Pentingnya Penerbitan Buku Pedoman Penulisan Pemberitaan Korban Kekerasan Seksual pada Perempuan dan Anak

Penilaian: 3 / 5

Aktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Saat ini masih saja ditemukan media yang melanggar kode etik jurnalistik atau kurang tepat dalam menggunakan kata atau diksi dalam penulisan kasus-kasus kekerasan sesksual pada perempuan dan anak. Beberapa pemberitaan bahkan masih menstigma korban. Penting juga bagi para jurnalis mencantumkan informasi erkait dengan bantuan yang bisa diperoleh oleh perempuan dan anak korban kekerasan.

Namun begitu telah ada upaya pembuatan penerbitan buku panduan atau pedoman penulisan pemberitaan kekerasan seksual. Dalam sebuah webinar terkait kode etik pemberitaan kekerasan seksual pada perempuan dan anak pada akhir Agustus 2022 Uni Lubis, Pimpinan Redaksi IDN Media menyatakan bahwa dengan membentuk perspektif dan mendorong terbitnya buku panduan atau pedoman penulisan kekerasan sesual  pada perempuan dan anak seperti halnya dewan pers juga memiliki buku  pedoman penulisan tentang bunuh diri. Dengan panduan seperti itu maka pemberitaan tentang kekerasan seksual akan  lebih baik lagi sebab kasus-kasus saat ini seperti puncak gunung es yang justru banyak tidak terungkap.

Pada pemberitaan terkait korban kekerasan seksual, semua korban pada dasarnya ‘innocent’, perkosaan dan kejahatan seksual adalah aksi kekerasan pada korban dan tidak peduli kepada korbannya baik luka fisik maupun psikis, lebih baik menggunakan "laporan pemerkosaan" ketimbang "dugaan pemerkosaan". Kata "dugaan" tidak netral dan mengisyaratkan keraguan media atas kejahatan yang dilaporkan. Soal diksi seharusnya seorang jurnalis rajin membuka KBBI dan hindari kata yang tidak tepat seperti menyetubuhi, menggagahi, menggauli, suka sama suka dan seterusnya.

Hal penting lainnya : gunakanlah istilah "pemerkosaan yang dilakukan kenalan korban" ketimbang "pemerkosaan oleh teman kencan". Hal ini digunakan saat korban ternyata kenal dekat pelaku. Jurnalis harus berhati-hati juga dalam memilih kata/kalimat yang digunakan dalam naskah berita, termasuk penggunaan istilah. Misalnya korban berparas " cantik" berbadan "langsing" seolah karena cantik dan langsing, dia mengundang terjadinya kejahatan.

Tidak menggunakan nama korban dengan "mawar, melati, bunga", serta
tidak perlu menyebut alamat, nama jalan. Cukup sebut area saja. Yang lebih penting adalah mengeksplorasi identitas pelaku, apalagi jika belum tertangkap, ketimbang menyebut detil korban.

Mengutip Uni Lubis dalam webinar, berdasar data yang dikumpulkan dalam sebuah penelitian di AS oleh Dean G. Kilpatrick, 2007, jenis peristiwa kriminal/kejahatan yang sering diliput media adalah :Pemerkosaan  dan kejahatan seksual, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kejahatan pada anak-anak,pembunuhan, mengemudi sambil mabuk.


Di Amerika Serikat, pengalaman jurnalis dalam meliput perkosaan  dan kejahatan seksual, biasanya adalah : korban, baik dewasa maupun anak-anak, biasanya tidak ingin identitasnya diketahui oleh publik. Mereka merasa malu. Dan korban tidak ingin ada yang terinspirasi. Korban juga khawatir tindakan balasan dari pihak pelaku kejahatan, stigma sosial yang cenderung menyalahkan korban kejahatan sosial. Pelaku biasanya orang yang sudah dikenal korban.


Dalam Pasal 9  Kode Etik Jurnalistik (KEJ) berbunyi ; "Wartawan Indonesia menghornati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya,kecuali untuk kepentingan publik." Penafsiran dari pasal itu adalah : a) Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati. b.) Kehidupan pribadi adalah segala kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.


Maka yang harus diupayakan oleh jurnalis adalah mencegah supaya korban tidak mengalami trauma ketika seolah diingatkan terkait peran dalam kejahatan yang dialaminya. Jurnalis perlu memperhatikan detil tentang pelaku yang relevan dengan peristiwa :dekripsi fisik, bagaimana pelaku mendapat akses melakukan kejahatan, senjata yang digunakan. Eksplorasilah  data pelaku, bukan korban.


Banyak jurnalis pemegang award menunjukkan draft berita yang mereka tulis kepada korban. Ini tidak mengganggu kemerdekaan/indepedensi jurnalis, tetapi bisa menunjukkan bagian mana yang ditulis kurang sensitif. Hal seperti ini bisa membuat korban sebagai narasumber bahkan bersedia membagi lebih banyak kisah pada jurnalis. Menyajikan detil grafis terlalu banyak akan menimbulkan efek dramatisasi yang berlebihan, terlalu sedikit pun akan melemahkan kisah yang kita beritakan.

