Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi RUU-TPKS, Penyintas Kekerasan Seksual dan FPL Gelar Konferensi Pers

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Jaringan Masyarakat Sipil (JMS) dan Forum Pengada Layanan (FPL) bersama penyintas kekerasan seksual yang berada di wilayah Indonesia dari Aceh sampai Papua adalah jaringan yang mengaggas dan mengadvokasi Rancangan Undang-Undang Tindakan Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) sejak tahun 2015 sampai saat ini.

Pada Senin (4/4) jaringan ini menggelar konferensi pers yang diikuti oleh 81 peserta terdiri dari anggota jaringan, pemerhati, dan media. Mengapa jaringan ini dibentuk salah satunya agar advokasi isu pengesahan RUU TPKS bukan hanya dilakukan oleh perempuan saja dan bukan Jakarta sentris. Dan dalam konferensi pers ini, beberapa perwakilan dari jaringan mengemukakan berbagai masalah dan tentunya usulan yang akan menjadi bahan untuk advokasi kepada pemerintah dan panja di DPR. Dan dengan waktu yang sangat mepet, sangat berharap usulan-usulan ini masih bisa diakomodasi. Beberapa pernyataan dari anggota jaringan tersebut yakni :

Suster Ika, dari TRUK-F Maumere,  menyatakan bahwa FPL sangat luar biasa untuk mendorong disahkannya RUU TPKS. Ia memberi apresiasi kepada DPR dan pemerintah untuk melibatkan masyarakat sipil terlibat dalam  pembahasan materi RUU TPKS. Ia mengatakan bahwa  regulasi ini berjalan sudah lama dari 2016. Ia berharap semoga tahun ini regulasi yang berpihak kepada korban disahkan karena membawa kabar gembira, secercah cahaya bagi korban. Ia mendukung karena terutama dari Ende dan Sikka daerah layanan TRUK-F, kasus kekerasan perempuan dan anak setiap tahun meningkat, dari data yang mereka punya tahun  2020 sebanyak 114 korban kasus kekerasan seksual dan tahun  2021 ada 93 kasus.  Tidak semua diproses hukum karena ada unsur yang tidak bisa dipenuhi dan masih ada APH berdalih mau sama mau, kasus pada dewasa hampir pasti tidak diproses hukum. TRUK-F mendorong agar segera disahkan dan mereka mengapresiasi kepada pemerintah dalam pembahasan sebelumnya membahas layanan terpadu. “Kami berharap dari jaringan masyarakat sipil, perjuangan didengarkan dan usulan disampaikan hari ini diakomodir pemerintah dan DPR ini mensahkan. Kami dari Maumere terima kasih banyak,”terang Suster Ika.

Laila dari Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK), di Aceh, tidak jauh berbeda dengan di Maumere. Mereka di Aceh terkait kasus perkosaan, data dari Dinas Syariah Islam, kasus kekerasan perkosaan berjumlah 100 kasus, selain kasus inces, ada dua kasus yang membuat tercengang karena pelaku dibebaskan di tingkat banding.  Walau dalam kasus tersebut disomasi kembali, pelaku tetap dihukum. Ini merupakan pengalaman buruk di Aceh, ketika pelaku dihukum di tingkat kota namun saat banding dibebaskan. “Kami dari FPL berharap perkosaan bisa masuk di RUU TPKS. Perkosaan jadi penting karena mengatur lebih detail soal penghukuman pelaku, dan hak-hak korban terpenuhi. Soal eksploitasi seksual juga sangat penting masuk RUU TPKS, karena banyak kasus ditangani FPL di berbagai wilayah,”ungkap Laila,  

