Konferensi Pers Berkaitan Catatan Substansi dari RUU-TPKS

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual adakan konferensi pers terkait catatan kritis atas sidang pembahasan RUU TPKS, Selasa (5/4). Konferensi pers diikuti oleh 100 anggota jaringan, media dan perempuan pembela HAM.

Anis Hidayah dari Migrant Care menyatakan meski ada susbtansi yang belum disetujui dalam pembahasan kemarin, yang hadir juga ada teman-teman jaringan, RUU TPKS ini kalau jadi undang-undang, yang jadi ujung tombak teman-teman daerah. Tentu sebagai bagian jaringan ini apresiasi pemerintah dan DPR, satu draft yang disepakati, yang jadi payung hukum jaminan, perempuan  anak dan disabilitas. Dari bentuk kekerasan seksual, kita ingin semua diakomodasi dalam undang-undang, sayangnya ada beberapa tidak terakomodasi, tapi dipasal 4 ayat 1, ada 9 bentuk KS, sudah disepakati : pelecehan seksual non fisik, fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, penyiksaan seksual, perbudakan seksual, kekerasan seksual dengan sarana elektronik, eksploitasi seksual, dan pemaksaan perkawinan.

Dua bentuk pemaksaan aborsi dan perkosaan belum masuk, meski di pasal bridging ada tentang: perkosaan,  perbuatan pencabulan, eksploitasi terutama terhadap anak, pelacuran, Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), kekerasan seksual di ranah keluarga, pencucian uang, tindak pidana yang penuhi unsur dalam ruu ini, bentuk kekerasan seksual terakomodasi.  Yang bikin kita kecewa, pemaksaan aborsi dan pemerkosaan dari 9 bentuk dari RUU TPKS ini dari sisi pidana cukup beragam sanksi :  pelecehan fisik non fisik 9 bulan ditambah denda 10 juta, pelecehan fisik 4 tahun denda 10 juta, pemaksaan kontrasepsi ancaman pidana maksimal 5 tahun denda 10 juta, pemaksaan sterilisasi 9 tahun dena100 juta, penyiksaan seksual 12 tahun denda 200 juta, Ada satu lagi pemberatan pidana pelaku pejabat publik, pendidik tenaga medis, pemuka agama, diperberat ditambah 1/3. Ini menjadi salah satu ‘nyawa’, banyak kekerasan seksual terjadi di pesantren di seluruh Indonesia dan banyak yang tidak  terungkap.

Asfinawati lebih mempersoalkan hukum acara.  Terkait perkosaan memang di dalam DIM terakhir disebut tindak pidana seksual lain, ada pasal tapi unsur akan dibahas di lain,  yakni RKUHP, namun di RKUHP ada tukar-menukar pastinya banyak kepentingan, berat sekali mendorong rumusan yang progresif meski naskah yang terakhir lebih bagus dari yang lain. Terkait menyuruh dengan ancaman agar orang tersebut atau pihak lain melayani keinginan seksual orang yang mengancam itu, sexual chatt dll, misalnya  peretasan sudah ada UU ITE padahal UU  ITE netral. Rata-rata kasus-kasus yang di hadapi oleh  koalisi masyarakat, mereka para korban dijadikan pelaku. Peretasan ada di pasal 31 ayat 2 dan bukan spesifik tujuan seksual, termasuk yang ungkap foto seksual akan menimbulkan dampak yang lebih besar. Membuat akun/konten palsu tanpa persetujuan karena kasusnya banyak, misal dia menerima ‘dipesan’,  sexual grooming juga tidak ada di RUU ini. Soal naskah rapat panja kemarin  sudah mengakomodir tindakan kekerasan seksual berbasis cyber dengan ancaman, ada yang satu tidak tertulis yakni mempermalukan. “Jangan lupa ini terkait martabat manusia, termasuk bullying. Social grooming sudah masuk ternyata, tapi mempermalukan belum,” jelas Asfina.

Asfinawati menambahkan bahwa  sebagian besar ketentuan progresif, dan sebetulnya ada di dalam bagian hukum acara, termasuk restitusi dan pelayanan terpadu. Tapi ia tidak akan bahas pasal itu dan memilih membahas, pertama: pasal 38 demi kepentingan umum jaksa minta ketua PN untuk menghapus konten elektronik  ini belum jelas di ranah siapa, karena kalau UU ITE masih umum. Pertanyaannya apakah ketika kasus ini di kepolisian,  polisi akan menggunakan wewenang pada dia untuk meminta jaksa atau ketua PN, padahal dalam kekerasan seksual cyber adalah menyebarnya konten ini.