Luviana dari konde.co dalam webinar tersebut  menyatakan bahwa dahulu berita-berita soal perempuan hanya masuk di Hari Kartini atau Hari Ibu saja. Sekarang, semua bisa masuk ke pemberitaan. Menurut catatan konde.co.dalam penelitian oleh  feminis muda, terkait persoalan gender dan seksualitas di media, mereka mengambil sampel dari angkatan 80-90an, ada perubahan-perubahan tetapi mereka bertautan. Catatannya masih beberapa dan ternyata media itu tidak bisa dilepaskan dari kebijakan atau regulasi dan tidak bisa dipisahkan dari konten dan suara publik, pekerja media, kepemilikan media dan kebijakan internal. “Aku melihat selain soal-soal isu perempuan yang masuk. Aku melihat kebijakan media  terkait perempuan masih tertinggal dibanding kebijakan umum. Kebijakan perempuan yang ada kemajuan : ada di UU TPKS, 30% suara perempuan, gender mainstreaming, gender budgeting : Ekonomi, Pengarusytamaam gender dalam pembangunan (SDG’s dan MDG’s), hukum berperspektif perempuan, peace, women and security. Tapi ternyata kenapa media selalu tertinggal?”

 

Luviana menambahkan sampai sekarang (saat webinar_red), panduan penulisan soal kasus kekerasan seksual pada perempuan belum ada dan menurtnya ini jauh tertinggal dari panduan pemberitaan tentang anak. Panduan pemberitaan tentang bunuh diri, tentang internet, dan panduan pemberitaan tentang teroris.

 

Banyak temuan membuktikan bahwa jika ada peristiwa yang dikawal publik seperti melalui media sosial dan lembaga-lembaga yang mengadvokasi isu kekerasan seksual seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (sebelum disahkan jadi Undang-Undang), maka berita akan menuliskan secara positif (walau jumlahnya hanya minim dan baru sebatas berita hard news dan normatif). Namun jika tidak dikawal publik seperti isu kekerasan seksual pada umumnya, maka media masih melakukan kekerasan dan sensasionalisme pada perempuan korban kekerasan seksual. Ini seperti dituliskan dalam kalimat-kalimat di media seperti "disetubuhi", "pelaku punya ilmu hitam", "dicabuli", "digilir" dan lain-lain. Saat itu hampir semua media menuliskan sahkan RUU PKS tapi media itu melakukan inkonsistensi soal tulisan "digagahi".


Pemetaan Konde.co terhadap 4 Perspektif Perempuan di Media (2021).
-perspektif normatif : media masih menuliskan perempuan tak boleh tertawa keras, tak boleh pulang malam, harus punya pacar kalau tidak mau tertinggal dalam pergaulan, semua perempuan harus menikah. Masyarakat masih mengatur-atur, perspektif agama, perspektif norma dan budaya, perspektif hukum dan aturan kebijakan, perspektif kesehatan, perspektif HAM, perpsektif hukum dan aturan kebijakan. Perspektif hukum dan aturan kebijakan misalnya Aborsi tidak boleh : memperdebatkan KUHP dan UU Kesehatan tentang aborsi dan perempuan yang melakukan aborsi dianggap kriminal.


Latar belakang jurnalis akan menentukan jurnalisnya akan seperti apa. Juga posisi di media serta relasi penugasan, ritme kerja, tekanan iklan, tekanan kondisi sosial, politik dan kebijakan. Jurnalis adalah human right defenders atau pembela HAM. Pada saat gelap, media adalah penerang. Jurnalis adalah pembela HAM.

 

Beberapa poin-poin penting dalam peliputan  yang dsampaikan oleh Luviana untuk sebuah panduan jurnalis yang berperspektif adalah terkait peliputan dan wawancara, pengambilan gambar dan foto, penulisan, distribusi dan persebaran. Lima hal penting adalah ;
1.Tidak boleh melakukan kekerasan, diskriminasi, stigmatisasi, eksploitasi, dan sensasionalisme.
2. Kalau peliputan dan melakukan wawancara harus izin. Posisi duduk pun sejajar. Harus didampingi orangtuanya atau orang dewasa sekitar yang mengetahui tentang anak itu. Harus memperkenalkan diri. Jurnalis tidak mewawancarai anak sebagai saksi kasus yang pelaku kejahatannya belum tertangkap. Jurnalis tidak mewawancarai anak yang jadi korban kejahatan seksual. Jurnalis tidak mewawancarai anak yang dalam perlindungan LPSK. Jangan membahayakan korban dengan menghindari pertanyaan dan komentar yang menghakimi. Jangan melakukan diskriminasi dalam memilih narasumber. Jangan meminta korban bercerita atau melakukan tindakan yang bukan bagian dari sejarah mereka sendiri.
3.Terkait penggunaan bahasa. Menghindari bahasa yang bernuansa opini : menggunakan baju mini,,mengenakan baju seksi, pulang malam. Tidak boleh menggunakan kata-kata bernuansa kultus : habib, ustaz, kerempeng, tonggos, gila. Jurnalis melindungi korban terutama untuk yang a. berhadapan dengan hukum entah sebagai pelaku, korban dan saksi; b. menderita HIV/AIDS dan atau penyakit yang menimbulkan stigma.c. menjadi korban kekerasan baik fisik, verbal, mental maupun seksual; terlibat gerakan kekerasan ekstrem, termasuk didalamnya terorisme.
4. Terkait pengambilan gambar dan foto. Perhatikan di mana dan bagaimana korban diwawancarai. Batasi jumlah pewawancara dan fotografer. Pastikan korban merasa nyaman dan mampu menceritakan tanpa tekanan. Dalam wawancara radio atau video pastikan latar belakang visual maupun audio yang mungkin tersirat tentang korban. Pastikan anak tidak terancam atau terpengaruh secara merugikan dengan menunjukkan rumah, komunitas dan keberadaan umum mereka.

Terkait buku panduan peliputan kekerasan seksual, pada awal Oktober 2022, Project Multatuli didukung Rudgers sebenarnya telah menerbitkan buku Panduan Meliput kekerasan Seksual Bagi Persma dan Jurnalis, namun hingga tulsan ini diturunkan, penulis masih belum menemukan buku panduan semacam yang diterbitkan oleh Dewan Pers. (Astuti)