Purwanti dari Koalisi Organisasi Perempuan Disabilitas menyampaikan  mendukung pengesahan RUU TPKS, karena penyandang disabilitas rentan kekerasan seksual. Purwanti mendampingi 32 kasus, 95%-nya adalah kekerasan seksual yakni perkosaan. Kekerasan seskual  tidak hanya dialami perempuan disabilitas, tetapi juga laki -laki disabilitas, mengalami pemasangan kontrasepsi paksa, menjadi pelaku ternyata dia juga  korban dengan mengalami sodomi dan paparan film porno.  Persoalan yang dihadapi  teman-teman disabilitas, terkait RUU TPKS pihaknya mengajukan usulan-usulan : 1. Perempuan dan anak dengan disabilitas menjadi isu strategis dan perspektif RUU TPKS, 2. Pengakuan kapasitas hukum disabilitas sebagai subjek hukum yang cakap, ketika mereka jadi korban kekerasan seksual, karena sedikit saksi, ketika teman disabilitas tidak diakui kapasitasnya maka kesaksian tidak dianggap/tidak cakap hukum, 3. Aksesibilitas dan akomodasi yang layak di setiap tahapan penanganan, pencegahan, pemulihan dan perlindungan serta pencegahan bagi penyandang disabilitas, 4. Jaringan stakeholder strategis sebagai sistem rujukan dan penanganan, pemulihan, perlindungan dan pencegahan, 5. Partisipasi bermakna disabilitas terutama perempuan dan anak dengan disabilitas dalam kebijakan, layanan, dll, 6. Capacity building lintas sektor, 7. Penegakan hukum dan kebijakan hukum yang inklusif dan berkeadilan bagi disabilitas.

Nanda Dwinta, dari Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP), sangat mengapresiasi kerja-kerja teman-teman jaringan.  Ia menyatakan secara komprehensif bagaimana layanan terhadap korban kekerasan seksual, salah satunya, menginginkan tidak ada lagi krimininalisasi bagi korban aborsi. Saat ini pihaknya sedang mendorong, korban kekerasan seksual  bisa mengakses layanan aborsi aman, dalam Undang-Undang Kesehatan, aborsi tidak diperbolehkan, kecuali dengan alasan-alasan tertentu. Dari dua hal ini terlepas dari alasan lainnya, pemaksaan aborsi di luar alasan adalah bentuk pelanggaran sendiri di luar UU Kesehatan dan KUHP. YKP mendorong adanya layanan yang bisa diakses korban, sehingga korban tidak dikriminasilisasi. Secara komprehensif memastikan  artinya korban mengaakses aborsi, sedang layanan  sendiri sedang diperjuangkan. Pihaknya sedang menunggu Kemenkes, di mana korban bisa mengakses. Ini tantangan juga bagi korban untuk mendapatkan layanan komprehensif.

Catatan moderator, Dinov Novita, bahwa diskusi pemaksaan aborsi ini juga menjadi pembahasan, bagaimana hal ini harus dipenuhi oleh beberapa unsur dan dan norma. Yang penting adalah layanan bisa diakses bagi teman-teman yang mengalami perkosaan dan alami kehamilan, apakah dia menerima atau menolak kehamilan itu, dengan kesadaran apakah dia mau melanjutkan kehamilan atau tidak.  Yang dibicarakan  adalah layanan, apakah meneruskan atau menghentikan.

Zuma dari LBH APIK mengemukakan bahwa selama ini mereka telah bekerja untuk korban, ada banyak hambatan apalagi beberapa undang-undang tidak mengakomodir perempuan korban kekerasan dan menjadikan mereka rentan dikorbankan kembali. Kekerasan Berbasis Gender Elektronik (KBGE) meningkat tajam. Pada tahun  2021, mereka menangani aduan 498 kasus, kasus yang banyak  kemudian tidak dibarengi payung hukum yang memihak, justru korban KBGE rentan dikriminalisasikan memakai UU ITE dan UU pornografi. Dari sekian ratus kasus hanya dua yang sampai ranah hukum, korban lain tidak mau menempuh jalur hukum karena alasan  kriminalisasi.

LBH APIK mengusulkan kepada DPR dari FPL dikaitkan tindak pidananya, mendokumentasi KBGE, mengakses sistem elektronik untuk bisa dibaca dari jaringan masyarakat sipil dan FPL. Orang yang melakukan KBGE bisa dihukum 5 tahun, mendapat restitusi, kelanjutan pengawasan dengan sistem elektronik. Korban KBGE alami kerugian tidak hanya dunia maya tapi nyata, ada upaya penghukuman lain, ketika tidak ada jejak digital, yang diserang harkat dan martabat perempuan.  Mereka dikriminalisasi oleh aparat hukum dan masyarakat.  Ia menggambarkan bahkan tahun 2018 DPR menguatkan korban yakni kasus  Baiq Nuril. Di DPR, terkait KBGE, terkahir hari Sabtu (2/4) dipending kembali dan beberapa hal masih didiskusikan oleh DPR dan pemerintah karena beberapa norma yang belum disepakti, dan jaringan ingin ingin mendorong ini menjadi norma baru.

