Setelah Penetapan UU TPKS, Lantas Bagaimana?

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Laili Nur Anisah, S.H, M.H, Dosen Viktimologi Universitas Widya Mataram Yogyakarta dalam zoom meeting yang dihelat oleh Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik (DMKP) UGM, Kamis (12/5) melihat peran masyarakat dalam kerangka hukum Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Bahwa undang-undang ini partisipatif yang pembuatannya melibatkan masyarakat sejak awal. Juga merupakan undang-undang yang memberikan porsi yang paling besar kepada masyarakat untuk masuk dalam proses hukum acara pidana, serta berisi tentang peran masyarakat dalam pencegahan dan penanggulangan TPKS.

Keterlibatan masyarakat dalam UU TPKS ini yakni dalam pendampingan korban ada pada pasal 26, penyumbang dana bantuan korban pada pasal 35, pelaporan kasus TPKS pasal 39, dan pihak yang melakukan identifikasi kebutuhan korban dalam proses pemulihan pada pasal 70, salah satu pihak yang wajib mendapatkan pelatihan dari pemerintah pada pasal 81, serta adanya peran pencegahan, pendampingan, pemulihan dan pemantauan TPKS pada pasal 85.

Dalam UU TPKS pasal 85 partisipasi masyarakat itu berada dalam upaya pencegahan dengan budaya literasi, sosialisasi, dan  penciptaan kondisi lingkungan. Pendampingan  dengan mendampingi korban selama proses peradilan, pemulihan berupa observasi kondisi korban, pelaporan kekerasan seksual, pertolongan darurat, pengajuan penetapan perlindungan. Di pemantauan yakni pemantauan selama proses penanganan kasus.

Namun begitu saat ini beberapa tantangan yang masih ditemui di masyarakat meyakini bahwa korban punya andil dalam kekerasan seksual. Pemikiran seperti ini yang harus diubah "sopo sing ra gelem ngerti gereh". Kedua adalah jika kekerasan seksual itu terjadi pada anak maka ada dorongan yang lebih besar. Hal itu dikarenakan adanya kerentanan yang terlihat dan tidak terlihat. Kerentanan yang terlihat adalah ‘oh ini masih anak-anak’. Kalau yang tidak terlihat misalnya pada pasangan yang toksik.

Laili Nur Anisah kemudian menceritakan pengalaman saat bekerja di sebuah NGO mendampingi kasus dan melakukan pemberdayaan terhadap korban yang kemudian sintas yakni dengan melakukan pendampingan kepada masyarakat. Lalu dari 10 orang dari masyarakat akan didapat 1 atau 2 orang yang bisa menjadi agen. “Pendekatan kami biasanya kalau dari awal harus pelan-pelan dan dengan cerita- cerita penuh kesederhanaan. Pendekatan juga bisa dilakukan dengan role play,”ungkap Laili.

Prof. Dr. Muhadjir M. Darwin : Masih Banyak PR

Prof. DR. Muhadjir M. Darwin, M.P.A Dosen Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik UGM dalam webinar menyatakan masih banyak PR dan untuk aturan turunan Peraturan Pemerintah (PP) Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). PR lainnya adalah sosialisasi kepada kepolisian dan pengadilan serta Aparat Penegak Hukum (APH) lainnya. Selain Sumber Daya Manusia (SDM) yang belum siap juga terkait dengan anggaran yang tentunya butuh pemikiran yang tidak sederhana.Ia juga mengimbau agar UU TPKS terimplementasi dengan baik perlu evaluasi secara politik. "Studi empiris secara cepat untuk jadi informasi kepada masyarakat bahwa harus ada evaluasi secara periodik,"tegasnya.

Sedangkan Defirentia One, S.IP.,M.Sc, Direktur Yayasan Rifka Annisa menyatakan bahwa UU TPKS ini, PP-nya harus dipastikan. Jika ada hambatan maka perlu melakukan refleksi dengan undang-undang terkait misalnya UU PKDRT yang beberapa kali Rifka Annisa melakukan kajian yakni tahun 2015,2019, dan 2020. Meskipun Undang-undang PKDRT implementasinya sudah 20-an tahun tetapi masih ada hambatan, ada kesenjangan kapasitas, minimnya anggaran, masalah struktural, dan poin-poin masalah yang ada di pelaksana. Hal tersebut membutukan kolaborasi dari berbagai pihak. Juga terkait kapasitas pemda (pemkab/pemkot). “Perbedaan di beberapa pemerintah yakni  masih memprioritaskan kepada kebijakan yang lain dan masalah perempuan dan anak dikesampingkan serta mereka tidak memiliki inisiatif membuat UPTD atau Pos Pelayanan Terpadu (PPT),” jelas Defirentia One. Menurutnya berkaca kepada UU PKDRT, masih belum bagus pelaksanaannya dan masih ompong bila dibanding Undang-Undang Perlindungan Anak yang memiliki aturan pelaksanaan yang lebih berpihak kepada korban. (Ast)