Diskusi Pendidikan MPPS Membedah Merdeka Belajar

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Ada nuansa yang tidak biasa pada diskusi yang digelar oleh Masyarakat Peduli Pendidikan Surakarta (MPPS) yang berlangsung secara luring di Ruang Anawim, Yayasan YAPHI, pada Rabu (27/6) sebab Iwan Setiyoko, Direktur Yayasan Satu Karsa Karya (YSKK) yang menjadi narasumber mengajak secara aktif dan partisipatif para peserta diskusi  menjawab berbagai pertanyaan terlebih dahulu sebelum diskusi membahas tema pokok yakni tentang Kurikulum Merdeka dan Merdeka Belajar.

Beberapa catatan didapat dari para peserta terkait apa itu Merdeka Belajar. Ada yang menjawab bahwa Merdeka Belajar adalah kurikulum yang berpusat pada anak, sekolah gratis (dibayar pemerintah), bebas bertanggung jawab, pembelajaraan sesuai dengan yang diminta, situasi belajar yang menyenangkan, tidak mengekang, memberikan kemerdekaan kepada siswa untuk belajar, guru bisa mencari potensi masing-masing siswa, guru menjadi fasilitator untuk murid belajar, pola pikir guru perlu diubah, lingkungan belajar yang inklusif, mengakomodir kebutuhan setiap murid, pola pikir dan proses pembelajaran yang instan dan Multiple Intelegence Sistem (MIS), serta pembelajaran guru harus menyesuaikan potensi masing-masing anak. 

Lalu timbul pertanyaan, apakah SDM pendidikan di Indonesia sudah bisa mengimplementasikan Merdeka Belajar? Sebab selama ini dimaknai pembelajaran berbasis proyek. Merdeka Belajar juga dimaknai sama seperti home schoolling yang di situ dibutuhkan keterlibatan orang tua aktif dan dimulai sejak dini sedangkan dinas pendidikan tampaknya masih kebingungan dengan konsep seperti ini.

Pertanyaan lainnya adalah apakah yakin program Merdeka Belajar mampu menjawab berbagai permasalahan/kebutuhan pedidikan serta berdampak pada peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia? Para peserta ada yang menjawab yakin dan tidak yakin. Yang menjawab yakin karena lebih holistik dan tematik, untuk penilaian karena orientasi adalah proses bukan hasil, pembelajaran lebih terfokus dan tidak semua hal diajarkan tapi hal-hal yang menjadi kekuatan anak. Sedang para peserta yang menjawab tidak yakin karena masih terdapat kesenjangan informasi dari pusat sampai tingkat pelaksana. Artinya banyak guru, kepala sekolah dan bahkan kepala dinas tidak paham tentang Merdeka Belajar.

Menurut Iwan Setiyoko, Merdeka Belajar bersifat holistik, mentransformasikan demi terwujudnya SDM unggul Indonesia yang memiliki profil pelajar Pancasila yang terdiri dari enam unsur : Beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak Mulia, mandiri, bernalar kritis, Berkebhinnekaan Global, Gotong Royong dan Kreatif. Karena Merdeka Belajar esensinya semua berpusat kepada anak dan membangun ekosistem, maka ada tiga pilihan yang ditawarkan dalam membuat kurikulum yakni : Mandiri Belajar, Mandiri Berubah dan Mandiri Berbagi.

Iwan menambahkan bahwa saat ini yang perlu dilakukan oleh jaringan masyarakat sipil yang peduli kepada pendidikan adalah melakukan check and balance atas program yang dikerjakan oleh dinas-dinas. “Sekarang waktunya kita kolaborasi dari 21 program kurikulum merdeka yang sudah digulirkan oleh pemerintah.Kita mungkin bisa melalukan riset terkait implementasi Medeka Belajar. Kita bisa kok melakukan di lapangan oh ini ada seperti ini lho, oh ini ada begini yang bisa memunculkan adanya gap. Juga bisa bersinergi dengan teman di kampus. Peluang sumber daya ini bisa kita pecah,”terang Iwan. Seperti penuturannya, saat ini lembaga YSKK sedang mengadakan kerja sama dengan Agronomi Universitas Sebelas Maret di Gunung Kidul.

Beberapa Temuan di Lapangan

Meski Merdeka Belajar sudah digulirkan kepada masyarakat sejak 2019, namun banyak sekali temuan di lapangan bahwa masih banyak masyarakat dan para pihak terkait yang belum memahami secara utuh terkait grand design Merdeka Belajar. Hal ini disebabkan sosialisasinya masih terbatas misalnya terkait ungkapan keliru atau miskonsepsi bahwa  “Ganti Menteri, Ganti Kurikulum”.

Padahal fakta sejarah di Indonesia terjadi 11 kali perubahan kurikulum selama 29 Menteri Pendidikan dengan rata-rata pendidikan 7 tahun, paling cepat 2 tahun dan paling lama 12 tahun. Kurikulum 2013 atau Kurtilas ke Kurikulum Merdeka butuh 11 tahun.

Sebab kedua adalah ketidaksiapan para pihak terkait untuk mengambil peran secara aktif dan ada kecenderungan hanya mengikuti arus saja. Kurangnya pemahaman dan kapasitas diri, misalnya minimnya penguasaan TIK oleh guru/pendidik; pemilihan kurikulum sangat sedikit yang mengambil Mandiri berbagi, rata-rata masih Mandiri Belajar. Tentang Mandiri Berubah, cukup banyak guru/pendidik yang  belum menguasai dan menerapkan diferensiasi pembelajaran.

Minimnya keterlibatan publik/masyarakat dalam proses implementasinya, juga menjadi temuan faktor di lapangan sebab sekolah penggerak belum mampu untuk membangun ekosistem pendidikan (kolaborasi dengan para pihak); misalnya : terkait minimnya keterlibatan masyarakat/ komite sekolah dalam penyusunan program-program sekolah mulai dari perencanaan, implementasi hingga monitoring dan evaluasi (monev). (Yohanes Handharu/Ast)