Diseminasi Hasil Kajian tentang Ratifikasi Konvensi ILO 189 oleh Komnas HAM

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Komnas HAM menggelar diseminasi hasil kajian tentang Ratifikasi Konvensi ILO 189 terkait pekerjaan yang layak bagi Pekerja Rumah Tangga, Rabu (21/9). Kajian dilakukan oleh tim Komas HAM dan serikat pengajar HAM sesuai dengan mandat Komnas HAM terkait Undang-Undang Nomor  39 Tahun 1999 tentang HAM dalam hal ini kaitannya penting tidaknya ratifikasi Konvensi ILO 189. Menurut Sandrayati Moniaga, Komisioner Komnas HAM, menyatakan bahwa ratifikasi ini sebagai rujukan  RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) yang saat ini ada di Komisi IX DPR RI. Instrumen undang-undang  yang melengkapi karena ada mekanisme internasional. “PRT marjinal sejak puluhan tahun hingga berabad. Banyak hak mereka diabaikan, sehingga ketika ada ratifikasi akan lebih humanis,”ungkap Sandrayati Moniaga.

DR. Joeni  Kurniawan, salah seorang tim peneliti dalam paparan tentang Kajian Ratifikasi ILO 189 “Pekerjaan yang Layak Bagi Pekerja Rumah Tangga” menyatakan bahwa penelitian ini lebih dari 40 halaman. Menurutnya, ada poin-poin penting saat ini ada RUU PPRT. Rumusan masalah yang dikaji antara lain problematika yang dihadapi PRT, pengaturan  konvensi ILO 189, pengaturan perlindungan PRT di Indonesia  dan Permenaker 2/2015 serta RUU PPRT.

Apakah Konferensi ILO 189 perlu diratifikasi Indonesia? Pekerja Rumah Tangga adalah pekerja. Sedangkan definisi pekerja : “Orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan lainnya “ (vide pasal 1 angka 3 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan). Adapun relasi/hubungan kerja antara PRT dan Pemberi Kerja: Pemberi Kerja membutuhkan tenaga kerja dan PR, dan PRT membutuhkan upah atas pekerjaannya, sama persis seperti relasi kerja pada umumnya. Sehingga secara normatif, PRT seharusnya termasuk subjek hukum yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan  dan setara status serta hak dan kewajibannya  dengan pekerja pada umumnya.

Problematika yang dihadapi oleh pekerja rumah tangga : PRT cenderung dianggap sebagai “pekerja rendahan”  oleh karenanya dianggap tidak setara (berada di bawah) dengan pekerja pada umumnya. Beberapa latar belakang yang berpengaruh pada kecenderungan di atas yakni kecenderungan PRT yang berlatar pendidikan  dan keahlian yang rendah , PRT cenderung memiliki bargaining position yang rendah di hadapan Pemberi Kerja, nature pekerjaan rumah tangga sebagai pekerjaan domestik -informal dalam lingkungan privat, membuat pekerjaan rumah tangga dan PRT cenderung terisolasi dari pihak luar, pekerjaan rumah tangga cenderung dianggap bukan pekerjaan sesungguhnya,faktor budaya masyarakat Indonesia yang sebagian masih bercorak patriarki dan feodal/hirarkis.

Ada Urgensi Mendesak untuk Ratifikasi Konvensi ILO 189  (KILO 189)

Poin-poin perlindungan PRT yang diatur dalam KILO 189 antara lan : hak-hak dasar PRT, jam kerja dan waktu istirahat, pengupahan, keamanan dan kesehatan kerja, jaminan sosial, usia minimum, opsi tinggal di rumah Pemberi Kerja, standar mengenai mengenai PRT migran, standar agen swasa penyalur pekerja rumah tangga dan, mekanisme penyelesaian sengketa.

