MHH Aisyiyah dan SIGAB Gelar Rangkaian Diskusi Akomodasi yang Layak Bagi Disabilitas dalam Proses Peradilan

Penilaian: 5 / 5

Aktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan Bintang
 

Saat ini semakin banyak terjadi kasus kekerasan pada perempuan dan anak disabilitas dan dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Dalam catatan lembaga Sigab Indonesia, tahun 2021 ada 60 kasus yang didampingi sedangkan MHH Aisyiyah pada tahun 2021 sebanyak 20 kasus kekerasan pada perempuan dan anak disabilitas. Selain hukum pidana,  hukum perdata pun  terkait hak waris, masih banyak dijumpai praktik di masyarakat yang merugikan penyandang disabilitas misalnya tidak mendapat warisan dan tidak jelas status dan kepemilikan harta warisannya. Peminggiran dan diskriminasi ini masih terus berlangsung. Hal itulah kemudian yang melatarbelakangi Majelis Hukum dan HAM Aisyiyah (MHH Aisyiyah) bekerja sama dengan Sigab Indonesia menyelenggarakan rangkaian FGD selama tiga kali, 20/5, 27/5 dan 3/6.

Dalam kesempatan diskusi pertama penyelenggara menghadirkan Muhammad Julijanto, kandidat doktor dan seorang dosen di IAIN Raden Mas Said Surakarta yang menyatakan bahwa tema terkait akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas dalam proses peradilan sudah lama digemakan oleh Sigab dan MHH Aisyiyah dan hal ini akumulasi dari gerakan disabilitas pegiat isu inklusi untuk membangun peradaban.

Kemudian lahirlah Peraturan Pemerintah (PP) nomor 39 tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan. Tahap awal dari pelaksanaan PP ini, Mahkamah Agung (MA) kemudian memiliki pilot project pada 50 pengadilan agama di Indonesia untuk menjadi peradilan inklusi termasuk kemudian Sigab bergerak bersama Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Polri. Di MA ada pokja yang saat ini sedang menyusun Perma dan Kejagung memiliki Pokja yang juga sedang mengusung Peraturan Kejaksaan Agung. Sedangkan di Polri sedang menyusun kebijakan internal sistem sidik lidik disabilitas berhadapan dengan hukum.

Menurut Julijanto, hukum di Indonesia adalah hukum positif dengan kepastian hukum untuk jadi hukum yang non sistemik. Misalnya untuk Tuli, korban kekerasan dan belum pernah bersekolah tidak mengamanatkan asesmen profil padahal ini sangat penting. Sehingga dalam PP nomor 39 tahun 2020 ini memuat akomodasi yang layak tentang modifikasi-modifikasi penyesuaian dengan melakukan penilaian personal oleh dokter, psikolog dan psikiater, serta peksos.

Adapun sarana dan prasarana meliputi : adanya perlakuan nondiskriminatif, tak membedakan apakah difabel atau bukan difabel dengan sikap ramah sesuai SOP, 1.Pemenuhan rasa aman, 2.Komunikasi yang efektif, 3.Pemenuhan informasi terkait hak peradilan dan pendamping wajib mengkomunikasikan. 4. Visual jarak jauh. Pada PP nomor 39 tahun 2022 ini pun memuat akomodasi yang layak terkait sarana dan prasarana untuk difabel netra, Tuli, wicara dan mental intelektual. Media terkait akomodasi tersebut misalnya papan Komunikasi Visual, media dan alat peraga, sarana mobilitas berupa kursi roda, tempat tidur beroda, mengurus pengobatan jika harus berobat, dan menentukan hasil penilaian personal.

FGD yang diikuti oleh 20 orang perwakilan dinas terkait, Aparat Penegak Hukum (APH) dan lembaga pendamping korban, mengakomodir pernyataan dari Tika dari UPT PT PAS yang mengakui bahwa lembaganya memiliki kompetensi yang masih kurang sehingga memerlukan jejaring di antaranya dengan MHH Aisyiyah dan Sigab salah satunya dengan membentuk Rumah Aman. PT PAS memberikan fasilitas layanan kesehatan non visum dengan pemeriksaan kespro yang terkaver, serta menyediakan mobilitas untuk menjemput klien. (Ast)