Forum Diskusi Denpasar 12 : UU TPKS Sudah Lahir, Terus Mau Apa? (1)

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Willy Aditya,Wakil Ketua Baleg DPR RI menyatakan bahwa butuh untuk memastikan pemerintah pusat dan daerah untuk membentuk lembaga Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) agar semua pihak memiliki niat baik memberi perlindungan dan kepastian hukum perempuan, anak dan penyandang disabilitas. Kehadiran institusi PPA ini jadi penting untuk proses pendampingan. Sedangkan tugas fungsi pengawasan sendiri ada di Komisi 5, 8 dan 9 DPR RI. Selain itu Willy berkomunikasi dengan beberapa anggota DPR RI yang sudah melakukan sosialisasi UU TPKS. Pernyataan tersebut terucap saat zoom meeting yang diselenggarakan Forum Denpasar 12 menyikapi langkah-langkah keberlanjutan pasca disahkannya UU TPKS.

Willy juga menginginkan ada forum khusus ke DPR, agar forum penyelidikan bisa bertindak sesuai dengan UU TPKS. Ia menyebut pihak kepolisian dalam suatu momen bersama Presiden Joko Widodo, memberi reaksi dengan akan membentuk direktorat perempuan dan anak. Ini penting terutama bagi Kantor Staf Presiden (KSP) agar mengingatkan presiden.

Fungsi legislasi saat ini sudah selesai dan menurut Willy yang harus dilakukan adalah numeratur tentang literasi bagaimana selain UU TPKS, tapi kesadaran publik harus digedor dengan literasi yang cukup intensif. Kampanye anti kekerasan seksual harus dibangun secara bersama-sama dan ada dua hal yang perlu dilakukan : membuat best practice APH dan beberapa kementerian terbaik dan yang dibidik beberapa titik di 5 PP/Perpres itu selama tiga tahun dan harus ada penanganan yang lebih komplit dan menggalakkan best practice. Kedua adalah melibatkan partisipasi publik.

Upaya Pencegahan dan Koordinasi Pencegahan di Daerah Perlu Keterlibatan Publik

Barita Simanjuntak, Ketua Komisi Kejaksaan RI yang juga menjadi narasumber menyatakan bahwa kerja belum selesai. Menurutnya, membuat undang-undang saja tidak efektif. Ia sependapat di level aparatur pelaksana perlu pedoman lebih kuat dalam tataran implementatif. Kehadiran UU TPKS adalah perlindungan negara dalam HAM dan kekerasan seksual. Ia mencatat ada beberapa hal di antaranya tindak lanjut negara terhadap undang-undang yang sudah ada dan implementasinya serta tindak lanjutnya.

Agar implementasi sesuai maka harus ada 5 PP dan 5 Perpres. Kendalanya adalah keluarnya PP dan Perpres tersebut yang lama. Padahal UU TPKS yang baru lahir ini perlu regulasi yang efisien dan efektif. Beberapa hal dalam UU TPKS yang harus dicatat adalah : jenis alat bukti, restitusi korban, ruang gerak pelaku, maka diperlukan payung hukum dan pedoman, agar jangan sampai di atas kertas saja rumusannya tapi tidak implementatif. “ini tugas berat kita melalui PP dan Perpres, semakin cepat maka semakin lekas pula implementansinya. Kalau kita punya komitmen, jika UU ini implementatif, tata cara perlindungan dan pemulihan hak korban hukum, harus dikunci dengan norma hukum,”tutur Barita Simanjuntak.

Juga upaya pencegahannya perlu koordinasi pencegahan di daerah dan keterlibatan publik, apalagi daerah yang jauh, dengan kultur yang sulit. Kemudian pemutusan akses informasi. Menurut Barita, beberapa hal itu tidak berhenti di kelembagaan yang secara langsung berhubungan tetapi juga kementerian informasi dan komunikasi, Kementerian PPPA juga penting memberi kunci tentang norma ke dalam 5 PP ini agar tidak melebar dan menyempit. Juga perlu keputusan bersama tentang pedoman pendidikan kekerasan seksual, serta pelatihan dan pendidikan APH, dalam proses pelaporannya.Tim terpadu pada pelayanan korban dengan pembentukan UPT PPA segera diwujudkan dalam perspektif dan regulasi, perlu ada persamaan perspektif dalam penyelesaian agar tidak bolak-balik prosesnya. Di sisi lain, undang-undang tentang ITE dalam implementasinya mengalami kendala, maka untuk mengubah undang-undang perlu waktu lama padahal harus punya langkah cepat. “Kalau PP dan Perpres lama prosesnya, bisa dengan keputusan bersama antara Kepolisian, Jaksa Agung dan Mahkamah Agung,”tegas Barita.

Barita menambahkan bahwa Kementerian PPPA perlu mengambil inisiatif ini karena ada produk keputusan bersama, maka perspektifnya adalah perlindungan kepada korban yang difasilitasi negara untuk menjamin untuk terpenuhinya akomodasi yang layak bagi korban. Kesadaran pemahaman bisa dalam bentuk PP dan Perpres, dan untuk kekosongan itu bisa diinisiasi Kementerian PPPA yakni Keputusan Bersama. Sedangkan best practice bisa di kepolisian, kejaksaan, dan melibatkan aktivis NGO serta perlindungan perempuan dan anak yang leading sector-nya adalah Kementerian PPPA. Forum Denpasar 12 bisa untuk mengawal. Polisi dan jaksa harus diberi perspektif oleh aktivis sehingga implementasi bisa jalan dan konsisten,”pungkas Barita dalam zoom meeting yang dimoderatori oleh Arimbi Heroepoetri. (Astuti)