Lintas Berita

Catatan Diskusi Perda Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Kota Surakarta

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Perda Kota Surakarta nomor 9 tahun 2020 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas baru saja disahkan pada Desember tahun 2020. Perda ini ada dua sisi yakni inklusi dan charity. Namun ketika berbicara tentang inklusi, belum berbicara tentang kelompok rentan lainnya dan hanya menjawab difabel saja.  Contohnya adalah ketika ngomongin tentang aksesibilitas, ketika guidingblock dibenturkan dengan sebatang pohon, lalu dilakukan penebangan pohon tersebut, maka akan ada pihak yang dirugikan ketika pohon itu adalah bagian dari taman. Demikian dikatakan Purwanti dari SIGAB, narasumber sekaligus pemantik diskusi tentang Perda Difabel yang dihelat oleh Yayasan YAPHI, Senin (18/1).

Masih tentang pembangunan aksesibilitas layanan publik seperti yang ada di Pasar Gedhe, Purwanti menyatakan bahwa guidingblock di pasar gedhe tidak hanya diperuntukkan bagi difabel saja tetapi juga kuli gendong, anak-anak, lansia supaya tidak licin saat berjalan saat terkena air. Handrail untuk anak-anak bisa melindingi mereka. Jalan di pasar rentan terkena air

Purwanti menambahkan, ketika pada Undang-Undang nomor 8 tahun 2016  yang ditunjuk sebagai leading sector adalah Kementerian Sosial, tetapi di Perda nomor 9 tahun 2020 semua Organisasi Perengkat Daerah (OPD) di Kota Surakarta memiliki tanggung jawab dan program kerja yang harus menyasar kepada difabel.

Terkait Komite Disabilitas yang diharapkan dan dibanggakan akan menjadi lembaga yang akan memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan implementasi Undang-Undang nomor 8 tahun 2016, di Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang itu  ternyata ada di Kemensos dan di Eselon 2. Menurut Purwanti hal ini pasti akan jadi kendala ketika pengawasan dan evaluasi implementasi. Sedangkan di Perda, komite disabilitas bertanggung jawab kepada wali kota.

Pada pasal tentang kesehatan, menurut Purwanti tidak mencantumkan bagaimana dengan orang yang mengalami kerentanan terhadap kondisi disabilitasnya, misalnya pada cerebral palsy, atau dengan paraplegia. Jika dibiarkan tidak terapi, cerebral palsy bisa mengalami kondisi yang lebih berat terkait fisiknya, juga paraplegia yang rentan terkena decubitus hingga harus melakukan operasi. Pembiayaan seperti ini belum dikaver oleh BPJS, termasuk alat bantu juga tidak dikaver oleh BPJS. Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang berobat menggunakan obat ternyata tidak semua merek obat dikaver oleh BPJS. “Kita tidak berhasil karena di Surakarta menganut semua layanan akan dikaver BPJS,” terang Purwanti.

Prinsip pendidikan inklusi di Kota Surakarta, perda hanya menjamin sampai 12 tahun dan tidak sampai lanjutannya (SMA/K). Kemudian terkait pendidikan di luar sekolah, non formal, perda ini tidak mengatur sampai ke sana dan hanya pada penunjukan. Padahal problem yang ada adalah secara geografis. Bagaimana jika sekolah inklusi yang ditunjuk lokasinya berjauhan dari tempat tinggal difabel atau kondisi sekolah itu yang tidak akses karena tipografi tanah yang naik turun seperti SMA N 8 Surakarta misalnya.

Pemberdayaan ekonomi juga belum disinggung di perda ini, dan hanya menyentuh tenaga kerja pada sektor formal (perusahaan) saja. Tidak ada pasar afirmatif, misalnya pada ticketing pada pembelian tiket, diberi cindera mata buah tangan difabel misalnya, ini bertujuan untuk mendongkrak usaha mikro difabel, karena untuk membuat orang membeli itu menurut Purwanti aksesnya masih sangat kecil. Karena kalau hanya disediakan etalase, membuat orang tertarik untuk membeli itu susah.

Lembaga konseling yang selama diharapkan ada  ternyata pada unit layanan disabilitas tidak memasukkan hal ini. Ini penting terkait bagaimana seorang ayah atau ibu mendiidik anak yang difabel, bagaimana menghadapi pubertas,  menghadapi pernikahan dan mempersiapkan hidupnya. Karena menurut kesaksian Purwanti, pernah ada kejadian ada anak difabel ngamuk ketika tetangga ada yang menikah. Juga terkait anak-anak difabel yang menjadi korban kekerasan seksual misalnya. Sementara pendidikan konseling kespro sangat jauh dari ideal, janganlan untuk difabel, yang non difabel aja belum.  “Kami sudah usul Kemen PPPA masih jauh. Karena dianggap masalah selesai di tangan orangtua,” jelas Purwanti.

Haryati Panca Putri, Direktur Yayasan YAPHI yang ikut diskusi mempertanyakan Naskah Akademik (NA) yang tidak ada pada pembahasan perda ini. Padahal menurutnya, bagaimana Perda ini lahir jika tidak berangkat dari NA. Ia juga mengemukakan bahwa seharusnya Undang-Undang atau aturan yang ada d bawahnya yakni Perda itu untuk semua dan harus memikirkan bagi kelompok rentan, yakni difabel. Nah, yang terjadi saat ini adalah perspektif itu adalah terbalik-balik, ketika tidak disebutkan, maka tidak dilakukan.

Yohanes Prima dari Yayasan YAPHI melihat banyak sekali kekurangan dalam Perda ini jika NA saja tidak ada.  Selain kerentanan dan kesehatan dan ada kerentanan aspek sosial. Dan banyak masyarakat tidak tahu bagaimana mereka berinteraksi dengan difabel. Mindset masyarakat harus kita benahi dulu sebelum melangkah lebih jauh. Penting bagi Pemkot selain memberi edukasi bagi difabel dan masyarakat. Sedangkan fasilitas bagi difabel di ruang pendidikan atau ruang kerja dan infastruktur menurut Prima biasanya diplotkan biar akreditasinya naik atau agar dapat penghargaan. “Di trotoar, ada trotoar yang tidak akses misalnya bagi teman netra dan hanya dipandang secara estetika saja,” pungkasnya. Pendapat itu juga didukung oleh Adi C. Kristiyanto yang menjadi moderator diskusi bahwa  mainstreaming difabilitas ini masuk bagian sosialisasi dengan memasukkan pengetahuan terkait ideologi kenormalan yang diusung oleh alm. Sapto Nugroho.

Christian Pramudya dari PPRBM Solo menutup diskusi dengan memberi pencerahan bagaimana menyikapi lima tahun ke depan dan perda akan mengalami dinamisasi pentingnya kaderisasi difabel yang dalam 2-3 tahun ini mereka terlibat dalam penganggaran dan penting melibatkan mereka di pendidikan politik. “Di Klaten ada Unit Layanan Difabel bisa jalan baik dan bisa mempengaruhi di OPD, ‘terangnya. (Astuti)