Lintas Berita

Beberapa Persoalan Penyandang Disabilitas dalam Mengakses BPJS Kesehatan

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan terobosan program pasca reformasi yang sangat bermanfaat untuk rakyat, dan bisa dinilai sebagai bentuk keberhasilan reformasi. Namun program JKN tidak begitu mencapai kesempurnaan, sebab proyek ini belum mencapai tahap selesai. Dan dalam dialektika ada proses-proses yang sangat dikritisi, meski sudah banyak manfaatnya untuk masyarakat. Demikian dikatakan Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch  dalam Webinar Pelayanan BPJS Kesehatan untuk Penyandang Disabilitas yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) Jakarta, Senin (10/1).

Dalam catatan Kemenko PMK jumlah penyandang disabilitas adalah  8% dari jumlah seluruh rakyat Indonesia atau atau 21 juta orang. Ada penyandang disabilitas ganda yang tereksklusi dari lingkungan sosial. Juga akses kesehatan, hak dasar yang harusnya menjadi hak yang mudah diakses oleh penyandang disabilitas. Mengacu pada Undang-Undang 8 tahun 2016. Persoalannya antara lain bagaimana mendapatkan pelayanan publik dan kaitannya  yang muncul di program JKN ini.

Menurut Timboel Siregar, pada tahun ke-8 ini BPJS mengalami surplus yang diciptakan dari pandemi COVID-19 di tahun 2021 dan 2022, blessing dari pandemi, meski penerimaan turun sebab kepesertaan turun. Pendapatan utama BPJS yakni dari kepesertaan Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang dibayarkan oleh pemerintah. “Harusnya meng-create sehingga tidak tergantung kepada pemerintah. Bisa dari pekerja penerima upah,”ujar Timboel.

Banyak persoalan ditemui di masyarakat terkait upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitasi di antaranya persoalan banyak ditemui terkait ketersediaan obat bagi penyandang disabilitas psikososial. Padahal menurut Timboel, ketika membahas JKN, maka harus melihat Undang-Undang HAM dan Undang- Undang Palayanan Publik nomor 25 tahun 2009. Yang mengatur tentang prinsip-prinsip pemerintahan yang baik yang merupakan efekitivitas fungsi-fungsi pemerintahan itu sendiri.

Timboel pernah menemui seorang pasien lansia yang dirujuk ke satu rumah sakit lalu dirujuk ke rumah sakit lain, dan masih juga dirujuk di rumah sakit lain lagi. Padahal dengan situasi dan kondisi yang triple rentan. Semestinya sistem mengabdi kepada undang-undang yang lebih efisien dan efektif. Bagaimana men-sistematik-kan BPJS Kesehatan, berdasar regulasi, undang-undang, dan berdasar kasus. Timboel menceritakan  sebelum COVID-19 pernah memafasilitasi peserta penyandang disabilitas netra dan miskin, untuk mendapatkan PBI sangat sulit dan harus ke dinsos, Dan hasilnya ternyata si orang tersebut tidak mendapat rekomendasi PBI APBN dan data Dinsos pengakses PBI sudah penuh. Timboel lalu meminta tolong temannya yang memiliki jaringan Kemensos, namun tidak tembus. Kalaupun ada cleansing data  maka harus dihadirkan dengan cara mendatangi rumah masing-masing misalnya orang ini layak mendapat PBI baik, APBN maupun APBD. Timboel juga menemui kasus penonaktifan tanpa konfirmasi.

Ada juga penyandang disabilitas mental/psikososial yang sampai dimohonkan kepada Pemda Blora. Penyandang disabilitas tersebut dibuang oleh orangtunya, tapi Pemda DKI tidak menerima. Terkait administrasi birokasi kependudukan masih menjadi persoalan. Belum lagi bagi pekerja yang mengalami cacat, dan banyak yang ter-PHK.  Kesulitan mereka adalah ketika tidak langsung mendapat pelayanan JKN, padahal aturan ada. Fakta tidak semudah itu juga terkait apakah orang ini terus menerus dibiayai, dan memang dia tidak sakit karena kecelakaan kerja.

BPJS Kesehatan Makin Meningkatkan Pelayanan

Prof. Ghufron Mukti, Dirut BPJS Kesehatan di awal webinar menyatakan bahwa kepesertaan BPJS Kesehatan adalah 83,18% atau 228 juta menuju 235 juta. Kerja sama dengan rumah sakit berjumlah 1700-an. Hampir semua rumah sakit memberi layanan. BPJS Kesehatan ingin meningkatkan kualitas di setiap layanannya, misalnya peserta BPJS Kesehatan bisa mengantre dari rumah. Pihaknya mengaku  meski belum 100% tapi sudah lebih 75% dari faskes sudah melakukan itu.  Program ini belum banyak diketahui.  Ada juga program BPJS Mendengar. “Kita tidak bisa langsung mengubah ke implementasi tapi perlu waktu. Untuk pelayanan keswa, BPJS memberikan pelayanan sebaik-baiknya termasuk pelayanan keswa, beberapa kebutuhan khusus,”ungkap Ghufron.

Sejak 1 September BPJS meningkatkan pelayanan, termasuk pemberian layanan insentif kepada tenaga kesehatan lancar. Rumah sakit  yang memiliki kinerja bagus diberikan uang muka., yang belum pernah terjadi sebelumnya. BPJS juga memberikan layanan konsultasi daring yang sudah diakses oleh 9,3 juta konsultasi termasuk kebutuhan pelayanan jiwa dan yang berkebutuhan khusus. (astuti)