Catatan Perjalanan Task Force KBGO

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Dalam kurun waktu setahun TaskForce KBGO, sebuah platform organisasi dengan isu Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) telah melakukan kerja-kerja terkait dengan isu KBGO. Di sebuah talkshow bertajuk Rilis Catatan perjalanan TaskForce KBGO pada Selasa (24/5) Pitra Hutomo dari TaskForce KBGO menyampaikan apa-apa saja yang sudah dilakukan oleh pihaknya yakni : 1. workshop, 2. pertemuan merumuskan, 3. membuka kanal aduan, 4. mengelola data aduan, 5. menangani KBGO dan 6. Berdiam sejenak sebelum bergerak lagi.

Kanal untuk pengaduan TAskForce KBGO dibuka mulai 22 Maret 2021. Di sana tertulis data korban di antaranya mengapa dan bagaimana korban memahami kondisi. Selama satu tahun ini  total ada 170 pengaduan. Pengaduan tersebut terdiri atas data ; 117 menyebutkan umur, 38 tidak ditanya. Sedangkan pelapor  berusia antara 18 tahun hingga 40 tahun. Daerah asal pelapor berasal dari berbagai daerah : Jawa Barat 43, DKI Jakarta 35, Jawa Timur 22, Jawa Tengah 9. Yogyakarta 9, Bali 4 dan dari berbagai daerah termasuk seorang pengakses layanan pengaduan berasal dari Taiwan.

Jejak terminologi KBGO

Mengutip paparan narasumber Siti Aminah Tardi, Komisioner pada Komnas Perempuan,  Pelapor khusus kekerasan terhadap perempuan dalam laporannya, dari perspektif hak asasi manusia (A/HRC/38/47), kepada Dewan Hak Asasi Manusia (2018) tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan online, mengingatkan bahwa terminologi kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan online, mengingatkan bahwa terminologi kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan online adalah “terminologi yang masih berkembang dan tidak univocal.” Pelapor Khusus menggunakan beberapa definisi dalam laporannya, antara lain “kekerasan yang difasilitasi TIK terhadap perempuan” (“information and commmunications technology” (or ICT) , “kekerasan online terhadap perempuan” (“online violence against women”), kekerasan siber (“cyberviolence”), dan “kekerasan yang difasilitasi oleh teknologi” (“technology-facilitated violence”).

Rekomendasi Umum CEDAW 35 tentang Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan juga memperluas definisi yang ada Rekomendasi Umum 19, dengan menambahkan : “…Kekerasan berbasis gender terhadap perempuan (…) bermanifestasi dalam rangkaian bentuk yang beragam , saling terkait dan berulang, dalam berbagai latar, dari publik, termasuk pengaturan yang dimediasi teknologi.”Dan “Kekerasan berbasis, gender terhadap perempuan terjadi di semua ruang dan ruang interaksi manusia, baik publikmaupun pribadi (…) dan redefenisinya melalui lingkungan yang dimediasi teknologi,  seperti bentuk kekerasan kontemporer yang terjadi di internet dan ruang digital.”

Kekerasan Siber Berbasis Gender

“Setiap tindakan kekerasan berbasis gender, yang dilakukan didukung atau diperburuk sebagian atau seluruhnya karena penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), yang menyasar terhadap seorang perempuan sebagai korban, karena ia seornag perempuan atau memengaruhi secara tidak proposal terhadap perempuan, yang mengakibatkan, atau mungkin berakibat terhadap kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk atas ancaman tindakan berupa pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik terjadi di ruang publik atau dala kehidupan pribadi.” (Komnas Perempuan, 2021).

Jenis Kekerasan Seksual Berbasis Gender (KSBG)

Siti Aminah Tardi menyebut 10 jenis kekerasan seksual yang termaktub dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) meliputi ; Perkosaan ;Perbuatan cabul; Persetubuhan terhadap Anak, perbuatan cabul terhadap Anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap Anak; Perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak Korban; Pornografi yang melibatkan Anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat ekkerasan dan eksploitasi seksual; Pemaksaan pelacuran; Pindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual; Kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga; Tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan Tindak Pidana Kekerasan Seksual; dan  Tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan.

