Data Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak, Pencegahan, dan Tantangan di Era Media Sosial

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Data kasus lima tahun terakhir Komnas Perempuan terkait kekerasan terhadap perempuan tahun 2017 sebesar 230.881, tahun 2018 sebesar 280.185, tahun 2019 yakni 302.685 tahun 2020 yakni 226.062, dan tahun 338.496. Sedangkan situasi Jawa Tengah mengalami dinamika terutama pada kasus perempuan dan anak di masa pandemi yang bisa saja disebabkan oleh tidak optimalnya mekanisme pelaporan karena terkendala oleh pandemi COVID-19.

Fitri Haryani, manajer program pada Yayasan Spekham pada saat peluncuran Catahu 2021 dalam webinar case conference pada Selasa (29/3) menyampaikan bahwa pada tahun ini lembaganya mengalami penurunan laporan dibanding tahun lalu. Jumlah pengaduan perempuan korban yang ditangani oleh Yayasan Spekham pada tahun 2019 sebanyak 64, tahun 2020 adalah 80 dan tahun 2021 sebanyak 2021. Sebaran wilayah korban paling tinggi di Kota Surakarta yakni 37 pengaduan dan kasus yang mendominasi adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) 40 kasus.

Sri Dewi dari Dinas Pemberdayaan dan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) menanggapi bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak seperti fenomena gunung es. Di dinas provinsi saja sampai bulan Januari 2022 sejumlah sudah ada laporan sebanyak 117. Dan kasus yang memprihatinkan adalah meningkatnya kasus kekerasan seksual. Di Provinsi Jawa Tengah, kasus kekerasan seksual masih tinggi. Padahal di tahun 2020 kasus paling tinggi adalah KDRT. Sri Dewi menegaskan bahwa kekerasan bisa terjadi di manapun.  Yang memprihatinkan adalah adanya data yang tidak dilaporkan tetapi angka kasusnya tinggi. Ia mengakui bahwa selama ini ada beberapa kendala dan tantangan di antaranya belum ada model pencegahan, belum ada sinergitas, masih ada keterbatasan SDM terkait psikologi dan belum ada politik anggaran yang berpihak kepada penanganan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Belum ada sistem yang  terbangun  dalam penanganan korban kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi masalah tersendiri. Kota Surakarta pernah mencatatkan ada dengan adanya Penangan Terpadu Perempuan dan Anak Surakarta (PTPAS) sejak tahun 2000, dengan melakukan MoU dengan pemerintah dan ada fokus penanganan hukum yang pendampingan hukumnya namun implementasi dan dinamika ada tantangan bagaimana penanganan secara berjejaring.

Indri Suparno, komisioner purna di Komnas Perempuan menyatakan bahwa di Komnas Perempuan sudah muncul keterpaduan layanan dan berjejaring dengan lembaga pengada layanan. Di Provinsi Jawa Tengah juga sudah ada. Namun  kelemahannya dengan perkembangan situasi dan kebijakan serta aturan hukum yang melihat dengan membangun sinergitas. Secara formal sudah ada namun, sistem yang telah integrasi belum ada.  Ia menyatakan bahwa saat ini ada kebijakan yang ada mestinya jangan egosektoral lagi, contohnya saat ini ada sistem pengadilan terpadu untuk kasus kekerasan seksual, bahkan ada Permen PPPA dan Permensosnya.

Ada pernyataan dari Argyo Demartoto, peneliti dan dosen UNS, bahwa menarik sekali tantangan dalam penanganan kasus terutama adanya media sosial. Terkait fenomena peningkatan kasus gugat cerai oleh perempuan, yang pada akhirnya akhirnya sadar gender dan berani speak up serta perempuan punya posisi tawar. Ada penguasaan perempuan atas kuasa tubuh termasuk kasus Dea Onlyfans ini yang juga harus dicermati oleh para pegiat perempuan.  Pernyataan Argyo kemudian ditimpali oleh Laili Nur Asiyah, moderator acara, bahwa penggunaan media sosial bagus untuk pencegahan kasus kekerasan namun media sosial saat ini juga menjadi bahan alat kendali yang bisa dijadikan alat untuk mencari uang.

Namun dalam Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), seperti yang diungkapkan oleh Indri Suparno, institusi tidak bisa bekerja sendiri dan KBGO perlu diwaspadai karena terkadang upaya yang dipilih malah mengancam terjadinya krimininalisasi pada korban. “Dalam merespon kasus-kasus kekerasan sudah ada prinsip-prinsipnya di teman-teman pendamping sudah ada itu termasuk membaca pilihan korban. Salah satu prinsip. Meletakkan pengambil keputusan korban,”terang Indri.

Pencegahan dengan Pentahelix

Dr. Rina Herlina Haryanti, dari PPKG LPPM UNS mengemukan tentang model pentahelix yang tepat untuk menangani kasus. Saat Indonesia berada di era revolusi industri 4.0 dan era society 5.0. Mau tidak mau media masuk dan menjadi new media. Untuk model pencegahan dengan media bisa melakukan pencegahan dengan kampanye berbasis data dari lembaga-lembaga seperti Spekham dan Komnas Perempuan. Media juga perlu berhati-hati untuk memperhatikan etika dan privasi terutama kepada korban. “Saat ini kita hidup dengan generasi campuran yakni X. Y dan Z, dan juga generasi Alpha yang menguasai komposisi penduduk maka pencegahan kekerasan perlu dilakukan dengan penyadaran penggunaan teknologi kepada gender apa pun,” pungkas Rina. (Astuti).