Lalu pada pasal 46 pasal, yakni pasal yang bagus, sayangnya ada kata ‘dapat’ tafsirnya tidak wajib, bisa ya bisa tidak. Kecenderungan tidak perlu karena menambah beban. Dalam undang-undang hukum acara pidana, disebutkan tersangka atau terdakwa ‘segera’: diadili, karena kata ‘segera’ tidak dipahami, maka penahanan dilakukan sampai waktu maksimal.

Apa yang dimaksud mempertimbangkan ‘keadaan khusus’ yang melatarbelakangi tindakan perkosaan? Kalau latar belakang dendam karena pelaku dendam orangtua korban, kalau begini apakah hukuman bisa lebih ringan? Asfinawati juga memberikan komentar sedikit umum, di isu disabilitas yang akan lebih detil  ketentuan ini sudah memberikan reasonable acomodation tapi ada pasal tertentu yang bisa jadi bias, pendamping jadi ‘wajib’ ada. Pertanyaan ‘wajib’ diserahkan kepada siapa? disabilitas ada yang sangat berdaya dan tidak perlu pendamping. “Kalau wajib dipenuhi negara dong, ketika tidak ada pendamping kasusnya tidak bisa dilanjutkan. Kata wajib jadi bias di sini,”pungkasnya.  

Sri Nurherwati terkait restitusi, memastikan RUU ini memang menjawab tantangan perlakuan kekerasan seksual selama ini. Ia memberi apresiasi atas upaya DPR dan pemerintah dan berharap supaya susbtansi berpihak pada korban, karena dalam pembahasan antara panja dan pemerintah sangat  akrobatik. Ia  memastikan RUU TPKS ini mengandung 6 kunci tindakan khusus,  lex specialist dari lex specialist  yang ada, yang bisa ada perubahan hukum.

Catatan kritis terhadap naskah panja berdampak ke korban dengan tujuan akhir adalah pemulihan.  Masukan ini penting agar dalam proses perumusan dan sinkronisasi lebih dimantapkan. Banyak kemajuan dalam pembahasan restitusi yang semula hak korban lalu pindah tambahan, kemudian  disepakati restitusi adalah hak korban untuk dapat pemulihan, yakni pengakuan. Kunci dalam memastikan implementasi restitusi dan menyiapkan dana korban terutama perempuan, anak dan disabilitas menjadi afirmasi yakni APH memberi informasi terkait restitusi, lelang harta pelaku untuk restitusi.  Batasan dan lelang sita jaminan restitusi dalam 30 hari. Jangan sampai keluarga pelaku menanggung restitusi, supaya dalam restitusi berdampak ada jaminan hak, jaminan istri, orangtua terhadap kewajiban membayar restitusi. Penting jadi catatan dan direnungkan serta  dikaji, meski dalam sinkronisasi, terkait ketika restitusi kurang, maka akan diganti kurungan. Harusnya tidak lagi deal penjara pengganti, tapi ini tetap tidak konsisten kalau Lapas penuh.

Di diskusi jaringan tanggung jawab restitusi ditanggung oleh pelaku. Praktik selama ini LPSK mengacu ketentuan tersebut, kompensasi ini bisa untuk bayar restitusi. Dalam fakta LPSK kesulitan dalam mengeksekusi, dalam presensi  hanya sekian persen dari putusan maupun permohonan yang diajukan. Ada juga masih menunggu keluarga apakah pelaku sudah membayarkan atau belum. Ketika ada putusan untuk terdakwa diberitahukan, maka dieksekusi, kalau sita restitusi sudah ada maka lelang penetapan penagihan, hasil diberikan kepada korbannya. Penting dalam restiusi ini di dalam pasal-pasalnya bertambah dan memperjelas. Hanya perlu dilihat kembali pengaturan restitusi ini diatur di PP atau saat pengajuan menyandarkan kepada undang-undang yang berlaku.  Soal pemantauan, akan ada keterlibatan lembaga HAM yang  mengeksplesitkan Komnas Perempuan, Komisi Nasional Disabilitas  (KND) dilibatkan dalam upaya sebagai mandat.  

