahwa pihaknya pernah bekerja sama dengan Kemendibudristek terkait inklusi sosial. Bagaimana dan upaya-upaya yang perlu mendapat perhatian terkait penghapusan tiga dosa besar itu. Sebab hal itu tidak bisa didiamkan dan siapapun terutama dunia pendidikan harus memiliki kepedulian. Ia menyitir sebuah kalimat, “keburukan akan tumbuh subur bukan arena banyaknya orang buruk tapi banyaknya orang baik yang mendiamkannya.”

Terkait tiga dosa besar,  pihaknya sudah membuat kawasan bebas kekerasan yang terbit tahun 2022 dan standar setting ini  akan disosialisaikan. Komnas Perempuan mencatat bahwa  intolerasi terus berulang di bidang pendidikan dan PNS terus berlangsung di antaranya pemaksaan seragam dan pemaksaan mayoritas penafsiran cara berpakaian baik untuk siswi dan pegawai. HRW (2021) menemukan banyak sekolah negeri di 24 provinsi mayoritas muslim mewajibkan muridnya memakai jilbab.

 

Data  Tiga Dosa Pendidikan (Kekerasan seksual, Intoleransi, dan Perundungan)

Komnas Perempuan dalam Catahu 2022, kekerasan seksual terhadap perempuan mencapai 338.496 kasus yang terdokumentasi, meningkat 50% dari tahun sebelumnya, termasuk kekerasan di dalam lembaga pendidikan.

Kekerasan ada yang berbentuk kekerasan seksual dan juga perilaku intoleransi pada siswa  perempuan yang terkait dengan pemaksaan cara berpakaian dengan didasarkan pada pemahaman mayoritas . Komnas Perempuan mencatat kebijakan dan perilaku intoleransi terus berulang dan banyak dialami oleh siswa maupun PNS di berbagai daerah sepanjang 2014 hingga 2022, ditandai tindakan main hakim sendiri dengan upaya pemaksaan, pelarangan dan atau perundungan terhadap penggunaan busana dari ajaran agama tertentu oleh pihak sekolah (Komnas Perempuan).

Human Right Watch (2021) menemukan bahwa banyak sekolah negeri di 24 provinsi yang mayoritas muslim mewajibkan siswanya menggunakan jilbab walaupun tidak ada aturan tertulisnya. Salah satu dampak dari tren berhijab ini terjadi pengurangan nilai agama karena siswi tidak menggunakan hijab, dipanggil untuk diberikan konseling, bahkan dimintai mengundurkan dir.

Dari sini Komnas Perempuan lalu melihat urgensi bahwa  pendidikan dipercaya sebagai proses dan strategi yang sistematis untuk menghidupkan nilai-nilai anti kekerasan (menghapus perundungan, intoleransi, dan kekerasan seksual) dan menginformasikan Hak Asasi Manusia  Berperspektif Gender (HAMBG). Kemudian langkah selanjutnya adalah mengembangkan kapasitas kepemimpinan perempuan di satuan pendidikan dan menguatkan kapasitas pimpinan satuan pendidikan  dalam mengintegrasikan nilai-nilai HAMBG dalam sisem pendidikan.

HAMBG sendiri secara teoritis HAM telah mencakup hak asasi perempuan, akan tetapi dalam praktiknya, pemenuhan hak asasi manusia tidak  berada dalam ruangan yang kosong melainkan berada dalam sistem sosial budaya dan politik yang patriarkal, dimana masih terjadi ketimpangan relasi antara perempuan dan laki-laki. Dalam budaya patriarki “netralitas gender” dalam pemenuhan hak asasi manusia telah melahirkan ketidakadilan baru terhadap perempuan, sekalipun perempuan memiliki HAM sebagaimana laki-laki, akan tetapi pelibatan, partisipasi  dan akses perempuan untuk mendapatkannya masih dibatasi.

Prinsip HAMBG adalah  memenuhi hak dasar bagi setiap individu, menghapus diskriminasi, mendorong kesetaraan, mewujudkan inklusi sosial, menghargai keragaman identitas, memberi kesempatan dan akses kepada setiap individu, menolak pemaksaan penafsiran mayoritas, mengakui hak khusus perempuan karena fungsi reproduksinya.

Dasar Hukum HAMBG adalah  : Tahun 1978  telah ditetapkannya konvensi CEDAW atau onvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskrminasi Terhadap Perempuan, Indonesia telah meratifikasi Konvensi CEDAW pada 24 Juli 1984 melalui  Undang-Undang nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Komnas  Perempuan , 2014), Permendikbudristek nomor 50 Tahun 2022 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar  dan Pendidikan Menengah. Salah satu upaya menghapus diskriminasi terkait dengan seragam (Menolak Penafsiran Mayoritas), Permendibudristek nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan  Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Dan Permenag (PMA) nomor 73 tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama.

Sistematika Standar Setting Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dalam Sistem Pendidikan adalah Urgensi, informasi metodologis, dan petunjuk penggunaan pedoman, Prinsip-prinsip HAMBG, HAMBG dalam profil pendidikan, Strategi implementasi HAMBG dalam sistem pendidikan dan Standar dan instrumen integrasi HAMBG dalam sistem pendidikan.

Narasumber kedua webinar Abdullah Mukti, anggota Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah  menyatakan bahwa kesetaraan gender tidak hanya berbicara tentang perempuan tetapi lebih luas. Ia tidak setuju penamaan/terminologi tiga dosa besar pendidikan sebab pendidikan di Indonesia tidak ada di ruang kosong. Sejak Indonesia merdeka, pendidikan sudah hadir,terutama pendidikan berbasis masyarakat seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), di umat kristiani dan Taman Siswa. Bangsa  Indonesia adalah bangsa multibudaya, multietnik, multibahasa dan  multietnis.  Sehingga Abdullah  condong pendidikan harus berbasis edukasi dengan bahasa-bahasa yang digunakan. Dalam konteks nasional ada di UUD 1945, pasal 31.

Terkait konsep relasi gender dalam pandangan Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah terus berkembang sebagaimana termaktub dalam kitab Adabur Mar’ah Fil Islam (2010), Isu-isu Perempuan dan Anak Perpesktif Tarjih Muhammadiyah (2012), dan Tuntunan  Menuju Keluarga Sakinah (2016), Risalah Perempuan Berkemajuan (2022). (Astuti)