KILO 189 vis a vis Permenaker 2/2015 vis a vis RUU PPRT, beberapa poin penting yang perlu dicatat terkait Pengupahan (1).Pada KILO 189 , pasal 11: Jika di suatu negara terdapat pengaturan tentang upah minimum, maka upah PRT harus sesuai dengan ketentuan upah minimum tersebut. Tidak ada ketentuan sebagaimana demikian di Permenaker  2/2015 oleh RUU PPRT. Hanya diatur bahwa upah  PRT didasarkan pada kesepakatan (vide: Pasal 7 Permenaker 2/2015 dan Pasal 11 RUU PPRT).

Terkait waktu kerja, pada KILO 189, Pasal 10 angka 1 dan 2: PRT memiliki waktu kerja  yang tidak berbeda dengan waktu kerja pekerja pada umumnya, dan harus memiliki hak istirahat minimal 1x24 jam dalam satu minggu.

Tidak ada ketentuan sebagaimana demikian di Permenaker 2/2015 dan RUU PPRT hanya diatur bahwa PRT berhak atas waktu kerja yang manusiawi dan Pemberi Kerja wajib memberikan waktu istirahat kepada PRT, tanpa informasi yang lebih rinci.

Terkait HAK atas Kebebasan, pada KILO 189, Pasal 9 huruf a dan b: PRT berhak untuk menentukan apakah akan tinggal di rumah si Pemberi Kerja (live-in) atau tidak, dan berhak untuk tidak berada di tempat kerja/rumah si Pemberi Kerja di saat waktu istirahat. Tidak ada ketentuan sebagaimana demikian di Permenaker 2/2015 dan RUU PPRT.

Terkait batasan usia minimum, pada KILO 189, Pasal 4 angka 1: Usia minimum PRT tidak boleh lebih rendah dari usia minimum pekerja pada umumnya yang diatur oleh aturan hukum di negara yang bersangkutan. Pada Permenaker 2/2015, Pasal 4 huruf b: Usia minimum PRT adalah 18 tahun. Tidak ada pengaturan  sebagaimana demikian di RUU PPRT.

Joeni Kurniawan kemudian memberikan kesimpulan pada penelitannya bahwa pengaturan dalam peraturan nasional tentang perlindungan PRT,baik itu Permenaker 2/2015 dan RUU PPRT, cenderung masih di bawah standar minimal yang ditetapkan dalam KILO 189. Beberapa hak fundamental dari PRT seperti upah minimum dan sistem pengupahan, batasan  waktu kerja, hak atas kebebasan dan batasan minimum bagi PRT justru masih belum diatur  dalam peraturan nasional yang ada (Permenaker dan/atau RUU PPRT).

Ada urgensi yang cukup mendesak untuk meratifikasi KILO 189. Ratifikasi KILO 189 ini tidak untuk menggantikan peraturan nasional yang ada, tetapi untuk melengkapi peraturan -peraturan tersebut. Fungsi KILO 189 adalah sebagai meta norma yang akan menjadi acuan standar minimal bagi pengaturan di tingkat nasional. Sehingga, pengaturan di tingkat nasional melalui peraturan perundang-undangan tersendiri masih diperlukan. Contoh atas praktik ratifikasi KILO 189 dan sekaligus pengaturan dalam perundang-undangan di level nasional telah dilakukan oleh Philipina (melalui Domestic Worker Act/DWA, yang  disahkan Januari 2013 setelah Philipina meratifikasi KILO 189 pada September 2012).

Beberapa rekomendasi digulirkan antara lain :  Meratifikasi KILO 189 yang bertujuan sebagai meta norma kerangka acuan dan standar  minimal terkait hak-hak PRT, mengesahkan RUU PPRT menjadi UU PPRT dengan mengadopsi ketentuan-ketentuan yang ada dalam KILO 189: dan membuka ruang partisipasi seluas-luasnya khususnya kepada PRT serta kelompok advokasi hak-hak PRT dan umumnya kepada masyarakat luas terkait penyusunan kebijakan perlindungan hak-hak PRT.  