Ratna Batara Munti,  terkait layanan terpadu, ia menggarisbawahi hal penting dalam capaian dan kritisi, serta  tantangan dalam implementasi. Pihaknya diundang Kementerian PPA, untuk mendengarkan apa konsep layanan terpadu, dan sudah dikonsolidasi UPT-UPT.  Apakah konsep one stop service tercermin di hukum acara? Dilihat dari mulai proses pelaporan di pasal 26 dan 31 di pemerintah. Yang perlu diapresiasi terkait pelaporan di pelayanan terpadu bagaimana peran tenaga layanan, yang jadi  bagian dari lembaga layanan terpadu, lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat. Selain itu tenaga medis/kesehatan yang bisa menginformasikan adanya dugaan kekerasan seksual, mereka wajib pendampingan dan pelayanan terpadu. Pasal 28 pelaporan di ruang khusus, penguatan psikologis, UPT dan lembaga layanan wajib bikin laporan 3x 24 jam. Ini terkait one stop service  jelas belum bicara. Mengapa harus 3x 24 jam? Jelas belum terintegrasi, karena korban butuh dipulihkan. Dari  hasil penggalian informasi harusnya sudah cukup jadi dasar, jadi tidak perlu lama menunggu korban pulih.

Dengan adanya penyebutan lembaga lain wajib menerima dan melaporkan tentu saja pemerintah harus siap karena kedudukan mereka sejajar, dan tidak hanya bisa disebutkan di undang-undang.  Mereka harus di-support oleh anggaran yang memadai. Itu jadi catatan disebutkan di pasal 35, koalisi  ingin ada tambahan ayat, bukan masing-masing jalan sendiri. Tapi keterpaduan layanan yang belum berhasil dieksplisitkan, dalam pemeriksaan, panja kemarin isu isu di luar DIM bisa dibahas tapi kemarin terlalu cepat. ‘layanan soal pembatasan gerak pelaku dan perlindungan sementara, apakah usulan pemerintah seperti pasal 34 terkait perlindungan sementara dan perlidungan sementara apakah itu benar-benar dijalankan, di UU PKDRT sudah di-introduser.

Ratna berharap ada PP yang lebih mengeksplisitkan terkait sinergitas, yang benar-benar one stop  service sehingga korban tidak  ditanyai berkali-kali. Ini bisa diselamatkan lewat PP, yang koalisi usulkan satu atap, korban tidak usah ke mana-mana. Ia menambahkan usulnya sebenarnya banyak terkait layanan terpadu, restitusi, yang disebut cluster-cluster. Tetapi kemudian terkejut dari jadwal 4 hari ternyata  butuh 3 hari tambahan dan waktu yang efektif hanya 2-3 jam perhari.  Dari 558 DIM pemerintah yang dibahas pemerintah, DIM yang tetap tidak dibahas lagi ternyata 167,  68 redaksional tidak dibahas, ada reposisi 31 DIM, ada 260 DIM yang tidak dibahas, dan ada 332 DIM  yang dibahas dengan subtansi baru. Padahal saat membuat masukan-masukan, koalisi tidak melihat status, tapi isi RUU  diberi masukan, setidaknya setengahnya tidak bisa mereka ajukan. “kita pakai dengan memberi bahan dengan kirim WhatsApp, catatan-catatan. Kenapa tertatih? Karena DIM pemerintah baru didapatkan di tanggal 24 Maret kemarin. Karena belum resmi kita belum bisa menyisipkan. Yang jadi pertanyaan, kenapa kita tidak ditempatkan dalam relasi setara? Kami sangat kecewa, walau banyak pencapaian, tapi itu tidak setara karena kita menunggu lama. Kenapa kita sangat dibatasi di dalam mengawal RUU  ini?” ungkap Ratna sambil menahan air mata.

Ninik Rahayu, dengan konferensi pers ini berharap masih ada waktu untuk memperbaiki dari yang disampaikan narasumber Anis Hidayah, bahwa telah diakomodasi 7 dari rumusan tindak pidana kekerasan, dari rumusan 7 ini masih menyisakan ‘PR’.  Seperti disampaikan Asfinawati, meski rapat panja berakhir, hukum acara bisa jadi ciri khas yang harus dipastikan semua terakomodasi, karena nanti tidak menggunakan RUU KUHP. Ini  termasuk leason learn, seakan secara normatif bagus, tetapi dari praktik, korban alami kesulitan.  Yang juga menjadi pikiran adalah sangat membantu keterlibatan lembaga pendamping tampaknya masih memerlukan PP yang clear. Menurut Ninik, jaringan ini punya keterbatasan waktu untuk mempelajari pasal-pasal, sehingga berharap masih bisa diakomodasi oleh tim perumus. “Mudah mudahan di sisa waktu kita masih diberi kesempatan lagi, terakhir  terkait proses legislasi tidak berhenti di sini. Nanti dalam penyusunan PP dan Perpres, kita bisa ubah, ada pembelajaran yang baik apalagi PP hubungannya  dengan pemerintah, tentu lebih akomodatif lagi,”pungkasnya.

