Kesetaraan Gender dan Krisis Iklim

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Ekofeminisme adalah tentang  filsafat, ideologi gerakan, dan narasi perempuan. Ketika berbicara spesies itu bukan pada ‘saya’ karena selama ini yang menyuarakan ekofeminisme bukan hanya perempuan. Paradigma moderen melihat gunung adalah benda mati padahal sebenarnya mereka hidup. Sungai adalah hidup dan nasib alam dan perempuan sama. Keterkaitan dengan perempuan, ada tiga hal kerja gratis perempuan di wilayah kerja domestik : Care work, domestic work dan impairment work.  Demikian paparan Dr. Phil. Dewi Candraningrum, dalam webinar yang dihelat oleh LP3ES Jakarta, Rabu (23/3).

Ketika sebuah rezim mendirikan pabrik semen berbiaya 5 Trilyun tidak dihitung jasa lingkungannya, oleh sebab itu maka harus ada Amdal.  Krisis iklim dilahirkan dari bencana iklim. Dulu istilahnya global warming atau pemanasan global dan sekarang krisis iklim. “Kita telah mengubah itu maka lahirlah sampah, pamanasan global, dan hama,” terang Dewi Candraningrum. Dan realitanya perempuan menjadi korban yang lebih banyak misalnya saat terjadi tsunami Aceh, perempuan jumlahnya empat kali lebih besar.

Lebih lanjut Dewi Candraningrum memaparkan terkait kehadiran ekofeminisme secara etimologi dimulai pada tahun 1970-an dan 1980-an sebagai akibat dari irisan dan gesekan dari teori-teori  dalam feminisme dan environmentalisme. Secara terminologis, ekofeminisme diperkenalkan oleh Francois d’Eaubonne dalam bukunya  Le Feminisme au la Mart (Feminism atau Kematian) yang diterbitkan pada tahun 1974. Dalam buku ini perempuan dan persoalan ekologis dikaitkan secara multidimensional (morgan,1992:4). Para pencetus teori di bidang ini antara lain adalah Rosemary Radford Ruether, Ivon Gebara, Vandana Shiva, Susan Griffin, Alice Walker, Starhawk, Sallie McFague, Luisah Teish, Sun Ai Lee Park. Paula Gunn Allen, Monica Sjoo, Greta Gaard, Karen Warren dan Andy Smith.

Ekofeminisme tidak hanya mengaitkan perempuan dan lingkungan, tetapi juga spiritualitas. Krisis dan kehancuran bumi merupakan  suara dari devaluasi bumi sekaligus devaluasi  perempuan (Spretnak, 1990:5-6).

Perempuan mulai melihat hubungan antara konstruksi kekerasan dan eksploitasi terhadap perempuan paralel dengan eksploitasi tanpa henti terhadap bumi oleh sistem ekonomi kapitalisme yang masih dalam kontrol sistem besar patriarki. Dalam patriarki, perempuan dan bumi adalah objek dan properti yang layak dieksploitasi (King, 1990).

Ekofeminisme merupakan “gerakan sosial”yang unik dan memiliki ideologi kuat dalam menantang pertumbuhan ekonomi yang tidak memperhatikan keberlanjutan ekosistem (Eisler, 1990: 23;Quinby,1990;127;Plant,1990:155;Van Gelder, 1989;Clausen,1991; nash, 1989;Warren,1990;Lahar,1991,Cuoco,1992; Salleh,1992).

Dewi kemudian menekankan bagaimana perempuan merawat dan bagi perempuan, merawat adalah melawan : menjelajahi perawatan yang diwujudkan dalam konteks dapur komunitas (Exploring embodied care in the context of the community kitchen), mempercepat interkoneksi , membangun dan mempertahankan hubungan (Fastering interconnection, building and sustaining relationships),  perawatan yang diwujudkan dan peran makanan (Embodied care&the role of food) , tantangan dan ketegangan yang terlibat dalam melaksanakan praktik perawatan (Challenges and tensions involved in carrying out care practices), hubungan antara lokal khusus/khusus  dan umum/”gambaran yang lebih besar (Connection between the local/particular&general/”bigger picture’), perhatian sebagai bentuk perlawanan (Care as a form of resistance).

Dewi melakukan penelitian pada Komunitas Utomo di Desa Grujugan, Banyumas Jawa Tengah dan sepak terjang Sukinah di Kendeng dan Magdalena Maria Nunung Purwanti di Surakarta yang memperjuangkan lingkungan tempat tinggal tergerus oleh kapitalisasi serta  mengancam ekosistem dan ketersediaan air.

