Kekerasan Seksual dan Pelayanan Pendampingan Terhadap Korban

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Fenomena kekerasan seksual semakin hari semakin meningkat angkanya, bahkan kekerasan seksual yang terjadi di ranah perguruan tinggi. Menurut Andayani, dari Pusat Layanan Terpadu Pelecehan Seskual UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam webinar yang dihelat oleh Ikatan Mahasiswa Universitas Terbuka (IKMA UT) Jateng, Minggu (27/3) kekerasan seksual adalah sebuah tindakan yang berkonotasi seksual, tidak disetujui korban, korban diam karena takut dan berada dalam situasi mengancam karena relasi kuasa yang timpang. Jenis kekerasan seksual  terdiri dari fisik, non fisik, online. Seringkali kekerasan seksual online diremehkan, padahal tindakan ini sangat membahayakan dan terekam dalam jejak digital. Prevalensi dari Komnas Perempuan saat ini ada 150 kasus per tahun dalam rentang 2015-2020 (hanya kasus perempuan saja, belum termasuk korban laki-laki).

Kekerasan seksual seperti fenomena gunung es, apa yang mampu disimpulkan dari korban masih sangat sedikit dari apa yang sebenarnya dialami oleh korban. Kekerasan seksual terlihat seperti spektrum, dari yang bukan sentuhan (mengintip, catcalling, mempertontonkan alat kelamin, menyebarkan gambar-gambar bernuasa seksual atau komentar-komentar verbal) ke yang sentuhan (mencolek, mencium, sampai penetrasi).

Siapa saja dapat menjadi pelaku tanpa melihat latar belakang agama, umur, jenis kelamin, status sosial. Yang rentan adalah anak, perempuan, disabilitas, dan kelompok minoritas atau marjinal. Kekerasan seksual terhadap anak masih sangat tinggi karena anak cenderung mudah dimanipulasi, lemah secara fisik dan non artikulatif (lugu, tidak bisa berkata-kata, dan tidak memiliki pengalaman seksualitas). Pelaku biasanya mencari target yang paling gampang dan kemungkinan tidak speak-up sehingga biasanya sasarannya adalah anak-anak yang pendiam dan tidak memiliki banyak teman.

Laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual akan mengalami stigma sangat buruk dari masyarakat karena sudah ada internalisiasi nilai-nilai budaya maskulinitas sehingga laki-laki cenderung malu dan menyalahkan dirinya sendiri. Banyak laki-laki korban kekerasan yang tidak speak-up. Satu dari lima perempuan dan 1 dari 16 laki-laki menjadi korban kekerasan seksual di kampus. OSPEK menjadi kegiatan yang paling banyak menjadi penyebab kekerasan seksual karena ada relasi senior dan yunior. 90% pelaku kekerasan seksual di kampus adalah temannya sendiri dan 50%nya dalam pengaruh alkohol.

Dari banyaknya kasus kriminal, kasus kekerasan seksual masih menjadi kasus yang jarang dilaporkan karena minimnya saksi dan korban cenderung takut disalahkan bahkan oleh APH melalui pertanyaan pada saat pemeriksaan. Ada situasi bisu dari korban kekerasan seksual, sehingga kita harus memecahkan kebisuan dengan cara stop menyalahkan korban.

Definisi trauma adalah luka psikologis akibat kejadian yang tiba-tiba sehingga seseorang susah mengelola emosi sampai mengalami gangguan kesehatan mental. Orang yang mengalami trauma akan mengulang-ulang peristiwa tersebut dalam pikirannya dan akan sangat mudah terpicu jika ada hal-hal yang mengingatkan kejadian traumatis tersebut bahkan ketika sedang tidur. Pendampingan bisa dilakukan mendengarkan, memberikan atmosfer yang aman, tidak menghakimi, dan memberikan dukungan emosional.

Nur Laila Hafidhoh narasumber dari LRC-KJHAM menceritakan pengalamannya terkait pendampingan kepada korban kekerasan seksual yang tak jarang menemui hambatan antara lain : Banyak kasus hanya berhenti pada tahap konseling, korban diminta mencari bukti sendiri khususnya untuk kasus-kasus KBGO, hambatan akses informasi perkembangan kasus dari awal sampai putusan, banyak kasus yang diarahkan untuk adanya pernikahan antara korban dengan pelaku, biasanya disarankan, didesak, dan difasilitasi oleh perangkat desa maupun kepolisian, banyaknya perkawinan anak korban kekerasan karena orang tua takut menerima stigma dari masyarakat, korban menjadi pihak yang paling banyak menerima stigma dari masyarakat seperti disalahkan, disudutkan, ditanya berulang-ulang dan dibentak, korban justru dikeluarkan dari sekolah maupun pekerjaan, mayoritas kasus kekerasan seksual diperguruan tinggi yang didampingi oleh LRC-KJHAM.

Kasus yang dihadapi oleh LRC-KJHAM tahun 2019 beberapa mahasiswa dipacari, dilecehkan dan diperkosa oleh dosennya. Tahun 2020 ada kasus mahasiswa dipacari dan diperkosa oleh senior di organisasi kemahasiswaan. Tahun 2021 mahasiswa dipacarai kemudian diperkosa, dieksploitasi dan diancam dibunuh oleh dosennya serta mahasiswa yang melakukan pelecehan seksual terhadap istri temannya dengan cara mengintip ketika mandi kemudian melakukan onani dan memasukkan spermanya ke dalam makanan istri temannya. Tahun 2022 mahasiswa dipacari oleh mahasiswa seniornya, dinikahi tanpa wali dan diajak berhubungan seksual oleh dosennya

Rata-rata kasus di perguruan tinggi tidak diungkap karena korban mendapat tekanan dari kampus untuk tidak membuka kejadian yang dia alami dengan alasan demi menjaga nama baik kampus. Ada praktik baik juga, yakni salah satu kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi yang ada Jawa Tengah dan korbannya mendapatkan dukungan yang sangat luar biasa dari pihak kampus. Setelah mengetahui bahwa ada mahasiswanya yang mengalami kekerasan seksual oleh dosennya maka pihak fakultas segera mengadakan rapat dan menghubungi lembaga layanan (LRC KJHAM) dan pada akhirnya dosen yang bersangkutan dikeluarkan. Pihak kampus juga memberikan dukungan dengan mencarikan fasilitas rumah aman karena korban mendapatkan ancaman serta memberikan bantuan perangkat elektronik untuk pembelajaran agar tidak dapat terlacak oleh pelaku.

Tantangan juga dialami oleh pendamping karena mendampingi korban kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi juga menjadikan pendamping mendapatkan intimidasi dan tekanan dari pihak kampus.

Ada beberapa strategi pencegahan antara lain melakukan kajian dan pemetaan, misalnya melalui survei atau melalui kerjasama dengan lembaga layanan pendamping korban, integrasi nilai-nilai kemanusian dalam kurikulum tentang bagaimana menghormati martabat manusia, diskusi-diskusi tentang pencegahan kekerasan seksual, edukasi tentang kekerasan seksual dalam ruang-ruang seperti penerimaan mahasiswa baru, KKB, PKL, PPL, dsb, informasi melalui website, media sosial, dll

Sedangkan strategi penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi bisa berupa : Layanan pengaduan (langsung, tidak langsung, penjangkauan), layanan konseling – peer counsellor, layanan medis dan psikologis, layanan bantuan dan pendampingan hukum, layanan reintegrasi sosial, Layanan rumah aman dan layanan rujukan. (Dorkas Febria/Ast)