Anis Hidayati menambahkan bahwa ada enam hal ke depan yang akan dikawal oleh koalisi pascapengesahan 14 April yakni : 1. Bagaimanapun undang-undang  ini harus menjadi informasi dan pengetahuan publik lewat sosialisasi ; sekolah, kampus, pemda, CSO penting didatangi karena pastinya pemerintah jika punya program itu biasanya formalitas saja. 2. Aturan turunan, sejauh yang ada dalam catatan ada 5 aturan : restitusi dalam bentuk PP, layanan terpadu PP, penceganan tindak pidana kekerasan seksual  PP, pemantauan pasal 64 dalam bentuk PP, pendidikan dan pelatihan untuk petugas UPTD juga  PP. 3. Penguatan kapasitas dan perspektif petugas UPTD, pasal 16 dan  prasyarat APH dan pendamping berperspektif  penanganan korban HAM dan korban  serta disabilitas. 4. Jaringan ini sangat berkepentingan membentuk instrumen implementasi undang-undang  supaya tidak jadi macan kertas.5. Pemanatauan, 6. Rapor 3 tahun pascapengesahan.

Dede, mewakili dari penyandang disabilitas  mengakui baru kemarin mendapat hasil DIM yang sudah disetujui oleh DPR dan ia menyatakan kecewa karena banyak hak susbtansial luput. Ia juga susulkan dan sampaikan juga ke pemerintah pasal 19 ia usulkan, DIM pada 31 Agustus  tahun lalu yang mengecualikan disabilitas mental dan intelektual tentang kecakapan hukum bertentangan CRPD dan Undang-undang nomor 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas. Ia memberi masukan untuk pasal tersebut diubah dengan setidaknya penyandang disabilitas  diakui sama keterangannya dan kesaksiannya dari semua ragam, tapi sekarang muncul. Jika APH bisa meragukan kesaksisan dari disabilitas mental intelektual, ini semangatnya sangat jauh dari CRPD.

Dede juga menyampaikan bagaimana RUU ini bisa memastikan  pengawasan di panti karena kekerasan paling banyak terjadi di panti/asrama menjadi tempat aman bagi pelaku/petugas karena tidak ada mekanisme komplain. Baik pada individu maupun institusi. “Ini sangat mengecewakan, soal akomodasi yang layak juga tidak clear, karena akomodasi yang layak tidak dimaknai sebagai kebutuhan yang utuh/komplek. Bukan hanya kebutuhan fisik tapi soal layanan kalau tidak dipahami akan me-revictimisasi korban. Sekarang yang perlu di-clear-kan apa yang perlu kita lakukan. Kami merasa di draft terakhir, bagi penyandang disabilitas banyak yang tidak terakomidir,”jelas Dede.

Mutiara Ika dari Perempuan Mahardhika memberikan apresiasi kepada DPR  terutama aleg yang dalam  proses kemarin membantu untuk menggoalkan, mendorong agar RUU TPKS implementatif. Harapannya RUU ini jadi harapan atas terhambatnya kasus-kasus yang ada. Ika menyatakan kasus UNRI pelakunya dibebaskan dan ini sebuha pukulan bagi gerakan penghapusan kekerasan seksual di kampus. Kedua terkait perhatian yang cukup besar terhadap bentuk eksploitasi seksual dan bentuk pidana atas korporasi yang terlibat dalam tindakan tersebut, ini jadi harapan juga untuk mendorong pemerintah untuk meratifikasi konferensi ILO 190. Tentu RUU TPKS yang banyak isu tindak pidana di korporasi, untuk memperkuat di PP-nya. Memang ada yang perlu diapresiasi, dari aleg dan pemerintah cukup terbuka untuk menerima suara dari jaringan masyarakat sipil termasuk jaringan koalisi.

Ratna Batara  Munti kembali menegaskan, mengapresiasi panja dari DPR, ada 14 anggota yang rutin dan rajin yang setiap hari dikirimi broadcasting (BC)  dari koalisi/jaringan. Beberapa nama tersebutlah Luluk Nur Hamidah, Esti Wijayati, Supriansa, Hendrik, Christina Aryani,dan  ketua panja Willy Aditya. Tidak ada yang resisten hampir semua menyampaikan hal secara konstruktif, dan prosesnya berbeda dari periode lalu. “Tidak ada yang hoaks. Dari Wamenkum, kita kirimi WA, kita tiap hari sambangi mereka, senang dengan masukan kita. Kita tetap apresiasi proses, tentu ada yang kita sebutkan, pertama hadir 25 orang, yang lebih dari 2 hari, sampai 3-4 hari anggota panja. Dan ada penegasan dari Pak Willy dan Supratman bahwa ini tidak bicara kesusilaan,” jelas Ratna.