Saras Dewi : Perempuan Sebagai Subjek, dalam Hal Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim

Menyoal perubahan iklim Dr. Luh Gede Saraswati, S.S, M.Hum atau lebih dikenal Saras Dewi, pengajar ilmu filsafat UI yang juga menjadi narasumber webinar menyatakan bahwa perubahan iklim melalui penelusuran filosofis dapat dipahami sebagai suatu fakta (dalam konteks epistemologisnya), namun perubahan iklim adalah krisis yang tidak saja menyergap sisi fisikal manusia namun juga eksistensinya (dalam konteks ontologinya). Perubahan iklim adalah persoalan etis manusia, tanggung jawab manusia terhadap tindakan dan aktivitasnya (dalam konteks fisiologisnya). Ekofeminisme sebagai perspektif : “Ekofeminisme menyatakan bahwa pohon, satwa, tanah dan air memiliki sistem berpikir dan berkomunikasi.” (Pengantar Memori Tubuh, Dewi Candraningrum).

Saras Dewi juga menyatakan bahwa Dewi Saraswati adalah simbol konstruksi pengetahuan yang mengarusutamakan alam, tidak lagi alam dipandang sebagai benda mati padahal alam memiliki roh yang memiliki telos (tujuan akhir) yakni keseimbangan.

Perempuan sebagai kelompok yang terdampak perubahan iklim misalnya perempuan disabilitas/difabel  juga perempuan adat yang mampu sebagai subjek sebagai perempuan di perubahan iklim. “Kita memaknai iklim dari sisi epistemologi bahwa perubahan iklim  adalah suatu kondisi yang dihasilkan dari aktivitas manusia yang menyebabkan kondisi tidak stabil oleh pola ekonomi industri yang tidak menempatkan  makhluk hidup sebagai orientasi keberlanjutan,”terang Saras Dewi.

Ia menambahkan bahwa perubahan iklim adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri.Ada pihak yang ragu perubahan iklim adalah hal faktual. Bagaimana emisi tidak terkendali/sulit dikendalikan dianggap sebagai suatu yang terberi. Kita melihat perubahan ikim adalah sebagai akibat perbuatan pola hidup sebagai manusia sejak ratusan tahun lalu. Bila sebelumnya disebutkan bahwa metode ekofeminisme adalah metode humble manusia sebagai keseluruhan biotik, ini yang kemudian Saras Dewi menyatakan bagaimana tidak hanya menentang  fisik saja tetapi ada kelangkaan air.  Ada aspek ontologis, eksistensi manusia sebagai dirinya dan komunitas sangat terdampak.

Dari awal sebagai pemanasan global sebagian besar imbauannya adalah agar manusia hidup lebih baik, dan punya kewajiban terhadap lingkungan hidupnya. Ia memiliki kata-kata baik yang kemudian disebut jasa baik lingkungan hidup. Bahwa manusia melihat fakta fisikal bumi sebagai yang pasif dan tidak melihat sesuatu yang cerdas, sebagaimana dikatakan oleh  James D. Watson.

Ada sebuah penelitian baru yang menyebutkan bahwa pohon bukan spesies individual tapi pohon  berkomunitas. Cara berkomunitas mereka dengan berbagi nutrien di akar dari hasil fotosintesis, pada pohon yang jauh dari akses matahari.

Kerusakan alam bukan hanya faktual saja tetapi juga spiritualitas. Dalam ekofeminis ada empati dan solidaritas bahwa perempuan dan alam mengalaminya karena budaya patriarki dengan adanya tindak pembungkaman. Kata-kata hening dan senyap muncul dalam teks ilmiah. 'Musim semi jadi senyap karena burung diracuni karena buah dekat tanah karena sebagian besar pertanian kita menggunakan pestisida. (The Silent Spring, Richard Carson).  "Seharusnya kesenyapan membuat  manusia takut," terang Saras Dewi.

Manusia semestinya melihat degradasi alam. : laut memanas, tanah rusak,  sungai mengering,  menjadi keanekaragaman hayati (biodiversitas) menghilang, komunitas pohon yang hilang habitatnya, manusia dan alam relasi yang terputus. Kalau manusia mengatakan genosida, manusia kehilangan adalah kematian, maka kematian akibat kerusakan lingkungan juga disebut genosida.  Fakta keterhubungan alam dengan manusia adalah sesuatu yang menyedihkan.

Saras Dewi juga menyampaikan terkait maladaptation adalah dengan membuat Sea World yang justru membahayakan spesies dan komunitasnya bahkan manusia itu sendiri. Laporan Panel  Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) PBB menyatakan tentang dampak perubahan iklim pada manusia, yang merinci area kerentanan dan langkah-langkah adaptasi terhadap perubahan yang disebabkan oleh pemanasan suhu global. IPCC juga menyoroti pentingnya pengetahuan masyarakat adat dan lokal dalam menghadapi perubahan iklim dan pengaruhnya terhadap cuaca, ketersediaan air dan sumber makanan. (Astuti)