Tanggapan dari Kemenlu dan Kemenaker  dan NGO

Syahda Guruh dari Kemenlu menanggapi bahwa instrumen hukum internasional yang akan diraifikasi dalam hal ini  KILO 189 adalah upaya kontributif yang baik dalam menyampaikan rekomendasi untuk memperluas perlindungan pada PRT. Dalam konteks  global upaya SDGs ada pada tema Gold ke8, tema yang sudah diadopsi oleh ratifikasi. Terkait instrumen hukum internasional, pihaknya melihat bahwa konferensi ILO adalah bagian instrumen hukum internasional mendorong penanganan reformasi hukum inernasional. Kalau  dilihat dari konvensi tersebut misal di pasal awal, konvensi ini dilihat lebih bersifat values. Artikel dua konvensi ini memerintahkan negara membuat kategorisasi,  mana kategori yang dieksplor dari konvensi ini. Dalam studi 4 juta PRT, 600 ribu di antaranya yang live-in dan apakah studi ini juga menulis terkait dampak? Mana yang lebih impacfull? Mana yang paling di-addresss? Lalu bagaimana isu peran dari agensi/penyalur?  Yang bekerja di rumah ini ada yang dari agensi atau tidak? Apakah ada eksklusion mana yang dari agensi mana yang tidak. Mana yang lebih impactfull untuk proteksinya.

Syahda Guruh kemudian menyatakan dalam rangka memajukan ini, K/L terkait perlu posisi yang sama untuk pengajuan masuk ke pemerintah. Untuk melengkapi studi ini, juga perlu ke ranah sosiologi dan ekonomi.

Dari Kemenaker memberi tanggapan kurangnya kajian PRT yang direkrut dari agensi terkait Permenaker 2/2015. Pihak Kemenaker melihat dari agensi/lembaganya karena kesulitan jika perlindungan dari mulut ke mulut. Harapannya dengan proteksi kepada agensi,perlindungan kepada pekerja akan mudah jika terjadi kekerasan, feodalisme, dan pekerja di bawah usia.Menurutnya pemerintah sudah konsen dalam pembahasan (tahap awal) RUU PPRT.

Lita Anggraini, dari JALA PR memberikan tanggapan dengan menyatakan bahwa  Konvensi ILO 189 didasarkan empat pilar hak dasar. Menurutnya konvensi ini konvensi yang longgar. Ada 35 negara yang sudah meratifikasi dan di Asia baru satu yakni Philipina. Hal yang memprihatinkan, jumlah PRT Indonesia nomor dua setelah China, nomor tiga adalah India. Konvensi ini harus jadi kerangka acuan untuk undang-undang baik PRT dalam dan luar negeri . Perjanjian MoU RI dengan negara lain harusnya juga mengacu kepada konvensi ILO 189 ini. Waktu kerja adalah 40 jam/seminggu. Di Philipina, ada tunjangan karena diikutkan jamsosek. Libur tidak hanya mingguan tapi tahunan. Akomodasi dipertegas dan K3 harus diatur. Kebebasan juga harus diatur,termasuk kebebasan berserikat, mekanisme sengketa juga harus diatur  dalam Undang-Undang. Soal pengawasan, di Philipina melalui kelurahan soalnya ada pendataan via kelurahan. Kalau di Afrika Selatan mereka datangi rumah-rumah, juga di Amerika latin ada inveksi terkait pajak. Di Philipina budaya politiknya lebih egaliter,mereka pemberi kerja adalah kelas menengah dan menengah atas. Juga di Afrika,mereka sudah punya undang-undang sebelum konvensi. Afrika selatan sudah sejak tahun 1997, juga di Amerika Latin. Ada yang memenuhi konvensi ada, yang 80% dari konvensi. “Di Indonesia semua mempekerjakan PRT. PRT di Indonesia masih berbasis kepemilikan dan bias itu ada di DPR, juga di pemerintah. Itulah inkonsistensi di Indonesia. RUU PPRT baru  membahas PRT dalam negeri. 50% hak-hak PRT sudah dicakup namun yang belum diatur salah satunya  hak berserikat. Yang jadi persoalan,resistensi terhadap masalah ini lebih besar dari konvensinya sendiri.” ungkap Lita Anggraini. (Ast)