Webinar Privasi dan Kebebasan Berekspresi di Ranah Digital

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Shrinking Civic Space adalah kondisi di mana ruang sipil tidak lagi aman atau tidak bisa lagi digunakan untuk berpartisipasi. Partisipasi bukan hanya lima tahun sekali tapi setiap detik. Ruang publik bukan hanya peluang untuk kebijakan publik tapi juga menjadi ruang terjadinya kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan publik. Ruang publik justru tempat orang semakin timpa, ada yang makin menikmati tapi ada juga yang makin besar kerugian. Demikian dikatakan oleh Haris Azhar, Direktur Lokataru pada webinar bertema privasi dan kebebasan berekspresi di ranah digital yang dihelat oleh Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPNM), Rabu (23/3).

Haris menambahkan bahwa ketika makin besar kerugian, dari situ muncul protes, namun protes dibalas dengan tindakan represi dan dikriminalkan. Ada beberapa model serangan terhadap ruang sipil: secara fisik, diserang melalui pendekatan hukum (SLAP), serangan administrasi dan ini banyak terjadi di Indonesia, berupa aturan atau birokrasi yang menyulitkan, serta serangan digital. Digital merupakan ruang kehidupan baru. Angka demonstrasi menurun, namun “kebisingan” di sosial media meningkat.

Sejauh yang ia pahami Indonesia tidak memiliki undang-undang yang melindungi data privasi sehingga tidak ada langkah solid untuk melindungi privasi. Yang ada justru kebolehan-kebolehan terkait kapan suatu otoritas melakukan apa terhadap privasi. Privasi artinya terkait dengan informasi, keberadaan, dan kehidupan seseorang. Dalam Declaration of Human Right hal ini telah dijamin. Di Indonesia tidak jelas batasan-batasannya. Ada kewajiban untuk mentransfer data pribadi ke tempat lain, misal konsolidasi data yang memungkinkan adanya pertukaran data dan sharing informasi. Selain di ruang administrasi publik ada juga pertukaran data di ruang perdagangan, yaitu pada saat proses pembuatan akun. Keamanan diserahkan kepada induksi regulasi masing-masing, artinya tidak ada konsolidasi regulasi. Saat ini semua ‘go digital’ namun belum ada yang bisa memastikan semua korporasi memiliki standar keamanan.

Haris juga menambahkan bahwa semua masyarakat Indonesia mesti banyak belanja mekanisme. Jika berbicara ekspresi, pastikan dulu ada kapasitas dan kemampuan tentang pilihan narasi, bahan, narasumber, durasi, dan lain sebagainya lalu cek keamanan aplikasi, harus tahu sejauhmana siapa saja yang mengakses. Lalu prediksi konsekuensi, mulai dari didatangi orang, dicari, dibantah, diserang secara digital, maupun dilaporkan polisi. Konsekuensi-konsekuensi itu yang harus disiasati. Jika bicara peraturan perundang-undangan ada celah yang bisa digunakan.

Pengalaman Haris hari ini, ia dilaporkan pencemaran nama baik dan penghinaan oleh Luhut Binsar Panjaitan. Menariknya Luhut Binsar Panjaitan hanya melihat dari sisi sosial media Youtube saja. Luhut dan  tim pengacaranya nya serta polisi tidak mau masuk ke materi yang dibicarakan, padahal itu materi soal kebijakan publik, pejabat publik, transparansi, pertanggungjawaban SDA, dll. Sebetulnya yang dibicarakan ada materi pidana dari orang yang dibicarakan, orang tersebut harusnya dimintai pertanggungjawaban juga. Terkait dengan Luhut Binsar Panjaitan, semestinya Undang-Undang  Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dikaitkan bukan dengan Pasal Pidana tapi dengan Undang-Undang Asas-Asas Pemerintahan yang baik dan benar.