Ketua BEM STHI Jentera, Renie Aryandani, perwakilan dari generasi muda menyatakan di tengah lemahnya perlindungan hukum dalam merespon kasus kekerasan seksual, BEM Jentera masuk dalam jaringan muda Setara, aliansi dari berbagai kampus di seluruh Indonesia, di antaranya  yakni Sulawesi, Kalimantan , dan Bandung.  Hampir setiap hari isu kekerasan seksual jadi momok bagi teman mahasiswa, karena cemas yang tak berujung, masih ada teman mahasiswa takut ke kampus, yang kerap dihantui pihak kampus yang jadi aktor utama kampus yang terus melakukan pembiaran. Setiap saat ditemukan fenomena gunung es dengan banyaknya korban kekerasan seksual memilih diam karena banyaknya kerentanan yang melekat :  bersuara dibungkam dengan kriminaslisasi dan  somasi seperti yang terjadi di UNRI pelaku dibebaskan. Korban dan pendamping dihantui ancaman pelaporan balik.  Tantangan di kampus isu kekerasan seksual bukan prioritas. Mereka mesti bertarung di tengah maskulinitas rapuh, mesti hadapi pimpinan kampus, bahkan pimpinan mahasiswa. Ketika tidak bisa merebut maka sampai hari ini kampus-kampus belum pro aktif mendukung. Apalagi saat ini  Permendikbudrisrek  nomor 30 tahun 2021 ada upaya Juditial Review (JR) , ini tanda bahaya karena satu-satunya payung hukum. Tugas jaringan adalah mengawal. Jalan untuk menghapus kekerasan seksual sangat panjang, begitu terjal. RUU TPKS penting bagi mereka, dan mereka khawatir  generasi mereka merasa   tidak aman di fasilitas-fasilitas publik  karenanya  RUU TPKSharus  mengakomodir pencegahan, hadirkan kebijakan setara, hadirkan ruang aman, dan RUU  ini memastikan perlindungan bagi korban kekerasan seksual.

“Kami mendorong panja RUU TPKS untuk akomodir, yang sudah dijelaskan, masuknya pengaturan tindak kekerasan seksual berbasis elektronik sebagai bentuk pidana yang diatur RUU. Mestinya  ada jaminan layanan bagi korban yang berdampak aborsi mendapat akomodir dalam RUU, karena korban di lapangan, ada yang bahkan mengaborsi sendiri, hingga risiko membahayakan nyawa korban. Setelah korban melapor, korban dikriminalisasi. Kita butuh jaminan layanan aman bagi korban yang berdampak aborsi, ini bukan norma tapi mengutuk keras  kekerasan seksual. Kami berharap diselesaikan pembahasan tingkat 1, 2, dan seterusnya dan kami harapkan RUU TPKS disahkan. Ia harus berkualitas karena kalau tidak maka tidak bisa dipakai,” terang Renie Aryandani.  

Wiwik Afifah, dari Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) memberi apresisasi agar panja tetap bekerja dengan dukungan progresif nuansa kerja bersama dengan banyaknya perspektif bagi rancangan undang-undang yang melindung perempuan dan anak bahkan bukan hanya perempuan dan anak. Terkait perkawinan paksa yang telah disepakati bagian dari RUU, pihkanya akan berupaya memastikan hal-hal apa yang akan diatur dalam perkawinan paksa, sebab  perkawinan paksa melibatkan unsur ketidaksetaraan, dan relasi kuasa. Termasuk alasan budaya karena adat-istiadat terjadi di Indonesia, tidak hanya di Sumba.

Tidak hanya atas nama budaya, tetapi banyak faktor yang melingkupi bagaimana anak-anak dalam jeratan orangtua yang berutang, dalam fungsi pemaksaan perkawinan ini Indonesia belum memiliki hukum positif. Mengapa penting pemaksaan perkawinan diatur? Hak atas otonomi tubuh perempuan  untuk menyatakan bahwa dia memiliki hak untuk dikawinkan atau tidak untuk dikawinkan, atau dia menikah karena itu pilihan hidupnya. Bahwa banyak perempuan tidak memiliki hak atas otonomi tubuhnya. Ini yang harus diluruskan di masyarakat, seringkali konsen dilupakan. Hal lainnya dampak dari perkawinan paksa, adanya ancaman KDRT cukup tinggi, angka putus sekolah akan meningkat dan terus berkaitan dalam HAM berkaitan hak-hak berikutnya tidak terpenuhi. “Kami mendorong pembahasan ini oleh panja akan berlangsung dan kami dari jaringan sipil akan mengawal, bahwa klausul ini secara detail akan kawal dan semoga jadi poin penting dalam pembahasan ke depan,”terang Wiwik.

