Wedangan IKA UNS : Tantangan Pelaksanaan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Vera Kartika Giantari, alumni Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret tahun 1984, ketua BEM dan  aktivis 98, merefleksi tantangan terkait terbitnya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seskual (UU TPKS) dalam webinar bertajuk Wedangan IKA UNS seri ke-105. Menurutnya, dengan disahkannya undang-undang ini tantantangannya adalah penanganan kasus kekerasan seksual menjadi ‘PR’ luar biasa. Selama ini tidak mudah bagi korban untuk mengaku bahwa dirinya jadi korban. Trauma korban menjadi tantangan tersendiri dan menjadi hal yang semakin berat ketika cara pandang di masyarakat masih bias dan memberikan stigma kepada korban, tidak ada dukungan, dan dianggap sebagai pihak yang salah.

Dalam proses penanganan kasus, penanganannya semakin berat, ketika dalam proses hukum tidak ada cantolan hukum yang  cukup kuat. Terlebih  cara pandang Aparat Penegak Hukum (APH) dan masyarakat dalam memberikan dukungan dan upaya penanganan kasus secara hukum. Ketika RUU TPKS kemudian disahkan menjadi undang-undang, satu hal yang menyejukkan khususnya bagi korban untuk dia sampai ke pemulihan. Korban sering tidak  dilindungi sampai pada proses pemulihan korban, baik secara fisik, psikis, ekonomi, dan sosial.

Pengalaman Vera Kartika di 20 tahun lalu, bagaimana Kota Solo yang waktu belum memiliki Pos Pelayanan Terpadu (PPT), sebuah lembaga yang terintegrasi, yang memberikan pelayanan, perlindungan dan pemulihan pada korban, lalu sekarang ini mengalami naik turun, artinya pemahaman APH naik turun,  upaya keseriusan juga naik turun. Ternyata di hampir banyak tempat mengalami hal sama, misalnya dulu dirinya pernah di komisi penanganan perempuan dan anak korban serta gender atas kekerasan, proses penanganannya terkait cara pandang yang masih sangat lemah dan bagaimana mereka mencoba perdamaian dan menganggap kasus selesai. Dengan dibayar sekian juta yang belum tentu uang itu untuk pemulihan korban, atau yang lebih parah, korban dan keluarga dianggap sebagai aib bagi keluarga, masyarakat dan sekolah hingga korban diminta pindah dan keluar dari kampung, sehingga korban tidak nyaman dan harus keluar dari situasi itu.

Penanganan bagi kasus kekerasan seksual, perlindungan dan pemulihan korban masih jadi tantangan saat ini. Ada empat hal yang akan jadi upaya penting untuk korban yakni, dukungan secara psikologis bagi korban dan keluarga korban karena pelaku kekerasan seksual orangtua, saudara, paman, pakde, atasan, atau gurunya. Penting juga terkait pendampingan psikososial dan psikologi. Ketiga adalah cara pandang APH dengan menyalahkan korban, atau korban punya pengalaman kekerasan seksual dengan tidak pengalaman. ‘PR’ besar adalah pemulihan bagi korban.

Selama ini kasus diselesaikan secara ingkrah dianggap selesai padahal bukan hanya tentang kekerasan terhadap korban saja semestinya, tetapi proses hukum tidak betul-betul berpihak kepada korban misal menyalahkan korban, mengeksploitasi lagi dengan bahasa yang menghina atau merendahkan korban, dan itu banyak terjadi sampai putusan. Terkait pemulihan penting juga berkaitan upaya reintegrasi sosial, termasuk pemulihan ekonomi korban.

Hadirnya Undang-Undang TPKS Menjadi Barometer Peradaban Seksualitas

DR. Muhammad Rustamaji yang juga menjadi narasumber di webinar ini menyatakan bahwa urgensi munculnya Undang-Undang TPKS yang di pasal 4 sudah memperluas, sebab di Undang-Undang  PKDRT hanya ada 4 jenis kekerasan dan di UU TPKS ini ada 9 jenis sehingga  ada barometer baru yang menerangi ruang-ruang senyap yang peru diterangi, terkait pelecehan seksual non fisik, fisik, pemaksaan kontrasepsi, strerilisasi, pemaksaan perkawinan, eksploitasi perbudakan seksual dan kekerasan berbasis teknologi elektronika.

Mengutip  “hukum demikian cair, ada batas yang kita bisa melampaui” DR. Muhammad Rustamaji kemudian menyatakan bahwa ada kondisi berbasis relasi kuasa, guru dengan murid, dosen dengan mahasiswi, yang selama ini ada di ruang- ruang aktual, menerangi hal yang tidak dijangkau di RKUHP dan Undang-Undang PKDRT. Poin pentingnya ada keberpihakan kepada korban. Kembali mengutip bahwa “hukum dikatakan progresif ketika hukum melihat yang lemah”, di sini korban tidak hanya perempuan, karena juga bicara gender. Poin-poin tersebut adalah : 1. Penyidik tidak perlu lagi menolak suatu perkara, 2. Tidak ada restoratif justice yang acapkali jadi dalih, tameng, penutup yang jadi perdamaian semu sehingga kasus tidak dianggap, 3. Berkaitan dengan barang bukti bisa digunakan sebagai bukti, 4. Kewajiban restitusi yang selama ini tidak diaplikasikan, diaplikasikan di  Undang-Undang TPKS ini  misalnya nantinya  LPSK ketika bisa mengakses trush  fund, ada peran negara untuk menghadirkan dalam dukungan, dan ketika negara yang mendukung  maka jadi menarik.

Hadirnya Undang-Undang TPKS menjadi barometer peradaban  seksualitas bernegara bagi anak-anak bangsa, untuk tidak lagi melecehkan seksualitas tubuh.  “Kita tidak boleh sembarangan bercanda berkaitan gender dan seksualitas, sehingga tidak menjadi manusia yang dehumanisasi,”pungkas DR. Muhammad Rustamaji.(Astuti)