Shita Laksmi, direktur Tifa Foundation, narasumber kedua menyatakan bahwa privasi adalah kemampuan untuk menyimpan beberapa hal intim pada diri sendiri, misalnya pikiran, pengalaman, percakapan dalam pikiran. Mengenai pandangan politik dan pandangan terhadap orientasi seksual juga termasuk privasi. “Kita berhak melindungi diri kita dari pelanggaran privasi. Itu juga merupakan hak yang harus dijaga oleh negara,”ungkap Shita. Menurutnya, dengan adanya platform digital ada aktor ketiga yang juga berperan dalam menentukan kebebasan berekspresi. Dalam kasus Wadas, beberapa akun Wadas ditutup, itu menjadi hal penting untuk dilihat. Content moderation juga penting, seberapa besar peran platform digital dalam menentukan kehidupan demokrasi di sebuah negara dan bagaimana dia bisa bertanggung jawab.

Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) saat ini masih ditunda, kalah dengan Undang-Undang Ibu Kota Negara (IKN). TIFA dan Meta akan membuat webinar terkait potensi dan implementasi UU PDP. Dari sisi privat  sektor yang dibutuhkan adalah kejelasan, mau tidak mau dibutuhkan verifikasi data pribadi. Implementasi jangan hanya hukuman saja tapi juga harus ada edukasi. Dibutuhkan otoritas tunggal dan independensi.

Platform digital disebut sebagai internet intermediary. Definisi umumnya adalah entitas pemberi layanan dari satu poin ke poin lain di internet. Bisa dalam format infrastruktur akses ke internet dan atau memfasilitasi dua (atau lebih) poin untuk melakukan transfer data. Platform digital berperan banyak dalam kebebasan berekspresi dan privasi. Sedangkan prinsip proses data pribadi : Keabsahan, keadilan, transparansi, batasan tujuan, minimalisasi data, akurasi, batas penyimpanan, integritas dan keamanan.

Komitmen Meta

Narasumber terakhir webinar, Dara Nasution dari Meta menyatakan bahwa Meta sangat berkomitmen untuk memastikan semua akun asli dan bukan akun bodong. Ada patroli yang dilakukan berkala. Fans page harus dikelola oleh orang asli karena berkaitan dengan kebijakan adds. Soal keamanan, Meta menghapus konten-konten yang berisiko terhadap keamanan fisik, misalnya mengintimidasi atau membungkam. Nilai berikutnya adalah martabat, Meta beranggapan semua orang memiliki martabat dan hak yang sama di platform. Soal privasi, di Meta pendekatannya ada dua, yang pertama, keamanan dan pondasi privasi yang kuat merupakan dasar dari semua yang mereka lakukan.

Ini membantah mitos bahwa Meta berjualan data, karena yang mereka jual adalah placement iklan. Meta menggunakan informasi dari pengguna secara bertanggungjawab, misalnya Meta tidak boleh mengakses kamera kecuali untuk mengambil foto atau instastory, selain itu tidak boleh. Yang kedua, Meta  memberikan alat kepada setiap orang untuk menyesuaikan privasinya sesuai dengan apa yang menurutnya paling aman dan nyaman untuk dirinya sendiri.

Prinsip Meta dalam menjaga privasi, yang pertama, memberi kontrol  bagi pengguna agar bisa menjaga privasi di dalam platform. Kedua, membantu orang-orang untuk mengerti bagaimana data-data mereka digunakan. Ketiga, merancang privasi ke dalam produk Meta, yang artinya setiap pengguna bisa melakukan privasi cek up dan tinjauan privasi. Keempat, di platform semua bisa mengunduh dan menghapus informasi, karena pengguna yang memiliki kontrol. Meta terus melakukan perbaikan untuk mengembangkan perlindungan pada privasi.

Meta memiliki tim khusus untuk menangani privasi. Setting privasi saat ini lebih mudah diakses. Hati-hati dengan aplikasi pihak ketiga, karena bisa digunakan untuk pencurian data. Bila terdeteksi kemungkinan pencurian data, maka Meta akan men-dissabled akun yang menggunakan aplikasi pihak ketiga tersebut. Meta terus melakukan edukasi-edukasi ke daerah untuk literasi digital. Menuju metaverse,  semua masukan dari banyak pakar tentang privasi tentunya akan terus mereka jadikan masukan.

“Kami ingin UU PDP seadil mungkin dan tidak memihak ke platform manapun. Kami ingin UU PDP realistis dan implementable,” pungkas Dara. (Yosi Krisharyawan/Ast)