Ia menambahkan bahwa di dalam Pasal 14 tertulis tentang Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik, bahwa :  Setiap Orang yang tanpa Hak ;

a. melakukan perekaman dan/atau megambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetujuan orang yang menajdi objek perekaman atau gambar atau tangkapan layar, dan/atau

b. Mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual;

c. Melakukan penguntitan dan/atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi obyek dalam informasi/dokumen elektronik untuk tujuan seksual,

Dipidana karena melakukan kekerasan seksual berbasis elektronik, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Hambatan dan Tantangan Penanganan Kasus Kekerasan Seksual Berbasis Online (KSBO)

Tuani Sondang dari LBH APIK Jakarta memaparkan kasus-kasus kekerasan yang selama ini ditangani oleh pihaknya dan tiga jumah kasus terbesar padatahun 2021 ada pada KBGO, KDRT dan Kekerasan Dalam Pacaran (KDP). Ia mencatat latar belakang terjadinya KBGO di antaranya disebabkan oleh korban yang ingin mengakhiri hubungannya dengan pelaku karena relasi hubungan yang tidak sehat, kesepakatan untuk mengirimkan beberapa foto seksual untuk tidak disebarkan dan hanya untuk pribadi, mengirimkan foto-foto intim dengan iming-iming diberikan uang, bujuk rayu dengan menjalin relasi intim dengan korban, tren terkini menjalin hubungan dengan orang yang baru dikenal di media sosial, manipulasi relasi dengan korban, menggunakan ancaman penyebaran, diambil saat melakukan hubungan seksual, hubungan berlanjut dengan tekanan dan pemerasan.

LBH APIK Jakarta juga menemui hambatan dalam penanganan kasus KBGO yakni saat tahap pelaporan di kepolisian yang saat pemeriksaan tidak ditangani oleh unit PPA, alat bukti dianggap tidak cukup, kepolisian menanggapi tidak serius, korban dan pendamping diminta mencari alat bukti, kekhawatiran korban dilaporkan balik ole pelaku, dan keterbatasan teknologi dan SDM dalam mendukung upaya digital forensik. Hambatan kedua adalah kepolisian cenderung mengarahkan untuk mediasi, masih adanya ancaman dan tekanan secara verbal dari aparat kepolisian, ketika mediasi terjadi tidak ada jaminan pelaku tidak melakukan perbuatan lanjutan, penyidik mengarahkan proses mediasi tidak didampingi pendamping. Dan dalam proses sidik lidik, tidak ada perlindungan data pribadi pada barang milik korban seperti ponsel dan laptop. Selain itu ada hambatan saat penanganan kasus di persidangan : pemeriksaan saksi korban dilakukan secara terbuka, pertanyaan hakim dan kuasa hukum masih menyalahkan korban, penggunaan pasal tuntutan dari hasil putusan majelis hukum hanya menggunakan ketentuan sebagaimana dalam UU no 19 tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan hukuman yang rendah.

Lebih lanjut beberapa tips mencegah terjadinya KBGO/KSBO antara lain ; menggunakan beberapa akun untuk memisahkan hal pribadi dengan publik (misal : tidak menggunakan email pribadi dengan email untuk medsos), menciptakan password yang kuat dan nyalakan verivikasi login, cek ulang pengaturan privat di medsos, jangan sembarangan percaya aplikasi pihak ketiga misalnya di Facebook, hindari berbagai lokasi secara real time, jangan buka link atau attachment dari pihak yang tidaak dikenal, jaga kerashasiaan pin atau password, tidak memberikan foto/video yang sangat pribadi kepada pasangan, batasi meminjamkan ponsel kepada orang lain, segera mencari bantuan/pendampingan apabila mengalami kekerasan. (Astuti)