Catatan dari Diskusi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual oleh Yayasan YAPHI

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) menjadi angin segar dalam perjuangan pemenuhan hak korban kekerasan seksual yang selama ini cenderung terabaikan. Namun saat ini masih banyak kalangan yang belum memahami secara utuh substansi yang terkandung didalamnya, termasuk para Aparat Penegak Hukum (APH) dan para pendamping korban, terlebih masyarakat awam.  Hal ini tentu sangat berpengaruh terhadap implementasinya, baik dari perspektif maupun teknis pelaksanaannya.

Melihat fakta tersebut, dalam momentum Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKtP) pada pengujung tahun 2022, Komnas Perempuan mengangkat tema “Ciptakan Ruang Aman, Kenali UU TPKS”. Harapannya melalui kampanye ini dapat mendorong partisipasi semua pihak untuk turut ambil bagian dalam upaya-upaya menghapus kekerasan terhadap perempuan dan anak melalui implementasi UU TPKS.

Senada dengan semangat tersebut, Yayasan YAPHI merasa perlu untuk duduk bersama dengan jaringan lembaga-lembaga yang juga fokus terhadap pendampingan anak dan perempuan korban kekerasan serta para APH untuk melihat secara kritis substansi dan implementasi UU TPKS, maka Yayasan YAPHI mengadakan Diskusi Publik Dan Diskusi Kelompok Terfokus  dengan tema “Ciptakan Ruang Aman, Kenali UU TPKS” pada medio Desember 2022 dengan mengundang Narasumber Laili Nur Anisah, Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram, Yogyakarta.

Dalam diskusi tersebut narasumber menjelaskan mengenai beberapa hal yang terdapat dalam UU TPKS seperti hukum acara, jenis tindak pidana, alat bukti, para pihak, pelayanan terpadu, victim trust fund, kompensasi, restitusi,hak-hak korban, peran kepolisian,peran kejaksaan, peran pengadilan, peran pendamping serta peran UPTD PPA.

Setelah pemaparan materi, ada beberapa tanggapan yang disampaikan oleh peserta diskusi baik berupa pertanyaan maupun pernyataan; diantaranya pertanyaan tentang apakah mekanisme pengajuan restitusi masih sama melalui LPSK atau ada perubahan? Karena selama ini pengajuan restitusi untuk korban terasa sangat sulit secara birokrasi.Pertanyaan tersebut langsung dijawab oleh narasumber bahwa UU TPKS sudah mengatur mengenai pengajuan restitusi namun hal ini masih perlu peraturan pelaksana yakni Peraturan Pemerintah (PP) untuk mengatur lebih rinci mekanismenya.

Terkait pasal yang menyebutkan pelarangan pemaksaan perkawinan masih sangat rancu. Karena di beberapa wilayah perkawinan anak terkadang dijadikan solusi yang notabene sebenarnya tida menyelesaikan masalah. Terlebih ketika belum ada kesepemahaman pada tingkat pengadilan agama terkait dengan dispensasi nikah.

Persoalan lain yang kerap dihadapi saat ini oleh para pendamping hukum adalah ketika kepolisian melakukan pemeriksaan masih menggabungkan pertemuan antara saksi dan korban sehingga kenyamanan dan keamanan korban belum terjamin.

Kendala-kendala yang Dihadapi oleh Para Pendamping Hukum di Forum Diskusi

Setelah mendalami substansi UU TPKS  maka diskusi kemudian dilanjutkan dengan metode berbagi pengalaman terkait kendala selama melakukan pendampingan. Dari penyampaian tersebut akan bisa dilihat apakah kendala tersebut sudah terjawab dalam substansi UU TPKS. Seperti yang disampaikan oleh perwakilan  Majelis Hukum dan HAM (MHH) Aisyiyah bahwa APH yang memeriksa korban masih menggunakan bahasa yang menyudutkan korban, assesment personal yang belum dilakukan secara maksimal bagi korban penyandang disabilitas juga terkait dalih tidak ada dana untuk tes DNA, tes DNA yang harus dengan persetujuan tersangka, alat bukti yang selalu kurang dan ketakutan korban dilaporkan balik oleh tersangka. Sedangkan dari Fatayat NU terkendala adanya kasus pemaksaan perkawinan yang masih tinggi dan pendekatan kepada korban untuk melakukan visum. Dari perwakilan institusi perguruan tinggi, kendalanya yakni muncul kerancuan dalam menerapkan UU TPKS atau Permenristek Dikti Nomor 31 tahun 2021 jika terjadi kasus kekerasan seksual di lingkup universitas.

Yayasan YAPHI sendiri dalam pendampingan kasus perempuan dan anak korban kekerasan seksual mengalami banyak kendala antara lain : adanya intimidasi dari pihak pelaku, tingkat keamanan korban yang riskan, dalih kekurangan anggaran dari pemangku kebijakan untuk kebutuhan korban, pendampingan dari pekerja sosial yang masih sangat parsial, kurangnya koordinasi antar lembaga, adanya pemahaman yang salah mengenai restitusi dan mediasi serta adanya salah pengertian bahwa rehabilitasi sama artinya dengan dibebaskan.

Dari pihak APH, Unit PPA Polres Surakarta menyampaikan kendala yakni kekurangan Sumber Daya Manusia (SDM) dan ketakutan korban untuk datang ke kantor polisi. Badan Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) UNS terkendala banyak kasus kekerasan di lingkungan universitas yang berujung pada perdamaian serta masih ada kebingungan kapan harus menggunakan UU TPKS dan kapan harus menggunakan Permendikbud No 31 tahun 2021.

Usai sesi berbagi pengalaman, catatan-catatan tersebut kemudian dirangkum dan ditarik pada substansi UU TPKS. Fasilitator menjelaskan bahwa sebagian besar dari kendala tersebut sudah terjawab dalam UU TPKS hanya saja masih perlu banyak peraturan pelaksana agar undang-undang  tersebut dapat terimplementasi.

Sedangkan jawaban untuk kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan universitas, pihak kampus harus terlebih dahulu mengupayakan dengan menggunakan Permenristekdikti, namun jika korban tetap ingin melaporkan, pihak kampus harus tetap mendukung apapun yang menjadi keputusan korban. (Dorkas/Astuti)