Dalam sesi diskusi konferensi pers ini, moderator menyatakan bahwa jaringan masyarakat sipil sudah menyerahkan Daftar Isian Masalah (DIM) sejak tanggal 24 maret 2022, dan ada beberapa hal masuk, peran serta lembaga layanna dan beberapa layanan penanganan. Menjawab pertanyaan Eben dari BBC terkait apa dampak dan implikasi jika perkosaan tidak masu di RUU TPKS? Dwinta menjawab bahwa dampaknya rentan korban alami krimininalisasi saat akses aborsi. Yang didorong ini adalah pelayanan legal dan aman. Maka dari itu harus ada integrasi masuk dalam layanan RUU TPKS.  Situasi saat ini teman-teman jaringan mendorong agar layanan ini tersedia dan ditunjuk oleh Kemenkes dan aman, tanpa alami kriminalisasi, bahkan bagi pendamping dan pemberi layanan dalam layanan aborsi aman, diatur bahwa layanan ini dengan konseling. Juga  keputusan ada di perempuan sendiri, di dalam UU sudah diatur, Justru tantangan ada di sana sekarang, tantangan ketika tidak diatur dalam RUU TPKS.

Prof. Sulistyowati Irianto memberi masukan bahwa memprihatinkan ketika dari 15 jenis kekerasan, lalu dipotong jadi 9 kekerasan kemudian menyisakan hanya 4 jenis kekerasan, termasuk yang dipotong perkosaan dan pemaksaan aborsi, dengan alasan sudah diatur di undang-undang lain. Ia menegaskan kalau kita menginginkan perubahan norma untuk melindungi korban, janganlah alasan itu menjadi kendala. Dua hal itu harus ada di dalam, kalau tidak dimasukkan maka undang-undang ini ada ketidaksempurnaan, yakni mengabaikan pengalaman dan realitas korban.  Sangat disayangakn bahwa tindakan yang paling krusial yakni perkosaan tidak bisa mausk.

Sonya Helen, jurnalis Kompas menyatakan bahwa kekerasan seksual berbasis elektronik  apa pun namanya (ada yang menyebut KBGO) mesti masuk dalam RUU TPKS. Kalau ia melihat maka ada  3 hal yang tidak dibahas tuntas, tidak lekat, kekerasan berbasis elekronik, apakah ada laporan di P2TP2A sebab diskusi ini belum muncul di Kementerian PPA atau belum dianggap penting oleh sebagian besar orang, maka  harus bersuara kencang dengan menampilkan fakta-fakta. Kita sedang berkejaran dengan waktu, untuk pengambil keputusan entah besok atau besoknya, bagaimana cara  bisa masuk, apakah teman-teman sudah melakukan pendekatan-pendekatan, bicara dengan mereka (panja dan pemerintah). Bahkan pendekatan di kampus yang memiliki pengalaman harian, siapa tahu bisa membuka mereka, dan mempengaruhi cara pandang. “Nanda bicara aborsi, momentum mengingatkan ada lho, UU Kesehatan, kenapa tidak pernah dipakai? itu lagi YKP dkk harus menyuarakan itu apalagi perbudakan seksual  kenapa lolos ini harusnya jadi momentum, apa yang bisa dilakukan dalam pembahasan akhir ini supaya suara ini bisa didengar?”

Pendekatan apa yang bisa dilakukan dalam “last minute”, Laila dari FPL menjawab bahwa pendekatan dilakukan ke anggota panja, yang berasal dari beberapa provinsi, dukungan berbagai kasus, termasuk DIM agar jadi bahan yang cepat mereka pelajari agar dimasukkan RUU TPKS , juga kampanye tetap intens. Di tingkat nasional mereka punya pendekatan sendiri dengan anggota panja.  

Lusi Peilouw menutup konferensi pers bahwa mereka membutuhkan teman media dan menekankan yang paling terakhir berusaha lewat media. Ia berharap forum konferensi pers ini digelar dan rilis, disuarakan secara masif karena ia percaya media ini akan diakses anggota dewan. (Astuti)